Cerpen : A. Suwistyo
Kesunyian malam sangat jelas mengisyaratkan apa pun untuk tidur. Buah kaci mahar untuk ranum dan juga para tua berhenti mem-bolowen daun atap. Bila malam menjejak, tidak ada yang bisa diharapkan padanya selain gulita di sela-sela padatnya pepohonan. Seiring dengan itu, terdengar auman para binatang dari hutan perbatasan Sumatera Barat dan Riau yang mana dalam sepekan ini selalu ada satu ekor yang rajin bertamu ke rumah lipat kajang di sebelah sumur desa.
“Harimau turun! Harimau turun! Macam ada yang tak selesai di kampung kita!” katanya-dilantunkan oleh kedatangan Paja di kedai. Gurauan-gurauan bising seketika menjelma tatapan tak percaya. Para pemuda bersiaga, melirik ke arah bukit, melirik ke arah gelap, bersiap-siap dengan parang di tangan jikalau harimau itu ditemukan. Paja yang berkeringat se-biji jagung, matanya berair, uratnya mencuat.
Suara dengungan panjang merambat dari timur, lalu sunyi dan suara gesekan-gesekan daun terdengar seperti langkah kaki yang jauh lalu mendekat. Perkampungan yang masih dikepung hutan tersebut lebih tenang dengan yang ada di luar, namun akan riuh jika adat dan norma sudah dikhianati. Semakin jelas rupanya. Paja mematikan lampu kedai dan mengintip ke arah datangnya suara bersama yang lainnya. Perlahan, belang itu terlihat keluar dari rapatnya semak. Kukunya mencuat.
Rimba yang luas pasti cukup baginya untuk memilih-milih menu santapan. Di sana, beragam daging merah. Sarapan dengan rusa, makan siang dengan beruk, makan malam dengan babi. Jika begitu kiranya, disimpulkan harimau ini membawa kabar kepada desa yang mana sedang terjadi yang tidak baik-baik saja. Malam itu, ia mendatangi rumah Badi. Setelah berkeliling dan sedikit mengencingi pasak rumah, kembalilah ia ke kediamannya., tapi apa yang terjadi pada rumah bujang lapuk penadah getah yang hidup berdua dengan gadis tanggung? Badi hanya satu-satunya tumpangan Wiwin sejak bapaknya yang pergi tak kembali saat kecil dan ibu yang meninggal lebaran tahun lalu.
Lampu dihidupkan kembali. Timbullah suasana dengan perasaan yang tak biasa. Pemuda- pemuda itu memikirkan pertanyaan yang berdenting-denting di kepala mereka. Bahkan, kopi dan isapan rokok tak mampu memperlambat detak jantung mereka. Sesekali Paja kembali menoleh ke arah rumah Badi. Setelah diamati kembali, tidak ada rasanya yang salah di sana. Keningnya tambah mengkerut menjadi angka sebelas.
“Penadah getah yang sekolah pun tidak, sering memberikan getah-getahnya jikalau berlebih di keranjang sandangnya, merokok bersama kita, lalu malam ini ditamui harimau, bagaimana bisa?” kata Miang.
“Hehhh… Bang. Kampung kita keras adatnya, tak luntur. Aku yakin ponakan si Badi itu si… siapa namanya konon?”
“Wiwin, itu?” Pangkas Miang.
“Ha… iya Wiwin. Sudah di “main”kan oleh si Badi itu. Aku yakin. Lama dia tidak kunjung mempunyai istri. Lalu, hanya ponakannya itu satu-satunya perempuan yang didekatnya. Lelaki mana yang tidak punya nafsu dalam dirinya.”
Mata Miang mencuat mendengar perkataan Paja. Ada rasa tak percaya dalam dirinya sebelum itu. Namun, apa dikata tak ada alasan melawan jika mitos ini sudah menjadi tradisi turun-temurun. Paja sangat bijak muncungnya. Dia bisa berceloteh hingga subuh. Sebagai bapak kepala dusun, Miang harus dapat menemukan muasal masalah. Harimau itu akan datang setiap malamnya sebelum masalah tersebut selesai.
“Tak ada yang bisa diperdebatkan. Sedingin-dinginnya danau pasti ada ular di dalamnya. Akan tetapi, aku tak mau Badi, teman kita tersinggung. Kita ikuti dia esok sepulang dari Masjid.” Miang mengangguk–angguk. Ditumpahkannya kopi ke atas tadahnya.
***
“Jika pohonnya sudah tak bisa berbuah lagi, kalian tebang sampai pangkalnya, lalu biarkan sisanya membusuk dan layu.”
Paja dan lainnya terus menebang pohon sawit satu per-satu. Pohon-pohon di petak ini sudah habis masa berbuahnya jika dihitung-hitung. Setelah bagian perkerjaan itu selesai, mulai lah tauke mencari-cari ladang baru untuk dibakar, lalu ditanami sawit kembali sebab butuh eskavator untuk mengeruk akarnya yang sangat kokoh, dalam, dan keras. Belum lagi biaya membawanya ke pelosok Bukit Barisan itu.
Para buruh menaikkan satu per satu buah sawit ke atas truk dengan gancu. Jika dirasanyalah sudah penuh, mereka naik ke atas, merapikan letak buah-buah agar tak tumpah saat di jalan, lalu memberi kode untuk jalan.
