PERTEMUAN DUA BUNGA.
Sejatinya Kita adalah Sang Pemimpi.
Bermimpilah Hingga Menembus Batas Cakrawala.
Biar Allah yang Menjadikannya Nyata
(Martha Zhahira El-Kutuby)
Pagi-pagi grup whatsapp simposium sudah dihebohkan dengan pesan-pesan Rudi yang mengajak untuk bertemu di kampus atau dimana saja untuk membahas kelanjutan proposal simposium ke Pakistan. Masih banyak kendala buat mereka yang belum berpengalaman. Hanya Kayla yang terlihat santai.
Hati Kayla masih menolak Mustofa untuk ikut dalam simposium ini. Entah harus dengan apa Kayla mencari alasan untuk menghindarinya. Ada saja berbagai alasan yang keluar dari mulut Mustofa agar dia bisa ikut dengan Kayla. Kayla tak bisa menolak dan tak kuasa untuk menolaknya.
Kegalauannya merubah semua isi rencananya dengan teman-temannya yang akan ke Pakistan. Rudi dan Hasbi juga sedikit bingung melihatnya sering melamun dan kebingungan.
“Aku heran sama Kayla. Awalnya dia masih semangat diajak diskusi. Kali ini sejak Mustofa masuk. Dia sepertinya tidak suka,” Hasbi membuka obrolan dengan Rudi.
Mereka sedang melepas lelah di kantin kampus. Menemani Rudi yang hobi makan. Sedikitnya sekali duduk di kantin bisa menghabiskan uang diatas seratus ribuan. Hanya Hasbi yang sabar menghadapi tingkah Rudi yang begitu.
“Ah. Kamu bisa aja bilang begitu. Memangnya mereka punya hubungan apa?” “Aku tak tahu. Ini patut aku cari tahu.”
“Buat apa sih kamu urusin itu? Kamu suka ya sama Kayla? Haha.”
Rudi berusaha menebak wajah bingung Hasbi. Seolah-olah rasa yang disimpannya membuncah keluar tanpa permisi. Wajahnya memerah dan menjadi panas. Mau tersenyum pun tak bisa. Dia mengalihkan pandangannya ke botol minuman terkenal di Indonesia. Sosro!
“Apaan, sih? Sok tahu kamu!”
“Haha. Udah yuk! Aku mau ngajak mereka kumpul lagi sama Kak Hanifa.”
“Kapan?”
“Besok!”
***
“Kamu ada hubungan apa dengan Hasbi?”
Tiba-tiba saja Mustofa mengirimkan pesan yang membuat Kayla kaget dan sangat tidak suka dengan sikap Mustofa. Setelah dibaca berulang-ulang, Kayla merasa pesan itu tak penting sedikit pun untuk ditanggapi. Namun, dia memang sudah tak tahan lagi untuk melanjutkan ini semua dengan Mustofa.
“Maksudmu apa?”
“Mengapa kamu begitu cuek dan tak memandangku sebagai kekasihmu?” “Bukankah itu semua akan ada bila sudah sah?”
“Hanya omong kosong saja sah atau tidak. Yang jelas, kita sudah merencakan ini sejak lama.”
“Buatku, kamu tak lebih sekedar laki-laki yang berani hanya mengajak pacaran.” “Jaga mulutmu!”
Obrolan singkat itu ditutup segera. Kayla beranjak ke kamarnya. Dia tak menghiraukan lagi omongan Papa yang sejak tadi menjelaskan impian-impiannya dengan Kayla. Kali ini, pikiran Kayla sangat terganggu. Waktu pulang ke rumahnya sangat tidak pas. Masih saja ada masalah dengan Mustofa.
***
“Rud, lokasinya dimana?” aku mengirimkan pesan singkat pada Rudi.
Hari ini mereka mengajakku untuk berkumpul di kampus mereka. Tak masalah buatku. Esok aku juga libur. Hari ini sedikit senggang buat berdiskusi dengan mereka.
“Di Fakultas Tarbiyah, Kak. Nggak jauh dari pintu masuk.” “Oke.”
