Oleh:
Ory Sativa Syakban, S.Pd.I, Tuangku Sutan Imam Basa
Umat manusia memasuki Ramadhan 1441 H dengan cara dan rasa tak biasa. Dengan pandemi virus corona, telah mengubah rutininitas hampir semua orang yang awalnya menghabiskan waktu di luar rumah. Yang lebih penting dari itu, ia ikut merubah cara pandang dan psikologis beragama umat manusia.
Banyak yang gagap, dan berbagai macam teori dikemukakan. Namun, untuk menekan risiko penularan Covid-19, masyarakat harus menerapkan tinggal di rumah, beribadah dirumah, untuk para pekerja diberlakukan work from home (WFH), dan untuk santri, siswa dan mahasiswa, diberlakukan aturan belajar dari rumah dengan berbagai media daring dan lainnya. Itu solusi kongkrit yang ada saat ini, untuk dipatuhi. Apakah ini sudah berjalan tanpa tantangan?
Kesabaran kita sedang diuji atas kondisi ini. Ujian kesabaran kita, juga mempertaruhkan prasangka kita kepada Allah, dan Ujian keberimanan kita kepada zat yang Esa, zat yang maha ada sedang dibuktikan. Bagaiman kesabaran kita, prasangka baik kita dan keimanan kita menemukan maqamnya.
Firman Allah dalam Surat Al-Ankabut ayat 2 yang
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
artinya :
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “kami telah beriman,” dan mereka kira tidak diuji?.
Ramadhan kali ini, memaksa kita untuk bersabar. Kesabaran yang bukan teoritis, tapi implementatif, butuh praktek dan harus segera diamalkan. Ia tidak menunggu, namun selalu menghadirkan kondisi baru. Gampang diucapkan dan tidak mudah untuk dijalankan, penuh ujian dari luar apa lagi ujian dari dalam diri kita sendiri, hanya indikatornya yang bisa dilihat oleh orang lain, bukan kita yaitu, “dia yang bisa mengendalikan diri, sehingga dia terlihat mendapatkan buah manis dari setiap dinamika kehidupanya”.
Kira-kira hanya sebegitu orang lain bisa menilai dan mengukur kita bersikap sabar, namun apakah ketika penilaian orang terhadap kita tersebut terlontar, serta merta kita telah menjadi golongan orang yang bersabar?. sebegitulah kira-kira rumitnya sabar dan Saking pentingnya sikap sabar, Dalam al-quran terdapat kata sabar dengan berbagai tashrifnya (varian kata) sebanyak 103 kali (kitab Mu’jam mufahras lil alffazhil quranil karim), dan dari derivasi kata yang ada juga merupakan asma Allah (Ash-Shabuur) yang sering disebut.
Puasa Ramadhan, adalah ritual privat, yang hanya diketahui oleh Allah swt dan yang menjalanknnya. Dalam menjalankannnya, dituntut kesabaran yang tinggi, sehingga target ketaqwaan yang diinginkan oleh Surat Al-Baqarah ayat 173 itu, bisa dimaknai bahwa “manusia telah manjalankan perintah Allah untuk berpuasa, penuh kesabaran dan penuh ketaqwaan, berupa penghambaan yang totalitas kepada Allah”. Tuntutan terbesar dalam ibadah Ramadhan saat ini adalah kesabaran, sabar akan taqdir Allah, sehingga menghasilkan penghambaan yang benar-benar lurus hanya kepada Allah.
Penghambaan ini yang seringkali membuat kita luput, apakah kita sudah benar menghambakan diri kepada Allah SWT?. Ini pertanyaan pembukanya, sebagai contoh, kita perhatikan fenomena apa yang sedang terjadi ditengah bencana ini.
Firman Allah surat Al-baqarah ayat 195 :
وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
artinya:
“Dan janganlah kamu menjatuhkan diri sendiri kepada ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesunggunnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Dari ayat tersebut ada ketegasan perintah, bahwa wajib hukumnya manjauhkan diri dan menghindar dari kondisi yang menimbulkan kebinasaan. Lalu, dengan tercatanya suspect lebih dari 10,000 jiwa dan korban jiwa hampir 1.000 orang, apakah kita belum menyadari, bahwa pandemi covid 19 yang tengah melanda kita itu, adalah sesuatu yang dapat menimbulkan kebinasaan?, atau hilangnya nyawa suspek Corona yang tiap sore dilaporkan pemerintah beserta korban tenaga medis, bukan dianggap kebinasaan?.
