Ketika sedang asyik membaca, tiba-tiba muncul kata yagn, tiadk, infroman, seingga, seudah, bagia, bahakan, sebagao, oersatuan, dan varuasi. Pembaca sesungguhnya mengetahui bahwa kata yang benar ialah yang, tidak, informan, sehingga, sesudah, bagi, bahkan, sebagai, persatuan, dan variasi. Kata-kata tersebut pun dianggap typo atau salah ketik.
Jika dianalisis dan dikelompokkan, salah ketik tersebut dapat disebabkan oleh empat hal, yaitu (1) akibat pergantian posisi huruf, seperti yagn, tiadk, dan infroman; (2) akibat pengurangan huruf, seperti seingga dan seudah; (3) akibat penambahan huruf, seperti bagia dan bahakan; serta (4) akibat salah penulisan huruf, seperti sebagao, oersatuan, dan varuasi.
Salah ketik akibat salah menulis huruf cenderung disebabkan oleh posisi huruf yang berdekatan pada papan ketik, seperti huruf /i/ bersebelahan dengan huruf /o/ sehingga menyebabkan kata sebagai ditulis menjadi sebagao; huruf /p/ yang juga bersebelahan dengan huruf /o/ sehingga menyebabkan kata persatuan ditulis menjadi oersatuan; serta huruf /i/ yang bersebelahan dengan huruf /u/ sehingga menyebabkan kata variasi ditulis menjadi varuasi.
Bagi sebagian orang, salah ketik akibat hal-hal tersebut merupakan persoalan biasa—yang kemudian menjadi kebiasaan dan entah mengapa boleh dimaklumi. Namun, bagi orang-orang yang bergerak di bidang tertentu, misalnya surat-menyurat; penerbitan buku; media massa, seperti surat kabar, media online, dan televisi; percetakan spanduk, baliho, pamflet, dan brosur; pembuatan plang merek; serta publikasi ilmiah, seperti artikel di jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi, hal tersebut merupakan masalah. Salah ketik dapat menjadi remah, yakni serpihan kesalahan yang lama-kelamaan dapat merusak bahasa Indonesia.
Begitu juga dengan kata-kata yang ditulis disana, di lakukan, di gunakan, dibawah, ditanda tangani, kemana, kapanpun, perbulan, ambil lah, rumah mu, cinta ku, kata nya, ke saya, dan di masa ini yang merupakan kata-kata yang ditulis tidak sesuai dengan kamus bahasa Indonesia. Penulisan yang benar untuk kata tersebut ialah di sana, dilakukan, digunakan, di bawah, ditandatangani, ke mana, kapan pun, per bulan, ambillah, rumahmu, cintaku, katanya, kepada saya, dan pada masa ini.
Mengapa pengguna bahasa Indonesia bisa salah? Hal itu terjadi karena pengetahuan penulis mengenai kaidah bahasa Indonesia sangat lemah. Para penulis tidak mengetahui bahwa ada kaidah dalam menulis kata depan di dan awalan di-; kata depan ke, pada, dan kepada; partikel –lah, pun, per; kata ganti –ku, -mu, -nya; serta sejumlah kaidah lain yang sudah tercantum pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Padahal, ketentuan tersebut sudah menjadi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015. Hal ini terjadi karena para penulis juga tidak mencari tahu bahwa ada kaidah yang harus dipedomani tersebut.
Tahukah kamu, ketika seseorang memedomani PUEBI dalam menulis, dia dapat mengetahui proses pembakuan kata pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Proses pembakuan kata tersebut menjadikan kata-kata yang terdapat dalam KBBI merupakan kata baku, yakni kata yang standar digunakan dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, kata-kata yang tidak tercantum dalam KBBI merupakan kata tidak baku, yakni kata yang salah pelafalan atau ejaan karena sejumlah kebiasaan tadi.
Salah satu proses pembakuan yang sangat gencar terjadi akhir-akhir ini ialah pembakuan kata yang diambil dari bahasa Inggris. Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran rujukan bahasa Indonesia yang dulu banyak menyerap kata dari bahasa Belanda, sedangkan pada hari ini pengguna bahasa Indonesia cenderung lebih banyak menyerap kata dari bahasa Inggris. Hal itu terjadi karena bahasa Inggris menjadi bahasa internasional, misalnya kata analisa dulu dibakukan sebagai bahasa Indonesia karena banyak digunakan pada naskah yang berkembang pada masa Belanda di Indonesia. Sementara itu, sekarang digunakan kata analisis yang diserap dari bahasa Inggris, yaitu analysis. Perubahan bentuk baku dari analisa menjadi analysis ini terjadi karena ada pertimbangan keteraturan perubahan bunyi dari penyerapan kata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, yaitu bunyi [y] dalam bahasa Inggris berubah menjadi bunyi [i] dalam bahasa Indonesia, misalnya system menjadi sistem, photocopy menjadi fotokopi, dan suplay menjadi suplai.
Dengan demikian, pembakuan kata dalam bahasa Indonesia semata-mata bertujuan untuk kerangka acuan dalam menggunakan bahasa Indonesia, khususnya ragam tulisan. Bahkan, seorang pengguna bahasa yang baik ialah pengguna bahasa yang mampu menggunakan kata baku, baik dalam ragam lisan maupun ragam tulisan. Bahasa itu memiliki gelombang magnetik tersendiri yang mampu memengaruhi orang-orang sekitar. Jika dalam ranah lisan digunakan kata baku, penggunaan kata tidak baku dalam bahasa tulisan bisa ditekan dan pasti semakin berkurang.
Penggunaan kata tidak baku dalam bahasa Indonesia memang tidak dapat dibiarkan terus-menerus. Kata tidak baku merupakan lawan kata dari kata baku. Kata baku merupakan gabungan kata yang berasal dari istilah kata dan baku. Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia (2016), kata adalah satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal (misalnya batu, rumah, datang) atau gabungan morfem (misalnya pejuang, pancasila, mahakuasa), sedangkan baku adalah tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar. Dengan demikian, kata baku merupakan kata dalam bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan standar atau kaidah. Standar atau kaidah yang dimaksud—sebagaimana sudah disampaikan pada bagian awal—ialah (1) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); (2) Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI); dan juga (3) tata baku bahasa Indonesia.
Jikalau begitu, apakah masih boleh menganggap salah ketik atau ketidaktahuan penulis terhadap kaidah sebagai hal yang harus dimaklumi? Tentu tidak karena hal tersebut dapat merusak wibawa bahasa Indonesia. Seorang penulis—dalam bentuk tulisan ragam apa pun—semestinya harus menulis dengan menggunakan kata baku.
Sugihastuti dan Saudah (2016) menyatakan bahwa ada empat fungsi kata baku dalam bahasa Indonesia, yaitu (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi kerangka acuan. Kesalahan penulisan kata yang selama ini terjadi sudah menjadi penyebab tidak berfungsinya kata baku sebagai kerangka acuan. Pengguna bahasa Indonesia sudah mengabaikan standar dalam penulisan kata. Oleh karena itu, kini saatnya kita peduli dan memperhatikan kamus sebagai rujukan kata baku, baik dalam ragam lisan maupun dalam ragam tulisan.
Ingat, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi bahasa persatuan yang digunakan oleh penutur dari berbagai wilayah, suku, dan pendidikan di Indonesia, tetapi sudah digunakan oleh penutur lain—lebih dari 45 negara di dunia. Kata baku dapat menjadi standar yang sama bagi kita untuk menggunakan bahasa Indonesia kapan pun dan di mana pun.
Discussion about this post