Puisi-puisi Liza Warni
Aku Bukan Aku Lagi
Tersesat di antara paradise-paradise fana dunia
Lalai akan sinarnya yang tak disangka membutakan jiwa, aku bukan aku lagi
Bagai seorang pengelana yang dimabuk harumnya pengembaraan
Lupa diri hingga kutak sadar lagi, bekal habis di tengah perjalanan, aku bukan aku lagi
Menyusuri malam panjang tanpa ujung
Untuk memungut kembali partikel-partikel yang tercecer di sepanjang belantara merah yang tak kenal belas kasihan, aku bukan aku lagi
Sesekali kubaca bait demi bait puisi yang pernah tertoreh di catatan usang
Puisi itu kuberi judul “harapan” dengan tinta merah cerah dan huruf-huruf yang melengkung
Kini, bait-bait malang itu kehilangan kata demi kata
Judulnya telah lama hilang, aku telah kehilangan aku
Danau Kembar, 8 Juni 2021
Merengkuh Asa
Teman…
Detik ini, kita masih berada antara kata muda dan asa
Dua kata yang selalu menjadi andai-andai ketika nanti senjamu telah tiba
Coba ikut bersama harsa yang mengajak jiwa mengulang tualang ke hari-hari yang lalu
Menjenguk kembali mimpi-mimpi yang hampir mati dan harap yang telah sekarat
Meski langkahnya tak lagi berderap, tapi napasnya masih terasa hangat
Akan kau rengkuh ia
Atau kau biarkan mati begitu saja
Walau apinya telah lama padam
Tapi baranya masih tersisa
Akan kau nyalakan lagi ia
Atau kau biarkan mengabu sia-sia
Danau Kembar, 8 Juni 2021
Merelakan
Di tempat ini….
Udara hangat memeluk sisa-sisa cerita yang menggantung di seperempat waktu sore ini=
Di bawah kanopi kelopak bunga yang berguguran
Telah kuikhlaskan semua guratan-guratan luka itu pergi bersama bayu yang menari-nari di sela reranting nan tabah
Meliuk-liuk sebentar, terbang, lalu hilang
Kurelakan semua duka menjadi pernah yang akan segera punah
Tak akan kuizinkan satu pun dari rasa sakit terlalu lama bersarang di jiwa
Akan kusembuhkan ia bersama detik-detik yang mendekapku sangat dekat
Sedekat bilik dan serambi jantungku yang dulu kau tikam berkali-kali
Kau benar…
Waktu bagaikan hitam dan putih, tak tahu apa-apa tentang masa depan
Dulu kupikir hujan dan angin tak akan berhenti menangisi perih yang sengaja kau taruh pada celengan
ketidakyakinan
Yang terlanjur menelanku jauh-jauh, seakan lupa cara kembali menjadi utuh
Namun kini, musim pun telah berlalu
Carut-marut itu telah mengudara
Hingga tiada lagi yang tersisa, bahkan ampasnya pun tak tahu kemana bermuara
Danau Kembar, 8 Juni 2021
Hal yang Tak Dapat Ku Pungut Kembali
Kudapati dikau di antara yang tak terbaca
Pada rak usang yang mulai menuju keletihan
Di antara lembaran diksi yang tak lagi dapat kupahami maknanya
Kupelajari berulang kali
Kutatap sedalam yang aku mampu
Namun, kau masih sama
Kehilangan definisi pada memoriku
Kudapati dikau di antara remuk serpihan, yang mustahil dapat kupungut kembali
Dengan dua bola berkaca, kau pun berucap “ jangan mendekat…”
Kudapati dikau di lorong waktu yang aku tak mampu menerka batasnya
Menyunggingkan senyum ketidakpercayaan
Seolah terjebak di antara kata tahu dan tidak berdayamu, melontarkan sebuah pertanyaan “harus pulang kemana aku?”
Kudapati dikau yang kehilangan arah
Lalu kusadari aku yang telah kehilangan rasa
Aku lupa cara memahami
Ataupun mengenang ke waktu yang silam
Kau ada di antara harapan dan penyesalan, aku ragu menempatkannya…
Padang, 23 Juni 2021
Liza Warni lahir di Danau Kembar, Kabupaten Solok, 9 Agustus 1993. Alumni Pascasarjana UM Sumatera Barat ini merupakan guru PAI di SMK Nasional Padang dan juga salah satu dari anggota FLP Sumatera Barat.