Atau hilangnya mata pencarian, kesulitan kondisi sosial dan kesulitan kondisi ekonomi yang bersama sedang kita hadapi saat ini, fenomena ditolaknya jenazah positiv corona diberbagai tempat, meski ini perilaku biadab yang tidak bisa diterima nalar. Kondisi ini, bukan dianggap sebagai kondisi yang dapat membinasakan kita dan peradaban bersama sebagai umat manusia?. Mari kita jawab pertanyaan ini dengan jujur.
Lalu apa yang kita tunggu, menunggu tetangga, teman atau bahkan keluarga kita terkena dampak terlebih dahulu ? kenapa kita belum disiplin menjaga jarak, kenapa kita masih abai dengan sosial distancing, lalu terkesan mada (Bandel minang-red)?
Bukankah tetap tinggal di rumah adalah menjadi pilihan yang lebih baik. Pentingnya tinggal di rumah saat kondisi bahaya ternyata telah diingatkan Allah SWT dalam firmanNya di surat An-Naml ayat 18. Ayat ini, bisa diqiyaskan Pandemi Covid ini sebagai Rombongan tentara Nabi Sulaiman AS, yang berjalan gegap gempita ketika melewati suatu lembah, sehingga tidak mengetahui adanya gerombolan semut bermuqim dilembah itu. Ayat ini menceritakan kawanan semut saat itu berada dalam kondisi yang dinilai membahayakan, lalu raja semut berseru kepada pasukannya, Masuklah! Ke dalam rumah-rumah kalian.”
Mari kita perhatikan Arti ayat ini :
حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَوْا۟ عَلَىٰ وَادِ ٱلنَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّمْلُ ٱدْخُلُوا۟ مَسَٰكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَٰنُ وَجُنُودُهُۥ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
artinya:
“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”.
Kemudian, apakah masih kurang jelas pesan rasulullah SAW, utusan Allah yang ia Cintai, Sayyidina Muhammad SAW bersabda, sebagaimana pada riwayat Imam Ahmad, Rasul memerintahkan masyarakat untuk menahan diri rumah masing-masing di tengah penyebaran wabah thaun, yang Artinya :
عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها أخبرتنا أنها سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الطاعون فأخبرها نبي الله صلى الله عليه وسلم أنه كان عذابا يبعثه الله على من يشاء فجعله الله رحمة للمؤمنين فليس من عبد يقع الطاعون فيمكث في بلده صابرا يعلم أنه لن يصيبه إلا ما كتب الله له إلا كان له مثل أجر الشهيد
“Dari Siti Aisyah RA, ia berkata, ‘Ia bertanya kepada Rasulullah SAW perihal Pandemi Wabah tha‘un, lalu Rasulullah SAW memberitahukanku, ‘Zaman dulu Wabah tha’un adalah azab yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seseorang yang sedang tertimpa wabah tha’un, kemudian menahan diri di rumahnya dengan bersabar serta mengharapkan ridha ilahi seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid,’’(HR Ahmad).
Kembali kita kepertanyaan pembuka tadi. Bukankah, penghambaan yang haqiqi hanya kepada Allah Azza Wajalla ? tidakkah seringkali kita menghambakan Akal, kita sering berfikir aneh ketika ada himbauan “untuk menutup sementara aktifitas mesjid “ dan berfikir bermacam konspirasi jahat, hingga pikiran “tidak lazim rasanya tidak Sholat Jumat dan mengganti dengan Sholat Zuhur di rumah”, karena mungkin belum ada disekeliling kita corban atau suspec positif covid, bukankah akal itu Allah yang menciptakan?.
Sadarkah kita bahwa kita sedang menghambakan perasaan kita, ketika kita merasa tidak nyaman beribadah dirumah, merasa lebih afdhol sholat tarwih berjamaah di mesjid sambil bertadarus bersama, bukankah rasa dan perasaan itu, Allah yang menjadikan?. seringkali penghambaan kita kepada Allah bergeser, kepada akal, dan rasa yang Allah ciptakan, Sementara Kondisi Pandemi ini Ketetapan dan Taqdir ketetapan Allah, dan Allah yang menciptakan, dan perangkat mitigasinya sudah ditetapkan Allah dan rasulnya, lalu kita mau bagaimana lagi..?, bukankah solusinyanya adalah menjalankan apa yang sudah digariskan Allah dan rasulnya dengan sabar.
