~MENEMBUS BATAS HATI~
Sejatinya Kita adalah Sang Pemimpi
Bermimpilah Hingga Menembus Batas Cakrawala.
Biar Allah yang Menjadikannya Nyata
(Martha Zhahira El-Kutuby)
“Kak, aku lulus beasiswa LPDP. Tapi, aku sangat sedih.”
Suara Kayla memecahkan keheningan pagiku. Aku tak bisa melihatnya sedih apalagi menangis. Betapa hancurnya aku bila sampai airmatanya jatuh didepanku. Kali ini memang tak bisa ditahannya.
“Alhamdulillah! Kok sedih? Bukankah kamu menginginkan ini?”
“Ya. Aku sangat menginginkannya. Ini juga impianku sejak lama. Namun, aku tidak akan meninggal kakak begitu saja. Kita punya janji, Kak.”
Kayla sedikit kesal dan menahan tangis. Wajahnya sudah mulai merah. Pikirannya juga sudah tidak fokus seperti biasanya. Ada rasa bahagia bercampur kalut di otaknya. Isi otaknya sudah melayang kemana-mana.
Sejak kemarin, Kayla juga diliputi wajah yang kesal kepada Papanya. Papa Kayla sangat bahagia mendengar Kayla mendapatkan beasiswa ini untuk melanjutkan pendidikannya ke Sorbonne.
“Sudahlah! Kamu dengarkan kakak baik-baik. Meskipun kita tidak bersama. Tetap hati kita menjadi satu. Ikatkan kakak denganmu bersama doa rabithah dan salawatmu.”
“Kak, aku belum bisa berpisah begitu saja. Kakak juga sangat sedih, kan?” “Kakak hari ini bahagia, Kay! Kamu lulus itu kakak bahagia.”
Aku sengaja menyembunyikan wajah sedihku. Memang rencana kami berbeda dengan rencana Tuhan. Aku menerima hal itu dengan sangat lapang dada. Aku mengalihkan pandangan kepada pohon-pohon rindang yang ada di depan rumahku.
Aku mencoba menelan dalam-dalam ludah pilu. Tetap menahan emosi sendu yang kusimpan sejak tadi. Mungkin ini jalanku. Harus melepaskan Kayla dan aku bisa hidup tanpa dia. Sejenak!
“Ya, hanya sebentar, Hanifa!” gumamku dalam hati.
Kayla terlihat bingung dengan wajahku yang tidak pernah berubah. Tangisnya pecah dan tak terelakkan. Kali ini menjadi hari paling luka dan sedih dihidupnya. Aku memeluknya dengan hangat. Tanpa disadari airmataku jatuh.
“Dik, kali ini kamu harus sukses. Jangan buat kakak kecewa dengan kesedihan kamu. Percayalah! Kakak janji akan menyusul kamu.”
Kayla semakin menangis. Baju dan kerudungku sudah basah dengan airmata beningnya. Dia memelukku erat. Sangat lama. Tiba-tiba handphoneku berdering.
Rudi memanggil….
***
“Kak, gimana proposalnya? Kita jadi kan berangkat bareng berlima?”
Suara Rudi diseberang sana terdengar penuh semangat. Seolah-olah dia sangat bahagia dengan kekompakan saat ini. Dia juga belum mengetahui kalau Kayla sudah lulus LPDP.
“Insya Allah jadi. Kamu jangan lupa di print ya, proposal kemarin.” “Oke, Kak!”
Kayla yang sedari tadi hanya mendengar saja. Dia menahan sakit karena janjinya dengan teman-temannya juga terancam batal. Mungkin ini sebabnya dia sedikit malas mengurusi simposium ini. Waktunya sangat singkat.
Tak banyak bicara. Suasana di depan rumahku tiba-tiba hening sesaat. Aku juga tidak bisa berkata apa-apa. Memang aku sedikit menahan sedih. Tapi, aku berusaha melepaskan semuanya.
Aku tak mau Kayla tahu kalau aku merasa tertekan sekali dengan impianku kuliah di Sorbonne. Setidaknya, aku bisa bersamanya selalu. Aku juga harus susun langkahku setelah ini.
“Kamu mau teh hangat?”
“Hmm… Aku mau kakak tetap disini.”
