Puisi-puisi Rahmad Riady
Ziarah
Kidung-kidung membelah pagi hitam
Menyapa yang lelap matanya, yang lupa Tuhannya
Jari masih menulis bersama gerimis yang luruh dari kedua mata
Kelopaknya adalah rapal doa, lensanya adalah dinding buta yang diendapi telaga yang jelaga
Kau dengarkan kini nyanyian senduku
Nadanya adalah layar-layar terbentang; ke hamparan tanah luas, bukit-bukit berbaris, garis pantai memanjang, dan sekelebat kenangan-kenangan
Kembaralah ke negeri jauh
“Sering terjadi, dinda”
Saat pena bersemayam di atas kertas, hatiku disesaki cemas
Sayup-sayup angin mengintip dari balik jendela
Berbondong-bondong menghunjamku
“Badai dinda”
Masih juga cabar, membiarkan tubuh lunglainya tercakar-cakar
Begitulah aku nikmati hari-hariku yang kacau, parau, cerau
Dan mati-matian memerangi risau
Sementara orang-orang masih saja menghujaninya dengan busur panah kemurungan
“Bolehkah aku bicara denganmu sebentar”
Sialan!!!
“Ternyata kau sudah mendahukuiku terkapar di ranjang yang sebentar lagi terbakar”
Januari telah datang padaku
Antara khusuk dan lelapku, antara putus asa dan harapku
“Ahh… kau masih saja betah di kepala, seolah olah semesta adalah wajahmu”
Sampai juga aku di kuburanmu
Menziarahi setiap kata-katamu yang lalu
“Dinda”
Senja dan sendu telah berpangku di matamu
سجادة السجود
Di sudut barat tempat mengadu fajar yang hendak pulang
Ada manusia dengan rupa-rupa kebijaksanaan
Memadani kitab-kitab Tuhan sepanjang malam
Menyeruput seduhan kopi balagah, nahwu dan sharaf dalam secangkir ilmu kehidupan
Swastamita terkekang bunyi-bunyian toa yang saling berdesakan
Saat yang lain mencari Tuhan di tempat ibadah
Aku melihat Tuhan dalam diriku
Jalinan ruh penghamba dan ruh penyayang dalam satu tubuh yang terlihat dan tabir Tuhan yang melekat
Siapa dzat yang kauyakini, dan siapa Tuhan yang kukafiri?
Malam yang semakin susut tanpa hunjaman bintang
Hatiku rahib pada gemerlapnya surau topas
Ilalang bagi domba dombanya putra Fuhayra
Kuilnya para berhala yang dipenuhi sabak-sabak peninggalan Ahmad
Sudah ribuan rindu mampu kuterjemahkan
Termasuk bentuk Dirimu pada kecantikan putri-putri Persia dan megahnya tabir Isfahan
Tapi tidak dengan sujud yang menggali kuburnya sendiri dengan tanah Boulevard Keuskupan Roma
Bolehkah aku merindukan-Mu tanpa harus dengan sujud yang menyerabut?