“Sudah kau tebang?”
Miang lebih dahulu duduk di terpal biru yang terbentang, meraih teko yang juga berwarna biru, kemudian menuangkan kopi di dalamnya ke gelas plastik. Pandangannya jauh ke hamparan perbukitan yang masih hijau. Dibayangkannya berapa hektar hutan yang luas itu, apa saja di dalamnya dan juga siapa yang punya tanahnya, mungkin dijual murah oleh ahli waris.
“Lumayan, Bang. Banyak buah kita, harga pun sedang mantap. Tambah juga kerja tambahan menebang ini. Bisa lah makan ayam aku besok.” Paja datang sembari melepas topi, lalu mengipas-kipaskannya ke tengkuk.
Belum ada balasan. Akan tetapi, Paja langsung mengisi gelasnya walaupun kopi sudah dingin. Pikiran mereka sedang tenang sebab uang upah sudah diberikan oleh Koh Aceng – pengusaha Medan pemilik tanah yang mereka garap.
“Kapan jadinya kita ikuti si Badi, Bang?” Paja teringat sesuatu.
“Selepas salat isya. Kita ikuti dia pulang. Aku sudah berunding dengan Datuk Bandaro Sati tadi pagi. Tak bisa kulupakan naik darah dan merahnya telinga Datuk tadi. Beliau sangat takut kabar harimau itu karena sudah lama ini tidak terjadi. Kita ajak yang lain nanti, biar terkencing-kencing si Badi cabul itu. Kita usir dia!” Miang menutup kalimatnya dengan menunjuk ke atas.
Setiba malam dan lampu Masjid telah dimatikan, Badi mengenakan sandalnya, lalu mulai melangkah di paving-paving yang terus berjejer mengarah ke rumahnya. Jika mengadah ke langit, bisa dilihatnya lah gugusan bintang nan indah. Kelap-kelipnya putih bersih. Tak terhalang. Cahayanya tak tersilau apa pun. Setelah jalan lurus hingga pertinggan, Badi berbelok ke kanan. Miang, Paja, dan para pemuda Cipang Kanan sudah mengintip dari meja-meja pasar yang gelap sebab lampu telah diambil dan disimpan di rumah terdekat. Mereka mulai berjalan saat Badi hilang di pertigaan. Badi tersentak. Kopiahnya terjatuh ke rumput halaman.
“Apa ini? Ada apa?” teriaknya.
Pintu rumahnya terbuka tanpa sempat Badi mengeluarkan kunci. Atap rumahnya runtuh. Rembulan bebas menyinari bilik-bilik rumah lipat kajang tersebut. Mereka beringas mencari-cari ke setiap sudut. Ada juga yang anarkis mematahkan setiap tiang rumah dengan linggis. Miang mendekat. Ditatapnya pria itu dalam.
“Kamu apakan gadis itu di dalam? Kau tahu, setiap malam kami mematikan lampu kedai sejenak saat harimau bertamu ke rumahmu ini. Mendidih keringat kami. Satu kampung tak tenang tidurnya karena ulahmu, kau apakan ponakanmu, Badi?”
Badi terbelalak. Mengawasi orang satu per satu. Diseretnya tangan Miang mengikutinya memasuki setiap kamar, membuka lemari, membuka jendela yang sudah patah.
“Apa? Tak ada! Aku tidak tinggal dengan siapa-siapa. Wiwin, ponakanku, gadis itu sudah dua pekan tak di rumah. Bibinya membawanya ke Pasir Pangaraian untuk dikursuskan menjahit.”
Miang belum puas dengan jawaban yang didapat. Ia sangat tidak percaya. Tidak mungkin harimau berbohong. Legenda itu sudah turun-temurun faktanya bahwa harimau akan turun membawa kabar bahwa ada seorang gadis yang pecah perawan di luar nikah, lalu harimau akan terus bertamu ke rumah yang menjadi muasal masalah, sebelum masalah diselesaikan oleh penduduk kampung. Miang tetap berteriak menyuruh semuanya menemukan gadis itu. Akan tetapi, para pemuda keluar dengan tangan kosong dan raut muka yang terheran-heran.
“Di mana kau sembunyikan? Tega sekali kau. Kupotong kelamin kau!” Ia mencengkram kerah baju Badi sangat keras.
Badi yang tak tahan malu juga mencengkram kerah baju Miang tak kalah kerasnya “Kau makan mitosmu itu! Hutan ini menyempit. Kelaminku atau sawitmulah yang harus dipotong?”
Padang, 27 April 2021
Tentang Penulis
Suwistyo. Aktif menulis puisi, cerpen, dan dalam kegiatan seni. Berkegiatan di “Komunitas Lapak Baca Pojok Harapan”. Saat ini, ia telah menulis 2 buku, di antaranya : Lakon (2018) dan Sedasawarsa Lagi, Kita Menua (2019). Karya-karyanya juga dapat ditemukan di berbagai antologi dan media massa:Haluan, Harian Rakyat Sumbar, Scientia.id, Media Cakra Bangsa, Radar Malang, dan lain-lain
Discussion about this post