“Mumpung cuacanya mendung dan hujan pun baru reda. Yakin, nggak mau?” “Iya, deh!”
Aku mencoba memecahkan keheningan yang berlangsung cukup lama. Aku sengaja menawarkan teh hangat kepada Kayla. Aku ingin melepaskan semua rasa sakitku di dapur nanti. Aku benar-benar belum bisa berpisah begitu saja. Mungkin sudah saatnya Kayla mandiri. Selama ini aku selalumemanjakannya.
“Kok pipi kakak basah?”
“Memangnya terlihat basah, ya?” “Kakak habis nangis, ya?”
“Nggak. Tadi kepercik air kran sewaktu mencuci sendok cangkir ini.” “Masa?”
“Yuk, diminum!”
Aku sengaja mengalihkan pembicaraan mengenai airmata di depan Kayla. Aku harus kuat kali ini. Dia pun juga harus kuat. Dia berhak sukses. Harus sukses. Aku mencoba tersenyum dan tertawa.
Setiap tengukanku terasa hambar sekali. Padahal, tadi gulanya sudah banyak. Bahkan, aku tak tahu harus memberikan gula pada teh ini berapa sendok. Pikiranku mulai tidak fokus.
“Barusan Rudi telpon kakak. Dia mengajak kita mengantarkan proposal simposium ini ke kantor Qatar Airway.”
“Boleh! Aku ikut, ya.”
“Kamu tak usah ikut. Fokus sama persiapan ke Sorbonne.”
“Aku ikut. Titik! Jangan sampai Rudi tahu, aku lulus.” “Mengapa?”
“Pokoknya, jangan sampai dia tahu.”
Kayla tidak mau mendengar celotehan Rudi yang semakin kesal dengannya. Apalagi sejak kemarin aku sudah tidak fokus dengan proposal ini. Dia akan semakin kesal bila proposal ini diubah lagi. Sudah revisi yang ke sepuluh kali. Dia sudah lelah mengedit dan print proposal ini.
“Bagaimana dengan Mustafa?” “Lupakan dia sejenak, Kak!” “Kamu ada masalah dengannya?” “Aku stres gara-gara dia.”
Aku segera menghentikan bahasan soal Mustafa. Mustafa juga orang sangat keras. Tak mungkin dia membiarkan Kayla pergi begitu saja ke Sorbonne. Pastinya dia akan membuat alasan untuk segera menyusul atau membatalkan beasiswa Kayla.
***
“Kali ini kamu tidak akan bisa menghalangiku lagi, Mus!”
Suara Kayla diseberang sana terdengar sedikit meninggi. Lama sudah dia berdebat dengan Mustafa. Kali ini dia sudah tidak tahan untuk meluapkan kemarahannya terhadap Mustafa yang selalu mengikuti jejaknya. Kayla sedikit risih denganini.
“Kamu mau menghindar dariku?” “Bukan urusanmu!”
“Nggak bisa, Kayla! Kamu harus batalkan beasiswa itu.” “Sembarangan saja kamu. Aku tak akan mengikuti omonganmu lagi.”
Telpon itu segera dimatikan Kayla. Kayla sudah muak dengan perlakukan Mustafa yang sangat keras kepadanya. Dia merasa sangat dikekang selama berhubungan dengan Mustafa.
Mustafa juga saat ini sedang menyusun rencana untuk tetap bersama Kayla. Apa saja akan diusahakannya untuk selalu dengan Kayla. Apalagi mendengar Hasbi juga lulus beasiswa LPDP ini. Mustafa semakin panas.
“Ingat, Kay! Janjimu dulu denganku harus ada komitmennya. Lihat saja nanti.”
Mustafa kembali mengirimkan pesan singkat kepada Kayla dengan nada ancaman. Dendam Mustafa kali ini memuncak. Dia tidak akan membiarkan Kayla berangkat dengan Hasbi. Tidak ada yang tahu, kalau Hasbi juga menahan rasa bahkan berencana mundur untuk menjadikan Kayla harapan hatinya.
Kayla hanya berdesis kesal. Dia tidak bicara apapun. Hanya membaca pesan itu lalu menutupnya. Dia masih ada urusan untuk menyelesaikan syarat-syarat beasiswa ini.
***