Izinkan aku beriman tanpa harus kujejaki sujud mereka
Di beranda segala dengki yang mereka taburi dengan aamiin dan lantunan kisah bunda Al Masih yang dikaruniai kasih
Mereka hanya mengkultuskan cinta di atas berhala sajadah yang hanya menjelagai kening-kening yang kerut dan kabut
Bukan terhadap-Mu, apalagi cinta-Mu
Pesta-pesta kecil di dinding kamar
Aku masih di sini, bersama tumpukan angka di lembar almanak
Sudut-sudut kota dan mata-mata ragu para gelandangan bertenggeran di dinding kamar
Ruangan ini pengap dan sesak
Anak-anak berlarian sementara para bapak lari dari kehidupan
Ada bunyi serupa firman Tuhan di atas meja, terkurung di sebalik mendung
Langit-langit kamar mulai menuai, sementara dari lantai tumbuh bunga bangkai setinggi pohon mahoni
Saat malam mulai jelaga
Kulukis bekas senyumanmu di atas kertas;
Malam mengamuk, Tuhan mengutuk
Seketika kota gusar oleh amarah penjual koran
Sebab berita kebohongan diperjual belikan
Kita sampai dikeputusasaan selalu terlambat waktu
Dan hal paling menyebalkan di dunia ini adalah berbicara di depan cermin untuk kemudian gusar terhadap diri sendiri
Padahal Tuhan adalah malam, terkadang Ia siang dan seringkali menjelma petang
Aku masih di sini, bersama tumpukan angka di lembar almanak
Aku menandai rasa sakit berkali-kali di segala hari
Orang-orang masih sibuk dengan dirinya sendiri
Saling caci dan memaki, anak-anak dibesarkan dengan kebencian setiap pagi, sementara menjelang tidur, mereka dininabobokkan dengan harapan tanpa henti
Kepada Dy
Aku menitipkan kamar ini dengan ragu-ragu
Sebab Tuhan yang memberikannya ujian saban hari sewaktu hujan
Adalah Tuhan yang mengisi kamar ini siang dan malam
Dalam Hati Kueja Mati, Dalam Ibu Kueja Rindu
Lampu-lampu telah padam
Ada rona di wajahmu serupa lebam
Kita menghabiskan magrib tanpa sembahyang
Sementara malam mulai bercabang dan tumbuh di antara banyak pusara
Aku telah menanak nasi untukmu, Bu
Lalu menuliskan puisi di perapian
Aku mengumpulkan kata-kata dari gundukan tanah dan memetik kamboja sebagai pena
Segala luka telah kuendapkan menjadi syair
Senyum berayun di ranting beringin dan rantai angin
Aku menyusun ayat demi ayat sebagai kesumat dan menenunkannya untukmu Serupa talqin
Di kepalaku, senyuman terbelenggu oleh waktu
Tak ada kehangatan, sebab keterasingan beranak pinak di meja makan
Tamu-tamu bersila di muka pintu
Menyulam mantra-mantra para leluhur
Di antara ك dan ن namamu berayun-ayun
Lalu wajahmu menjadi baka sekejab waktu
Aku beranjak dari perapian dan menitipkan puisi ke pangkuan Tuhan
Menikmati keheningan sebagai kudapan
Sebab nasi yang telah kutanak, Bu
Tidak lagi bisa kita makan
Ialah hikayat perantauan dan kampung halaman:
antara kerinduan dan kepulangan;
antara kelahiran dan kematian;
antara Ibu yang meninggalkanku sebelum sempat berpamitan
Tentang Penulis
Rahmad Riady lahir di Jambi pada 17 Maret 1999 kemudian tumbuh besar di Kota Padangsidimpuan Sumatera Utara. Lahir dari keluarga dengan latar belakang yang jauh dari dunia kepenulisan membuat ketertarikannya dengan dunia sastra hanya menjadi sebuah ketertarikan saja. Dia mulai menggeluti kepenulisan sewaktu kuliah di Universitas Sriwijaya.
Cinta tanpa Jelaga
Oleh Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Bolehkah aku merindukan-Mu
tanpa harus dengan sujud yang menyerabut?
Puisi adalah misteri yang menggoda untuk dinikmati. Layaknya negeri asing yang baru pertama kali dijejaki, sekalipun punya banyak persamaan dengan negeri sendiri, bentangan pemandangan di depan mata akan memancing perhatian untuk menjelahi, menelisik apa yang serupa dan mencari man a yang belum pernah dijumpa. Pencarian dan penghubungan dengan koleksi pengalaman batin personal akan membentuk pengalaman baru dengan kesan kontekstual.
Azhari (2014) mengungkapkan bahwa proses kontemplasi yang dilakukan penyair dapat membentuk ciri-ciri terhadap tema yang diambilnya. Perenungan yang dimaksud adalah proses batiniah yang dilakukan oleh penyair sebelum menciptakan sebuah karya. Proses merenung sering memunculkan ide-ide yang tak terduga dan dari hal tersebutlah muncul makna-makna yang lebih dalam dari setiap diksi yang dipakai oleh penyair dalam puisinya.
