Jumat, 17/10/25 | 04:02 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Nyonya-Nyonya dan Luka Tak Terbagi Karya Wisran Hadi

Minggu, 03/8/25 | 15:56 WIB

Oleh: Cynthia Syafarani
(Mahasiswa Universitas Andalas, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Indonesia)

Siapa sangka, sebuah teras rumah bisa menjadi medan pertempuran sengit yang mengungkap labirin moral dan budaya. Inilah yang disajikan Wisran Hadi dalam lakonnya yang berjudul “Nyonya-Nyonya”. Naskah drama pemenang Sayembara Menulis Naskah Drama DKJ 2003 ini, bukan sekadar tontonan biasa, melainkan sebuah cerminan satir tentang masyarakat kita yang terjebak di antara pusaran adat dan gelombang modernisasi yang serba materialistis. Sebagai mahasiswa yang sering ‘bergaul’ dengan naskah-naskah drama, saya menemukan “Nyonya-Nyonya” sebagai karya yang kaya, menggelitik, dan relevan hingga hari ini.

Pertama kali dipentaskan pada Maret 2004 di Malaysia dan kemudian di Jakarta, lakon ini langsung menarik perhatian dengan dialognya yang tajam, karakter-karakternya yang absurd namun terasa nyata, serta “ekor persoalan” yang terus-menerus digulirkan. Jadi, mari kita kulik lebih dalam mengapa drama ini patut mendapat tempat spesial di mata para penikmat sastra dan teater.

BACAJUGA

No Content Available

Inti konflik drama ini bermula dari hal yang sangat sederhana: Tuan, seorang pedagang barang antik, berkeras ingin terus berdiri di teras rumah Nyonya. Alasan Tuan? Ia mengaku kedinginan dan taksi tak kunjung lewat. Namun, Nyonya, istri kedua Datuk, mati-matian mengusirnya demi menjaga “nama baiknya”. Pertengkaran mereka yang kocak ini segera mengungkap motif yang lebih dalam. Ternyata, Tuan pernah membeli “satu meter persegi” dari pekarangan Nyonya hanya agar ia punya hak untuk berdiri di sana. Absurd? Tentu saja! Inilah salah satu genius Wisran Hadi dalam menciptakan situasi komedi yang sarat makna.

Dialog antara Tuan dan Nyonya adalah tawa sekaligus tamparan. Nyonya yang gelisah dengan “ekor persoalan” – konotasi negatif yang bisa muncul dari keberadaan Tuan di teras rumahnya – terus-menerus mengancam akan berteriak diperkosa atau merusak reputasi Tuan. Di sisi lain, Tuan dengan segala kelicikannya sebagai pedagang, memutarbalikkan logika, mengancam akan menuntut Nyonya ke pengadilan jika transaksi “empat buah marmer” di teras rumah Nyonya tidak dipatuhi. Ia bahkan membawa-bawa undang-undang perdagangan dan ancaman penjara, lengkap dengan potret Nyonya di koran boks kriminal.

Ini adalah puncak konflik awal yang cerdas, menunjukkan bagaimana nilai-nilai luhur seperti nama baik dan martabat bisa diperjualbelikan atau dimanipulasi demi kepentingan pribadi. Tuan, dengan dalih “intuisi pedagang barang antik” , bersedia membayar mahal untuk sesuatu yang sepele, bukan karena mutunya, tetapi karena “ukuran marmer Nyonya cukup untuk saya”. Sebuah metafora telak tentang bagaimana nilai objek ditentukan oleh subjek dan kepentingannya, bukan esensinya.

Nyonya bukanlah satu-satunya tokoh perempuan yang berjuang dalam drama ini. Kehadiran tiga keponakan (kemenakan) dari suami Nyonya menambah rumit benang konflik. Mereka datang membawa agenda tersembunyi: uang hasil penjualan tanah pusaka yang tak kunjung dibagi. Drama pun bergeser dari konflik teras ke sengketa warisan, dari kursi tamu ke pisau yang ditodongkan.