Menerjang dalam Sunyi
Oleh: Ragdi F. Daye
(Buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Walau apinya telah lama padam
Tapi, baranya masih tersisa
Akan kau nyalakan lagi ia
Atau kau biarkan mengabu sia-sia
Enam hari lalu, tepatnya 26 Juli adalah hari lahir Chairil Anwar, penyair legendaris Indonesia yang menjadi pendobrak sastra pada zamannnya. Penggalan pusi-puisinya sering dikutip, seperti “hidup hanya menunda kekalahan”, “aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang”, “aku ingin hidup seribu tahun lagi”, “ Tidak banyak puisi yang berhasil ditulis Nini, panggilan kesayangan Sang Penyair. Hanya 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan selama tujuh tahun proses kreatifnya. Namun, itu lebih dari cukup untuk menjadi monumen sejarah yang hingga kini tetap eksis dan berdaya pengaruh kuat.
Sejarah sastra mencatat pembaruan yang telah disumbangkan Chairil bagi sastra dan bahasa Indonesia. Chairil menginisiasi bentuk puisi modern yang bebas dari pola sampiran dan isi serta keterikatan pada persamaan bentuk yang lazim diterapkan dalam pantun dan syair. Dengan kebebasan itu, dia dapat lebih leluasa membuat ungkapan puitiknya, meski tetap menunjukkan ikatan formula puisi yang sangat memperhatikan bunyi dan tak benar-benar berlepas diri dari karakter puisi lama jenis pantun.
“Saya tidak akan mencari uang dengan puisi!” begitu pernyataan sikap Chairil tentang motivasi berkeseniannya yang membuat kemenakan mantan Perdana Menteri Sutan Syahrir itu terpaksa bercerai dengan sang istri dan meninggalkan putrinya yang baru berusia satu tahun sepuluh bulan karena tidak mampu memberi nafkah—kelak, Chairil berjanji untuk menjemput lagi keluarganya apabila buku karyanya terbit dan memberikan seluruh royalti untuk memperbaiki rumah tangganya yang berantakan, namun niat itu tidak terwujud karena maut lebih dulu menjemput sebelum puisi-puisinya terbit menjadi buku dan dibaca di mana-mana.
Chairil menolak menjadikan puisi (karya sastra) untuk tujuan ekonomi semata. Dia juga menentang untuk berkompromi dengan penjajah Jepang untuk menjadikan karya sastra sebagai alat propaganda, seperti para seniman lain yang menyerah pada tekanan imperialis dan mau bekerja sama. Bagi Chairil, “Keindahan adalah persetimbangan perpaduan getaran-getaran hidup dan vitalitas adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan dalam mencapai keindahan.” Hal itu ditegaskannya di dalam pidato tahun 1943. Melalui puisi, Chairil menyampaikan gagasan tentang pemberontakan untuk mencapai kemerdekaan dan kemandirian. Sekalipun kreativitas Chairil tetap memiliki benang merah dengan capaian estetika generasi sebelumnya, dalam hal ini Angkatan Pujangga Baru, terutama Amir Hamzah yang beraliran romantik, dia menyumbangkan daya ungkap yang dinamis dan penuh vitalitas bahasa Indonesia yang didominasi bahasa Melayu.
Puisi Chairil cenderung energik sekaligus melankolik. Salah satu puisinya yang paling sendu selain “Yang Terampas dan Yang Putus” adalah “Nisan; untuk Nenekanda” yang lahir pascawafatnya sang nenek: ‘Bukan kematian benar menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ dan duka mahatuan bertakhta.’