Setiap makna selalu memiliki tanda-tanda yang dapat dihubungkan untuk membentuk suatu makna baru yang mencakup keseluruhan isi karya puisi tersebut. Setiap penyair biasanya mempunyai waktu-waktu tertentu yang digunakan sebagai titik kontemplasinya untuk menaruh tanda-tanda di setiap makna puisinya.
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilkan empat buah puisi dari Rahmad Riady. Keempat puisi tersebut berjudul “Ziarah”, “سجادة السجود”, “Pesta-pesta kecil di dinding kamar”, dan “Dalam Hati Kueja Mati, Dalam Ibu Kueja Rindu”.
Puisi pertama, “Ziarah” mengungkapan kemurungan seseorang yang telah ditinggalkan orang tercinta, ‘begitulah aku nikmati hari-hariku yang kacau, parau, cerau/ dan mati-matian memerangi risau’. Kehilangan orang terdekat merupakan tragedi yang sulit disingkirkan dari pikiran. Segala peristiwa berkesan di masa lalu, pengalaman manis ataupun pahit, janji-janji harapan, kegembiraan dan kesedihan bebeur menjadi kenangan yang tak terlupakan. Rahmad menuliskan, “Ahh… kau masih saja betah di kepala, seolah olah semesta adalah wajahmu”
Ziarah berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata ziyadah yang berarti menziarahi, menengok atau mengunjungi. Secara harfiah, kata ini berarti kunjungan, baik kepada orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Sedangkan berziarah adalah berkunjung ke tempat yang dianggap keramat atau mulia, makam dan lain sebagainya untuk berkirim doa.
Pada puisi Rahmad ini, ziarah dapat diartikan sebagai aktivitas mengunjungi makam seseorang yang sudah tiada. Ini terbaca dari larik ‘Sampai juga aku di kuburanmu/ Menziarahi setiap kata-katamu yang lalu’ yang secara eksplisit menyebut kata ‘kuburan’. Kalimat ini juga memberi informasi yang sama, “Ternyata kau sudah mendahukuiku terkapar di ranjang yang sebentar lagi terbakar”. Keadaan ini menyebabkan deraan rasa duka cita di batin aku lirik. Dengan haru, Rahmad mengakhiri puisinya, “Dinda”/ Senja dan sendu telah berpangku di matamu.
Tema kehilangan akibat kematian orang terkasih juga muncul di puisi Rahmad yang keempat, “Dalam Hati Kueja Mati, Dalam Ibu Kueja Rindu”. Kali ini yang sudah tiada adalah ibu. Kehilangan ibu adalah nestapa sepanjang masa bagi seorang anak, apalagi bila tak sempat bertemu melepas kepergian sang ibu.
Di dalam puisi ini kejadian kematian digambarkan melalui peristiwa berziarah ke kuburan dan peristiwa takziyah yang dilakukan oleh kaum muslimin ke rumah ahli waris yang meninggal dunia. Peristiwa pertama hadir pada larik ‘Sementara malam mulai bercabang dan tumbuh di antara banyak pusara’ dan larik ‘Aku mengumpulkan kata-kata dari gundukan tanah dan memetik kamboja sebagai pena’. Diksi ‘pusara’, ‘gundukan tanah’, dan ‘kamboja’ memiliki relasi yang dekat dengan area pemakaman.
Kunjungan ke makam dilakukan untuk menziarahi seseorang uang sudah meninggal dunia untuk menyampaikan doa, mengenang, dan mengingatnya pernah ada. Peristiwa kedua yang berhubungan dengan tradisi melayat atau berdoa di rumah duka digambarkan dengan ‘Tamu-tamu bersila di muka pintu/ Menyulam mantra-mantra para leluhur’. Kebiasaan takziyah dilakukan secara berjamaah disertai ritual doa bersama dipimpin seorang ahli agama.
Puisi kedua Rahmad diberi judul dengan aksara Arab, “سجادة السجود” (dapat dibaca “Sujud Sajadah”), mengandung perenungan tarikat, ‘Saat yang lain mencari Tuhan di tempat ibadah/Aku melihat Tuhan dalam diriku’. Tentang seseorang yang ‘Memadani kitab-kitab Tuhan sepanjang malam/ Menyeruput seduhan kopi balagah, nahwu dan sharaf dalam secangkir ilmu kehidupan’.