Salah satu momen paling absurd terjadi saat Ponakan A mengancam Nyonya dengan pisau hanya demi uang yang katanya “bukan hak Nyonya.” Tapi giliran uang diberikan, ia menolak: “Aku tidak perlu uangmu, tapi uang tanah pusaka!” Ironis, karena pada akhirnya ia mengambil juga tas berisi uang itu. Hal ini menggambarkan bagaimana uang, ketika dibalut oleh klaim moral atau adat, bisa menjadi alat tekanan bahkan kekerasan.

Lebih jauh lagi, keberadaan Nyonya sebagai “istri kedua” menjadi titik lemah yang terus diserang. Dalam logika adat Minangkabau yang matrilineal, kedudukan kemenakan sering dianggap lebih sahih daripada istri dalam soal pusaka. Tapi drama ini menantang asumsi itu. Nyonya berteriak, “Aku istri tercinta dan terpercaya!” sambil terus dihantam dengan klaim kemenakan tentang “adat yang dilanggar.” Di sinilah Wisran bermain-main dengan posisi perempuan: apakah menjadi istri berarti berkuasa, atau justru terus disandera oleh prasangka adat?

“Nyonya-Nyonya” adalah lakon yang cerdas dalam menyampaikan kritik sosial melalui komedi absurd. Pertanyaan tentang “ekor persoalan” yang terus-menerus muncul dalam setiap konflik, baik antara Tuan dan Nyonya, maupun antara Nyonya dan para Ponakan, secara satir menyoroti kegelisahan masyarakat akan “apa kata orang” atau konsekuensi yang terlihat, tanpa benar-benar peduli pada substansi masalahnya. Reputasi menjadi komoditas yang bisa diperdagangkan, bahkan ditakut-takuti.

Selain itu, tema tentang kepemilikan dan hak juga dieksplorasi secara mendalam. Tuan, yang telah membeli satu meter persegi pekarangan Nyonya, merasa berhak atas area tersebut, meskipun itu hanya untuk berdiri. Ini bisa dibaca sebagai kritik terhadap sistem kepemilikan yang kaku dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. “Rumah mewah selalu tidak ramah pada tamu!” teriak Tuan, sebuah komentar pedas tentang strata sosial dan sikap elitisme.

Karakterisasi dalam drama ini juga patut diacungi jempol. Tuan, si pedagang barang antik, bukan sekadar penipu ulung, melainkan sosok yang cerdik, logis dalam argumennya (walaupun logikanya sering terbalik), dan tak kenal menyerah. Nyonya, di sisi lain, adalah gambaran wanita kelas atas yang terjebak antara citra diri yang ingin ia pertahankan dan godaan materi yang sulit ia tolak. Sementara para Ponakan merepresentasikan dinamika keluarga yang rumit, di mana cinta dan kesetiaan seringkali kalah oleh nafsu akan warisan.

Unsur komedi muncul dari situasi yang canggung, dialog yang cepat dan berulang, serta argumen-argumen yang konyol namun dibawakan dengan serius. Misalnya, ketika Nyonya meminta Tuan untuk menanggalkan pakaiannya agar Tuan malu dan pergi , atau ketika Tuan mengatakan rumah Nyonya adalah “gedung pertunjukan”. Ini menciptakan suasana yang menggelitik sekaligus memprovokasi pikiran.

Meskipun ditulis dua dekade lalu, “Nyonya-Nyonya” tetap relevan dengan kondisi masyarakat kontemporer. Konflik-konflik terkait warisan, ketegangan antara nilai-nilai tradisional dan modern, serta kecenderungan untuk memanipulasi kebenaran demi keuntungan pribadi, masih sangat terasa di sekitar kita. Wisran Hadi berhasil merangkum kompleksitas ini dalam sebuah kemasan drama yang menghibur namun menggigit.