Aku menyusuri kampus UIN Jakarta yang besar itu. Bangunannya khas Arab dan tersusun rapi. Jalananya juga bagus dan suasananya nyaman. Bukan mimpi lagi aku bisa melanjutkan S2 disini. Namun, kali ini aku masih mengejar pekerjaanku.
Di depan Fakultas Tarbiyah, ada pelataran tempat berkumpul mahasiswa yang baru selesai mengikuti perkuliahan. Setiap hari ramai dan mereka biasanya berkumpul disana bila ada diskusi seputar organisasi.
“Bagaimana? Apa yang bisa kakak bantu?” “Sebelum itu, kita kenalan dulu, nih, Kak!” “Ngomong-ngomong, Kayla mana, yah?” “Katanya baru keluar ruangan,” jawab Hasbi. “Bukannya kalian satu kelas?”
“Iya. Aku tadi ada urusan dan nggak masuk.” “Ah. Kamu. Sudahlah!”
Tak lama dari kejauhan terlihat seorang perempuan dengan gamis hitam. Berkacatama abu-abu hitam bulat. Badannya sedikit berisi dan cantik. Kerudungnya yang dililit menambah ayu wajahnya. Kayla!
“Maaf. Aku telat. Lagi ditahan dosen tadi. Ada tugasku yang belum selesai.” “Yaudah. Lanjut! Kita lagi perkenalan.”
“Eh! Hai, Kak! Aku Kayla,” menyodorkan telapak tangannya bersalaman. “Hai, Dik! Aku Hanifa. Kamu cantik hari ini.”
“Bisa aja, Kakak!”
Kayla menyembunyikan wajahnya yang malu. Ada Hasbi yang masih dengan mata telanjang memandangi Kayla hari itu. Jujur saja Kayla hari itu sangat cantik sekali. Entah apa yang membuatnya bahagia. Seolah-olah dia habis bebas dari sekapan siapapun hari itu.
“Ngapain sih mandangin aku kaya gitu?” risih Kayla pada Hasbi. “Kamu cantik hari ini. Kamu tercipta dari apa sih?”
“Sudahlah! Aku kesini bukan untuk jadi artis.”
“Sudah…sudah…! Lanjutkan! Gini Kak Hani, kita mau kasih contoh proposal yang sudah kita tulis kemarin. Sepertinya, ini ada sedikit kekurangan. Menurut kakak gimana?”
“Ya. Kakak sudah baca softcopy yang kalian kirim kemarin. Kurangnya itu di desain proposal. Pihak sponsor akan tertarik jika proposal itu juga menarik desainnya disamping isinya.”
“Nah, itu, Kak! Kami belum bisa mendesain proposal ini sebagus mungkin.
Bolehkah kami minta tolong, Kak?”
“Boleh. Insya Allah, nanti akan kakak coba buatkan desainnya, ya.”
“Jangan lupa, Kak. Kakak ikut kita ya ke Pakistan. Ada salju di kutub utara Pakistan,” Kayla tiba-tiba menimpali penuh harap.
“Insya Allah. Kali ini kaka bantu kalian dulu, ya. Urusan kakak, gampang.” “Temenin aku dong, Kak. Aku cewek sendiri soalnya,” balas Kayla manyun. “Haha. Oke deh.”
Raut bahagia Kayla menambah cantik di wajahnya. Tak disalahkan Hasbi dan Mustofa berebut untuk menjadikan Kayla kekasih mereka. Hasbi sedikit kurang berani mengungkapkan rasa sukanya. Dia hanya menyimpannya.
Berbeda dengan Mustofa yang menggebu-gebu untuk segera menghalalkan Kayla. Sementara, Papa Kayla tak mau anaknya menikah di usia semuda ini. Masih banyak impian Kayla yang belum tercapai. Papa Kayla tidak akan buru-buru dengan hal itu.
Diskusi kali itu selesai tanpa Mustofa. Sejak pagi tadi, Kayla tidak melihat handphonenya sama sekali. Dia sedang tidak mau diganggu siapapun. Dia mau menikmati hari itu dengan sebahagia mungkin.
***
Bersambung…
Discussion about this post