Sujud tilawah ialah sujud yang dilakukan oleh seorang muslim pada waktu membaca atau mendengar bacaan ayat-ayat sajdah yang dilakukan baik dalam keadaan sedang melaksanakan salat maupun di luar salat. Meskipun merupakan ibadah sunat, sujud sajadah mempunyai keutamaan. Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR Muslim).
Bersujud ketika mendengar ayat-ayat sajadah mengandung makna ketundukan pada Allah, penyerahan diri yang tak berdaya kuasa di hadapan Sang Khalik. Rahmad menulis dengan mendalam, ‘Izinkan aku beriman tanpa harus kujejaki sujud mereka/ Di beranda segala dengki yang mereka taburi dengan aamiin dan lantunan kisah bunda Al Masih yang dikaruniai kasih/ Mereka hanya mengkultuskan cinta di atas berhala sajadah yang hanya menjelagai kening-kening yang kerut dan kabut/ Bukan terhadap-Mu, apalagi cinta-Mu.’ Cinta yang murni dari kalbu tanpa ingin dipuji manusia lain tentu utama, namun amalan ibadah tetap menuruti rukun tuntunan.
Esten (1989) menyatakan bahwa karya sastra mengungkapkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan. Ia melukiskan tentang penderitaan manusia, perjuangan, kasih sayang dan kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia. Dengan sebuah cipta sastra pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan agung, ingin menafsirkan tentang hidup dan hakikat hidup.
Robert C. Pooley (1992:19) mengatakan bahwa orang yang menutup telinga terhadap puisi akan terpencil dari suatu wilayah yang penuh dengan harta kekayaan berupa pengertian manusia, pandangan perorangan, serta sensitivitas yang menonjol. Suatu kerugian jika masyarakat tidak menikmati serta mengambil nilai dan makna yang terdapat dalam puisi. Memang dibutuhkan usaha untuk menangkap makna dan pesan yang disampaikan oleh penyair, namun adaberbagai cara yang bisa dilakukan, salah satunya lewat analisis dan kajian yang mendalam terhadap karya tersebut.
Puisi ketiga Rahmad, “Pesta-pesta kecil di dinding kamar”, cukup gaduh dengan kegalauan seseorang yang terperangkap terkurung secara sosial di dalam sebuah kamar, ‘Aku masih di sini, bersama tumpukan angka di lembar almanak/ Sudut-sudut kota dan mata-mata ragu para gelandangan bertenggeran di dinding kamar/ Ruangan ini pengap dan sesak/ Anak-anak berlarian sementara para bapak lari dari kehidupan.’
Ketika badan berhenti dari aktivitas gerak maka pikiran akan lebih leluasa bertualang menjelajah gagasan-gagasan yang terpendam, memberi kesempatan pada pertanyaan-pertanyaan, dan perasaan yang tidak sejalan dengan kenyataan. Sesuatu yang diterima atau hendak dipertentangkan. Sesuatu yang memicu gundah dan memancing amarah.
Rahmad menulis lagi, dalam ruang kamar yang stagnan seolah waktu berhenti namun membiarkan pikiran-pikiran bebas mengembara, ‘Aku masih di sini, bersama tumpukan angka di lembar almanak/ Aku menandai rasa sakit berkali-kali di segala hari./ Orang-orang masih sibuk dengan dirinya sendiri/ Saling caci dan memaki, anak-anak dibesarkan dengan kebencian setiap pagi, sementara menjelang tidur, mereka dininabobokkan dengan harapan tanpa henti.’ Kontemplasi di dalam kesendirian akan membangkitkan kebijaksanaan.
Puisi-puisi Rahmad yang berlarik-larik panjang dengan pola bait yang tak terikat pada struktur tipografi tertentu seperti menunjukkan ekspresi kreatifnya yang bebas, menjelajah dengan pikiran-pikiran kritis, hingga suatu waktu akan sampai pada harmoni yang lebih tenang dan matang.[]
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.