
Sejak dulu kita sering mendengar singkatan VIP atau VVIP, baik di bandara, stasiun, mal, atau toko-toko tertentu, khususnya toko-toko barang mewah. VIP dan VVIP merupakan singkatan bahasa Inggris dari very important person dan very very important person. Kosakata ini digunakan untuk para tamu yang dianggap istimewa atau tamu yang memiliki posisi penting, baik di dunia hiburan, bisnis, politik, maupun layanan konsumen.
Dalam Kamus Merriam-Webster, kosakata ini dijelaskan pertama kali dipakai pada tahun 1933. Di Indonesia kosakata ini dipakai setelah periode tersebut, khususnya setelah bahasa Inggris memainkan peran penting sebagai bahasa pergaulan untuk urusan internasional di Indonesia. Bahkan, tidak hanya di Indonesia, di negara-negara Asia Tenggara, seperti Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, dan Timor Leste, bahasa Inggris juga dipakai untuk urusan internasional.
Sejak dipakai pertama kali di Indonesia, singkatan VIP dan VVIP tidak pernah masuk ke dalam KBBI. Singkatan ini baru masuk ke dalam KBBI edisi terbaru, tepatnya pada KBBI Edisi VI. Sampai tahun 2018, khususnya edisi terakhir KBBI edisi cetak, singkatan ini belum ada sama sekali. Hal ini tentu menarik perhatian kita karena dalam komunikasi sehari-hari, singkatan ini selalu dipakai meskipun sudah ada padanan kata berupa naratama dan naratetama. Naratama adalah ‘orang yang diberikan pelayanan khusus, seperti ruangan, makanan, minuman, dan kebutuhan tambahan’ dan naratetama adalah ‘orang yang diberikan pelayanan sangat khusus, seperti ruangan, makanan, dan minuman’.
Masuknya kata VIP dan VVIP ke dalam KBBI ternyata menjadi upaya bagi Badan Bahasa untuk menambah khazanah kosakata bahasa Indonesia dari bahasa Inggris. Dalam KBBI Edisi VI, selain VIP dan VVIP, terdapat juga terdapat 225 kosakata lainnya yang dilabeli sebagai kosakata bahasa Inggris. Di antara kata yang dimaksud, ada appetizer, baby boomer, bachelor, cutlery, desk, extralarge, foul play, government issues, hippie, knock out, mister, suite, virtual banking, watermark, dan zebra crossing.
Jika melihat kosakata bahasa Inggris dalam KBBI Edisi VI, tampak bahwa hampir semua kosakata tersebut masih menunjukkan fonotaktik bahasa Inggris. Tidak ada kosakata yang mengalami penyesuaian dengan fonotaktik bahasa Indonesia. Fonotaktik merupakan urutan fonem yang dimungkinkan dalam suatu bahasa. Artinya, urutan fonem dalam kosakata tersebut tidak mencerminkan urutan fonem bahasa Indonesia.
Jika dilihat dari 227 kosakata bahasa Inggris yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, ada beberapa kata yang sudah disesuaikan dengan fonotaktik bahasa Indonesia, seperti jentelmen, komfortabel, konform, literal, ombudsman, dan reviu. Namun, jika dicermati lagi, kita masih dapat mengenali kata tersebut sebagai kosakata bahasa Inggris karena masih mirip dengan sumber aslinya gentleman, comfortable, conform, literal, ombudsman, dan review. Masyarakat Indonesia masih mengenal bahwa kosakata tersebut merupakan kosakata yang berasal dari bahasa Inggris.
Karena bahasa Inggris berasal dari rumpun bahasa yang berbeda, yaitu rumpun bahasa IndoEropa, yang memiliki sistem linguistik yang berbeda dengan di Asia Tenggara, ketika bahasa Inggris digunakan dan diserap ke dalam bahasa Indonesia, kosakatanya mengalami adopsi, adaptasi, dan juga modifikasi untuk menyesuaikan diri dengan sistem linguistik dari bahasa Indonesia. Semenjak kosakata bahasa Inggris telah disahkan sebagai bahasa resmi ASEAN, kosakata yang diserap pun semakin banyak ke dalam bahasa Indonesia. Jumlah yang tercantum dalam KBBI, yang hanya 227 tersebut merupakan jumlah yang tidak tepat.
Sneddon (2013) dalam buku Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society mencatat bahwa kosakata bahasa Inggris dalam KBBI Edisi II (1993) berjumlah 10.000 lebih banyak dari yang tercantum pada KBBI Edisi I (1988). Jumlah ini tentu semakin meningkat jika dibandingkan dengan KBBI edisi selanjutnya (hingga KBBI Edisi VI). Namun, dalam KBBI Edisi VI, jika melihat label yang tercantum pada lema, kosakata bahasa Inggris yang diserap ke dalam bahasa Indonesia hanya berjumlah 227 lema.
