Setiap bulan Oktober, masyarakat Indonesia memperingati bulan bahasa. Bulan bahasa merupakan bentuk penghormatan terhadap eksistensi bahasa Indonesia yang bermula dari ikrar Sumpah Pemuda yang tercetus pada tanggal 28 Oktober 1928.
Sudah puluhan tahun berlalu sejak bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa yang menyatukan pluralitas atau keberagaman bangsa Indonesia, sejak itu bahasa Indonesia terus berkembang, terus digunakan , dan terus dipelajari secara lebih mendalam. Hal itu tidak lepas dari sifat bahasa Indonesia yang dinamis sebagai tipe bahasa aglutinasi atau tipe bahasa yang mudah menerima perubahan.
Salah satu upaya mempelajari bahasa adalah dengan mengenal bahasa Indonesia dan pembagiannya. Secara umum, bahasa Indonesia terbagi atas dua, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan diwujudkan melalui alat komunikasi lisan (alat artikulasi/alat ucap) yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan bahasa tulis diwujudkan dalam bentuk kumpulan teks yang memiliki topik dan kenal dengan wacana.
Wacana juga memiliki bagian-bagian yang dikenal dengan teks, ko-teks, dan konteks. Teks, ko-teks, dan konteks disebut dengan unsur-unsur atau bagian-bagian yang membangun wacana. Ada bagian yang disebut dengan unsur internal wacana dan ada bagian yang disebut dengan unsur eksternal wacana. Unsur internal wacana adalah bagian yang membangun wacana dari dalam, yaitu teks dan ko-teks, sedangkan bagian yang membangun wacana dari luar teks disebut dengan unsur eksternal wacana yang disebut dengan konteks. Kedua bagian tersebut sama-sama penting dalam menentukan keutuhan sebuah wacana.
Teks
Teks adalah esensi wujud bahasa. Teks direalisasikan (diucapkan) dalam bentuk wacana. Van Dijk dalam Mulyana dan Nababan (2020; 1987) menyatakan teks lebih bersifat konseptual. Beberapa ahli terkadang membedakan teks dari wacana karena wacana lebih ke arah teks lisan, sedangkan teks dianggap teks tulis yang bersifat lebih monolog. De Beaugrande dan Dressler (1981) mendefinisikan teks sebagai sesuatu yang mengacu pada suatu peristiwa komunikasi yang ditransmisikan melalui saluran media yang sesuai dan ideal serta berfungsi untuk memenuhi tujuan komunikasi. Teks merupakan unsur internal dalam struktur wacana seperti halnya kata dan frasa. Halliday dan Hasan (1976) menganggap teks sama dengan wacana.
Ko-teks
Halliday menyebut ko-teks sebagai kata-kata atau frasa yang digunakan dalam wacana yang mengacu pada kalimat sebelumnya. Lewis menyebut ko-teks dengan kalimat-kalimat yang mengandung referensi khusus kepada apa yang disebutkan sebelumnya pada frasa-frasa, seperti the aforementioned (tersebut di atas (Brown & Yule, 1996). Kridalaksana (1978) menyebut ko-teks sebagai semua (struktur) kalimat yang mendahului atau mengikuti kalimat dan konteks sebagai semua faktor dalam proses komunikasi yang tidak menjadi bagian dari wacana. Keutuhan wacana berkaitan dengan ketekstualan dari unsur-unsur wacana dan menjadi ciri satuan gramatikal lain, seperti morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan paragraf.
Konteks
Gagasan tentang konteks pertama kali dikembangkan Halliday pada tahun 1961 dengan istilah medan, modus, dan tenor/gaya dan turut dijelaskan oleh Martin dalam artikel berjudul “Meaning matters: a short history of systemic functional linguistic”. Dalam pandangan Halliday field (medan) mengacu pada peristiwa yang sedang terjadi/topik yang dibicarakan dalam wacana, mood (sarana/modus/moda) mengacu pada sarana bahasa yang digunakan dalam peristiwa komunikasi, dan tenor (partisipan) mengacu pada hubungan di antara para peserta yang terlibat dalam proses berbahasa. Model konteks tiga bagian ini dirumuskan sebelum pengembangan metafungsi sebagai formalisasi paradigmatik Linguistik Fungsional Sistemik yang mendalami tata bahasa dan berkembang pada pertengahan 1960-an.
Halliday (1978) dalam bukunya Bahasa sebagai Sistem Semiotika Sosial menjelaskan dimensi medan, modus, dan tenor sebagai konteks yang berkorelasi dengan fungsi ideasional, tekstual, dan interpersonal. Masing-masing fungsi ekstrinsik (kontekstual) digambarkan secara beragam, seperti yang tercermin dalam (reflected in), menentukan (determining), mengaktifkan/berhubungan dengan (activating), dan direalisasikan melalui (associated with and realized through). Dalam definisi yang sederhana, konteks merupakan semua unsur pendukung yang berada di luar teks.
Konteks dibagi atas dua, yaitu konteks luas dan konteks lokal (Titscher, dkk. 2009). Konteks luas mengacu pada konteks budaya, sedangkan konteks lokal terdapat pada norma-norma dan nilai sosiokultural serta kecenderungan psikis yang terus berubah dalam pemroduksian wacana. Hubungan bahasa dengan konteks atau faktor sosial tercermin dalam lingkaran sistem semiotika bahasa (Halliday dan Martin, 1993).
Hubungan antara bahasa dan konteks merupakan hubungan yang saling mengungkapkan makna. Pada satu sisi makna bahasa terungkap melalui konteks dan pada sisi yang lain bahasa bertugas untuk mengungkapkan konteks. Berkaitan tek, ko-teks, dan konteks, bahasa Indonesia dikenal sebagai institusi sosial dan bentuk praktik sosial dalam mengaktualisasikan ilmu pengetahuan. Demikian pengetahuan sederhana tentang wujud bahasa secara umum dan bahasa Indonesia secara khusus yang telah menyatukan keberagaman dalam masyarakat Indonesia.