Sebagai mahasiswa, kita seringkali dihadapkan pada dilema moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkup personal maupun sosial. Lakon ini seolah mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam pusaran materialisme dan menjaga nilai-nilai luhur, meskipun godaan “ekor persoalan” selalu membayangi. “Nyonya-Nyonya” adalah karya yang tak lekang oleh waktu, mampu memprovokasi tawa sekaligus pemikiran mendalam tentang hakikat manusia dan masyarakatnya.

Lewat Tuan, Nyonya, dan para Ponakan, Wisran Hadi mengajak kita untuk berkaca, apakah kita termasuk salah satu karakter yang terperangkap dalam labirin “ekor persoalan” yang tak ada habisnya? Sebuah refleksi yang penting, terutama di era di mana citra seringkali lebih penting daripada substansi, dan transaksi mengalahkan tatanan.

Tags: #Cynthia Syafarani
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Tradisi Menyalin dan Menulis dari “Naskah” atau “Manuskrip”

Berita Sesudah

Empat Dekade Menghilang, Berang-berang ini Kembali Muncul

Berita Terkait

Jejak Peranakan Tionghoa dalam Sastra Indonesia

Jejak Peranakan Tionghoa dalam Sastra Indonesia

Minggu, 12/10/25 | 12:34 WIB

Oleh: Hasbi Witir (Mahasiswa Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas) Banyak dari kita mungkin beranggapan bahwa sejarah sastra Indonesia modern dimulai...

Makna Dibalik Puisi “Harapan” Karya Sapardi Tinjauan Semiotika

Makna Dibalik Puisi “Harapan” Karya Sapardi Tinjauan Semiotika

Minggu, 12/10/25 | 11:30 WIB

Oleh: Muhammad Zakwan Rizaldi (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas dan Anggota UKMF Labor Penulisan Kreatif)          ...

Puisi-puisi Ronaldi Noor dan Ulasannya oleh Ragdi F. Daye

Puisi Luka Gaza dalam “Gaza Tak Pernah Sunyi” Karya Hardi

Minggu, 05/10/25 | 23:48 WIB

Oleh: Ragdy F. Daye (Penulis dan  Sastrawan Sumatera Barat)   Kota ini bukan kota lagi. Ia museum luka yang terus...

Menyibak Sejarah melalui Manuskrip Surau Baru Pauh

Menyibak Sejarah melalui Manuskrip Surau Baru Pauh

Minggu, 05/10/25 | 23:29 WIB

Oleh: Febby Gusmelyyana (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)   Pada Jumat, 29 Agustus 2025, pukul 13.30...

Pandangan Khalil Gibran tentang Musik sebagai Bahasa Rohani

Konflik pada Cerpen “Pak Menteri Mau Datang” Karya A.A. Navis

Minggu, 05/10/25 | 23:11 WIB

Oleh: Faathir Tora Ugraha (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas)   Ali Akbar Navis atau lebih dikenal A.A. Navis adalah...

Sastra Bandingan: Kerinduan yang Tak Bertepi di Antara Dua Puisi

Sastra Anak, Pondasi Psikologis Perkembangan Kognitif Anak

Minggu, 28/9/25 | 15:19 WIB

Oleh: Dara Suci Rezki Efendi (Mahasiswi Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)   Setiap karya sastra pasti memiliki pembacanya masing-masing,...

Berita Sesudah
Empat Dekade Menghilang, Berang-berang ini Kembali Muncul

Empat Dekade Menghilang, Berang-berang ini Kembali Muncul

POPULER

  • Afrina Hanum

    Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seminar Ekonomi UNP Dorong Mahasiswa Jadi Penggerak Ekonomi Berkelanjutan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Job Fair 2025 UNP Hadirkan Puluhan Perusahaan Ternama, Buka Peluang Karier bagi Lulusan Muda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Se Indonesia, seIndonesia, atau se-Indonesia?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pemkab Solok Hentikan Sementara Kegiatan Wisata Glamping Lakeside Alahan Panjang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024