Pola hidup Chairil yang cenderung bohemian dengan lagak urakan dan keseringan tinggal menumpang pada teman-teman seniman membuat orang melekatkan gelar Binatang Jalang padanya. Gaya hidup tersebut memberikan stigma negatif pada aktivitas keseniannya sebagai manusia yang hidup tak menentu, menggelandang, menabrak nilai-nilai umum, dan bermasa depan suram. Meski dianggap sebagai pelopor puisi baru Indonesia, banyak juga yang memandang karya Chairil sebagai puisi-puisi emosi dan autobiografis karena ditujukan kepada sejumlah orang historis dalam kehidupannya, khususnya perempuan-perempuan yang disukainya.
Chairil telah berkarya sejak usia MULO (SMP). Dia menulis dengan jiwa sentimentil, dengan kedalaman jiwa sehingga puisi-puisinya terkesan emosional walaupun punya muatan lain, seperti menyuarakan hidup merdeka dan perlawanan terhadap penjajahan. Kegemilangan kreativitasnya pun pernah diguncang oleh dugaan plagiarisme, khususnya puisi berjudul “Karawang-Bekasi.” Ditemukan banyak kesamaan antara puisi tersebut dengan puisi penyair Amerika Archibald MacLeish berjudul “The Young Dead Soldiers Do Not Speak”. Teks puisi tersebut dapat kita lihat sebagai berikut:
The young dead soldiers do not speak.
Nevertheless, they are heard in the still houses:
who has not heard them?
They have a silence that speaks for them at night
and when the clock counts.
They say: We were young. We have died.
Remember us.
They say: We have done what we could
but until it is finished it is not done.
They say: We have given our lives but until it is finished
no one can know what our lives gave.
They say: Our deaths are not ours: they are yours,
they will mean what you make them.
They say: Whether our lives and our deaths were for
peace and a new hope or for nothing we cannot say,
it is you who must say this.
We leave you our deaths. Give them their meaning.
We were young, they say. We have died; remember us.
Teks tersebut jika diterjemahkan apa adanya ke dalam bahasa Indonesia akan terbaca sebagai berikut:
Prajurit-prajurit yang mati muda tak bicara.
Namun, mereka terdengar di rumah-rumah sunyi:
siapa yang belum pernah mendengarnya?
Mereka punya keheningan yang bicara tentang mereka ketika malam
dan setiap hitungan jam.
Mereka berkata: Kami masih muda. Kami telah mati.
Kenanglah kami.
Mereka bilang: Kami telah melakukan yang kami bisa
namun hingga kesudahan ini belum purna.
Mereka berkata: Kami telah berikan nyawa kami namun hingga ini selesai
tak satu pun dapat mengetahui apa yang telah nyawa kami berikan.
Mereka bilang: Kematian kami bukan milik kami: mereka milikmu,
mereka akan bermakna sesuai makna yang kau buat.
Mereka berkata: Apakah nyawa kami dan kematian kami demi
kedamaian dan pengharapan baru ataukah untuk kesia-siaan kami tak bisa katakan,
kalian yang harus mengatakannya.
Kami wasiatkan kematian kami pada kalian. Berilah mereka makna.
Kami masih muda, ucap mereka. Kami telah mati; kenanglah kami.
Sekarang, mari bandingkan dengan puisi yang diberi judul “Karawang-Bekasi” oleh Chairil:
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.
Chairil bergaul dengan sastra dunia. Dia membaca karya-karya sastra yang aktual pada masa itu. Dia juga membaca bacaan-bacaan yang dibaca penulis angkatan sebelumnya. Kekayaan referensi tersebut menyumbangkan motif-motif estetika yang unik, suatu bentuk baru yang hibrida, campuran, terasa modern namun kental dengan tradisi lisan Sumatra. Tak salah bila H.B. Jassin membela ‘kenakalan’ Chairil. Menurut Jassin, Chairil tidak menjiplak, melainkan menyadur. Meskipun puisi tersebut berdasar pada puisi Archibald namun ia telah menjadi sebuah karya baru yang berbeda, kontekstual, dan sangat bergaya Chairil.