Jumlah tersebut sangat sedikit dan tentunya tidak mencerminkan kosakata bahasa Inggris yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena kosakata yang mendapat label bahasa Inggris dalam KBBI adalah kosakata yang masih menunjukkan fonotaktik bahasa Inggris. Sementara itu, Sneddon (2013) telah mencatat sejumlah kosakata bahasa Inggris yang diserap ke dalam bahasa Indonesia merupakan kosakata yang tidak lagi disadari masyarakat sebagai kosakata asing. Kosakata yang dimaksud adalah atlet, final, gol, rekor, skor, tenis, turnamen (olahraga), sekuel, selebritas, skrining, syuting (perfilman), diskotik, fan, hit, kaset, rilis (musik), aksesori, fantasi, gosip, joging, komedi, kuis, modeling (budaya populer), broker, globalisasi, impor, ekspor, inflasi, investor, karier, komersial, konglomerat, kreditor, profesional, stagnasi (bisnis dan perbankan), aliansi, birokrasi, koalisi, krisis, kroni, lobi, melobi (pemerintah dan politik), kokpit, simulator, skuadron, helikopter, jet, kru, supersonik (militer), akut, diabetes, diagnosis, donor, kolaps, stres, struk, setruk (kesehatan), komputer, kompatibel, email, klik, mengklik (komputer dan teknologi).
Kosakata yang dicatat oleh Sneddon (2013) tersebut menunjukkan bahwa sebagian kosakata masih mencerminkan kosakata bahasa Inggris, sebagian lagi sudah tidak dikenali sebagai kosakata bahasa Inggris. Namun, dalam KBBI, kosakata tersebut tidak lagi mendapat label bahasa Inggris karena banyak faktor, seperti sudah sering dipakai untuk mendukung kebutuhan, pariwisata ekonomi, ilmu pengetahuan, dan perkembangan teknologi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat tidak lagi mengalami kesulitan dalam menulis dan mengeja kata tersebut, serta urutan fonemnya tidak lagi dikenali sebagai bentuk asing.
Ignatius Tri Endarto (2012) dalam English Loanwords in Indonesian and Thai menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi di antaranya karena penyerapan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia mencakup dua jenis adaptasi, yaitu adaptasi fonologis murni dan adaptasi suku kata. Adaptasi fonologis murni terjadi ketika fonem bahasa Inggris memiliki korespondensi yang identik dalam bahasa Indonesia. Proses terjadi berdasarkan pengucapan, sedangkan proses penulisannya mengikuti kaidah ejaan dalam bahasa Indonesia. Beberapa contoh dapat dilihat pada fonem /c/ dalam bahasa Inggris yang diadaptasi menjadi /k/, seperti pada kata kanal, fonem /t/ diubah menjadi /s/ ketika dilafalkan sebagai /s/ seperti pada kata stasiun.
Sementara itu, adaptasi suku kata mencakup tiga jenis, yaitu (1) konsonan ganda menjadi konsonan tunggal, seperti pada kata cellular > seluler, effect > efek, dan commercial > komersial; (2) kata bersuku kata satu menjadi bersuku kata dua, seperti lens > lensa; dan (3) penghilangan gugus konsonan setelah vokal, seperti st > s dan nt > n pada kata spesialis > spesialis dan permanent > permanen.
Jika dilihat proses-proses penyerapan kosakata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, tampak bahwa proses tersebut tidak terjadi secara kebetulan, tetapi disengaja dan sistematis. Proses yang sistematis tersebut menghadirkan kaidah yang kemudian dipedomani untuk kosakata bahasa Inggris lainnya yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, tampak bahwa kosakata bahasa Inggris yang diserap ke dalam bahasa Indonesia sangat banyak. Namun, tidak adanya label bahasa Inggris dalam KBBI dapat menyebabkan masyarakat tidak tahu lagi etimologi sebuah kata diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam penyusunan kamus bahasa Indonesia selanjutnya, perlu dipertimbangkan untuk menjelaskan kembali etimologi sebuah kata, seperti penyusunan kamus bahasa Inggris Merriam Webster. Penyusunan kamus saat ini tidak lagi semata-mata berfokus pada makna, tetapi juga mengarah pada sosio-histori leksikografi yang mempertimbangkan sejarah kemunculan dan sejarah penggunaan kata.