Kita sering abai dengan sang pencipta, dan acapkali tanpa sadar, beralih kepada yang diciptakan, kita sering terjebak pada hawa nafsu obsesif untuk menampilkan identitas keberagamaan dan keimanan kita, seolah-olah, kita sudah menakar tinggi kadar iman kita sendiri, terkadang kita dikuasai oleh diri sendiri, tanpa bisa menguasai diri kembali, Allah yang menciptakan akal, rasa, hawa nafsu dan diri (kemampuan dan keinginan) kita, namun masih ada yang menghambakan akal, rasa, hawa nafsu dan diri sendiri, sehingga menutup mata bathinnya kepada sang pencipta semua itu.
Kebanyakan kita tidak sabar dengan ketetapan Allah, kita berharap pandemi covid cepat selesai, namun tidak sabar menerapkan protokol kesehatan dan keselamatan, yang sebenarnya Allah dan rasul jualah yang menunjukan, kita tidak sabar menjalankan perintah pencegahannya, kita berharap Allah mengabulkan doa kita agar terhindar dan diangkat pandemi covid ini segera, namun sering kali kita kecewa, karena setiap hari, korban senantiasa bertambah dengan penyebaran yang bertambah luas pula wilayahnya, karena kita tidak sabar memahami hikmah Allah di tengah pandemi ini, maka berprasangka baiklah kepada Allah, bahwa taqdir Allah mendatangkan pandemi, pasti diiringi dengan hikmah yang baik pula untuk kita manusia menatap peradaban yang lebih baik kedepannya.
Ibadah Puasa tidak bisa dicitrakan dengan berbagai macam bentuk, karena ia privat, hanya Allah dan Seorang hamba yang tahu, kondisi ibadah puasa dengan seperti ini, adalah ketetapan Allah kepada Hamba mengajarkan agar hamba bertanggung jawab, jujur dan sabar menjalankannya. Sehingga muncul kesadaran akan Hadirnya Allah sang maha mengawasi disetiap tindak tanduk dan tingkah laku hamba. Apa yang ada dalam diri hamba, pikiran yang muncul, perasaan yang hadir, hawa nafsu dan keinginan untuk memperlihatkan keimanan kita (riya) dan sebagainya, semuanya Allah ketahui, Allah maha mengetahui.
Yang dituntut sekarang adalah, sadar bahwa Allah mengawasi kita dalam kondisi ini, sadar bahwa Allah sedang mengintai kita, tentang apa yang sebenarnya kita sembah, apakah menyembah Allah atau ciptaan Allah, dan sadar bahwa segala ketentuan Allah harus dijalankan dengan penuh kesabaran, dan Allah mengawasi kesabaran kita itu.
Berprasangka Baiklah kepada Allah, dengan mengikuti perintahnya, menjalankan mitigasi pencegahan Covid-19 yang sudah Allah dan rasul gariskan, tinggal dijalankan dan tinggal dinikmati ketentuan Allah ini dengan penuh harap akan ridha Allah.
Tak akan mengurangi nilai ibadah puasa kita, ketika kita beribadah dirumah bersama keluarga, bukankah menjalankan ibadah itu butuh keheningan dan ketenangan, dirumah tentu jauh lebih hening dan lebih tenang bukan?. Sebagai manusia yang beriman, kita harus memasuki ruang khalwat yang sunyi untuk berbincang-bincang dengan Allah, agar kita bisa memasuki suatu dimensi yang “asyik” yang hanya dirasakan hamba dengan Tuhannya agar pengaduan dan pengharapan kita kepada Allah lebih leluasa tersampaikan.
Berprasangka baiklah kepada Allah, ini taqdir Allah, dan kita berlatih bersama menghadapi musibah ini dengan sabar, ambil pelajaran dan fokus pada potensi hikmah dan nikmat Allah yang lebih besar, dari pada kita menggerutui kondisi yang terjadi dan apalagi berputus asa, kejar dan kalkulasikan pahala kita selama ramdhan ini, dan sekali lagi, berprasangka baiklah kepada Allah Azza Wajalla. (*)