Di dalam sastra memang dikenal status intektektual, yakni ketika suatu karya memuat karya lain. Basri (2014) mengungkapkan bahwa tidak ada sebuah karya sastra yang benar-benar orisinil tanpa adanya pengaruh dari karya-karya lainnya. Setiap karya sastra pasti memiliki hubungan dengan karya-karya lainnya. Hubungan dua karya sastra itu biasa dikaji dalam sastra bandingan. Tema-tema kajian itu antara lain genre, tema, bentuk, aliran, ideologi, dan lain-lain. Hubungan pengaruh (influence) merupakan asumsi ada satu karya yang memberikan kaitan sebab akibat dengan karya sesudahnya. Sebagai hasil olah kreatif, karya sesudahnya banyak sedikit pengaruh di dalamnya. Hubungan itu dapat dilihat dari struktur frasa, kalimat, frasa, hingga tema besar karya sastra tersebut. Hubungan kebetulan (immanence) ketika dua karya tidak memiliki pengaruh, tetapi membahas tema yang sama. Hal itu jelas sebuah kebetulan karena alam kesadaran manusia bisa terhubung melalui mekanisme alam.
Penelitian intertekstual merupakan pemahaman sastra sebagai sebuah presupposition, yakni sebuah perkiraan bahwa sebuah teks baru mengandung teks lain sebelumnya. Roland Barthes (dalam Endraswara, 2002) mengungkapkan bahwa dalam diri dia sesungguhnya telah penuh dengan teks-teks lain. Dalam diri pengarang, penuh lapis-lapis teks-teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dalam karyanya. Jika yang terungkap dalam karyanya banyak memuat teks lain, memang akan kehilangan orisinilnya. Proses peniruan tidak mesti berarti plagiat. Peniruan dalam dalam proses kreatif berarti memberikan muatan, arti, dan makna yang baru. Proses peniruan dalam interteks adalah proses identifikasi objek kedalam level yang lebih tinggi sehingga karya yang dihasilkan menjadi baru, seolah-olah dilihat untuk pertama kali.
Selain Krawang-Bekasi, puisi Huesca yang diterjemahkan Chairil dari puisi John Cornford berjudul “To Margot Heinemann”, meski tak terlalu melenceng dari puisi asli, tetap menunjukkan gaya berpuisi Chairil:
jiwa di dunia yang hilang jiwa
jiwa sayang, kenangan padamu
adalah derita di sisiku
bayangan yang bikin tinjauan beku
angin bangkit ketika senja
ngingatkan musim gugur akan tiba
aku cemas bisa kehilangan kau
aku cemas pada kecemasanku sendiri
di batu penghabisan ke Huesca
batas terakhir dari kebanggaan kita
kenanglah sayang, dengan mesra
kau kubayangkan di sisiku ada
dan jika untung malang menghamparkan
aku dalam kuburan dangkal
ingatlah sebisamu segala yang indah
dan cintaku yang kekal
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat empat buah puisi dari Liza Warni yang berjudul “Aku Bukan Aku Lagi”, “Merengkuh Asa”, “Merelakan”, dan “Hal yang Tak Dapat Ku Pungut Kembali.” Secara umum, puisi-puisi Liza dapat dibaca sebagai teks yang lahir dari kegelisahan terhadap persoalan kehidupan, seperti keterlenaan pada kesenangan duniawi yang sementara, bagaimana menghargai waktu yang tak dapat diputar mundur, usaha melupakan pengalaman hidup yang menyakitkan, dan bagaimana menata langkah ke depan agar hidup dapat dijalani dengan lebih baik.
Puisi yang semata-mata berisi buncahan emosi sebagai potret lain diri penyair memang akan tenggelam oleh zaman. Namun, puisi yang kering dari kedalaman emosi juga tidak akan meninggalkan bekas di kalbu. Chairil mati muda dalam usia 27 tahun dengan umur proses kreatif hanya tujuh tahun sehingga dengan mudah dapat muncul kesimpulan bahwa puisi-puisinya pada masa itu masih mentah sarat personalitas. Akan tetapi, ketekunannya dalam mencipta, kerja keras dalam mengonkretkan perasaan dan gagasan dengan rangkaian bahasa Indonesia yang kala itu sedang proses berkembang, kegilaan dalam membaca buku-buku penulis Indonesia dan dunia, dan totalitas keseniannya adalah etos yang patut ditiru generasi milenial yang pengen jadi sastrawan. Jika tidak, maka ‘mampus kau dikoyak-koyak sepi’![]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post