Selasa, 13/5/25 | 03:54 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI KLINIK BAHASA

Bentuk Terikat Nara-

Minggu, 30/5/21 | 11:58 WIB
Oleh: Elly Delfia (Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)

Bentuk terikat nara- dan turunan menarik untuk dibahas setelah minggu lalu bentuk terikat pasca- dibahas di laman klinik bahasa Scientia.id. Nara- merupakan bentuk terikat yang berasal dari bahasa Sansekerta. Bentuk terikat adalah bentuk yang tidak bisa berdiri sendiri dan tidak ada artinya tanpa bergabung dengan kata dasar lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bentuk terikat nara- diartikan sebagai ‘orang’.

Tata cara penulisan bentuk terikat nara- saat berdiri sendiri atau saat belum bergabung dengan kata dasar lain adalah ditandai dengan tanda hubung (-) di belakangnya. Tata cara penulisan ini sama halnya dengan penulisan imbuhan atau afiks dalam bahasa Indonesia, seperti me-, di-, per- se-, dan lain-lain. Setelah bergabung dengan kata dasar lain, nara- ditulis gabung dengan kata sesudahnya atau tanpa spasi dan tanpa tanda hubung, seperti narahubung, narasumber, narablog, narapidana, narapati, narapraja, dan narabahasa* (kata dengan tanda asteris (*) belum masuk ke dalam lema KBBI).

Jika ada yang menulis nara- dengan memberi spasi, seperti nara hubung, nara sumber, nara blog, nara pidana, nara pati, nara praja, dan nara bahasa* atau memberi tanda hubung, seperti nara-hubung, nara-sumber, nara-blog, nara-pidana, nara-pati, nara-praja, dan nara-bahasa*, penulisan yang demikian tentu keliru karena tidak sesuai dengan kaidah penulisan bentuk terikat dalam bahasa Indonesia. Tata cara penulisan  seperti bentuk terikat nara- juga berlaku untuk bentuk terikat yang lain, seperti pascasarjana, pascagempa, pascatsunami, swakelola, swadaya, prasejarah, antigempa, antinarkoba, antarkota, semiilmiah, subbab, dan lain-lain.

Bentuk terikat nara- tidak terlalu produktif atau memiliki kemampuan bergabung yang terbatas dengan kata dasar lain dalam bahasa Indonesia. Tidak semua bentuk terikat nara- bisa bergabung dengan kata dasar lain dalam bahasa Indonesia. Buktinya hanya ditemukan enam bentuk terikat nara- yang bergabung dengan kata dasar dalam entrian KBBI, yaitu narahubung, narasumber, narablog, narapidana, narapati, dan narapraja serta ditambah satu lagi kata narabahasa yang mulai ditemukan dalam mesin pencarian google meskipun kata ini belum masuk ke dalam KBBI.

BACAJUGA

Memaknai Kembali Arti THR

AI dan Kecerdasan Bahasa Indonesia

Minggu, 04/5/25 | 13:26 WIB
Memaknai Kembali Arti THR

Memaknai Kembali Arti THR

Minggu, 06/4/25 | 12:37 WIB

Bentuk terikat nara- yang sering digunakan atau populer dalam bahasa Indonesia, yaitu narasumber dan narapidana. Dalam KBBI, narasumber diartikan sebagai orang yang memberi (mengetahui informasi secara jelas atau menjadi sumber) informasi atau informan dan narapidana diartikan sebagai orang hukuman (orang yang menjalani hukuman karena tindak pidana). Kata narapidana digunakan untuk menyebut orang yang menjalani hukuman karena kejahatan pidana.

Nah, untuk orang yang menjalani hukuman karena kejahatan perdata, bentuk terikat nara- tidak bisa digunakan karena masyarakat Indonesia tidak menggunakannya. Jadi, tidak ada istilah naraperdata* untuk menyebut kejahatan perdata dalam bahasa Indonesia. Di sinilah, pengertian bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer atau manasuka atau “sewenang-wenang” atau sesuka hati dapat dikatakan berlaku. Masyarakat memilih kata sesuka hati dan sesuai dengan keinginan mereka untuk menyebut sebuah nama, sebuah keadaan, atau peristiwa. Dalam konsep arbitrer, kehadiran sebuah kata dalam bahasa tertentu berawal dari “kesewenang-wenangan” atau rasa suka-suka masyarakat dalam memilih dan menggunakan sebuah kata. Setelah itu, kata tersebut disepakati untuk digunakan dalam bahasa Indonesia. Para pemangku kebijakan dan ahli bahasa “mengurusnya” dan memasukkan ke dalam entri KBBI.

Selanjutnya, kata narahubung dan narablog juga mulai populer setelah perkembangan teknologi komunikasi yang semakin pesat di Indonesia. Narahubung atau contact person dan narablog atau blogger berasal dari bahasa Inggris dan sudah masuk ke dalam lema KBBI, tetapi masih belum terlalu populer digunakan. Narahubung diartikan sebagai orang yang nomor kontak pribadi ponselnya dijadikan sebagai nomor penerima dan pembalas pesan dan panggilan untuk memperlancar komunikasi dengan pihak luar dalam sebuah acara. Narablog adalah orang yang terampil dan paham dalam membuat blog. Dalam sejarah awalnya, blogger adalah sebuah perangkat layanan penerbitan blog yang dikembangkan oleh Pyra Labs (www.wikipedia.org). Dalam perkembangan selanjutnya, blogger atau narablog diartikan sebagai orang yang bisa menyunting tulisan di blog atau orang yang membuat blog atau pengeblog (kbbi.kemdikbud.go.id). Sebagian pengguna bahasa Indonesia masih belum terbiasa menggunakan kata-kata narahubung dan narablog dan masih cenderung menggunakan kata dari bahasa Inggris contact person dan blogger.

Memang tidak mudah untuk membuat kata-kata dari bahasa asing bisa langsung diterima oleh pengguna bahasa Indonesia. Keberterimaan kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia membutuhkan waktu yang lama dan kesadaran yang tinggi dalam diri setiap orang untuk menggunakan kata-kata yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia sebagai wujud rasa cinta terhadap bangsa ini. Kesadaran tersebut berkaitan dengan nasionalisme atau rasa cinta tanah air, termasuk rasa cinta pada bahasa.

Kemudian, kata narapati dalam KBBI diartikan sebagai ‘raja‘ dan narapraja diartikan sebagai ‘pengawal raja’. Kedua kata yang berasal dari bahasa Sansekerta ini tidak produktif atau tidak populer digunakan dalam bahasa Indonesia karena Indonesia saat ini tidak lagi menganut sistem kerajaan. Kata-kata ini barangkali bisa ditemukan dalam teks sastra dan sejarah.

Berdasarkan arti atau maknanya, bentuk terikat nara- lebih kurang mempunyai empat arti setelah bergabung dengan kata dasar lain, yaitu 1. orang yang bertugas sebagai (narasumber dan narahubung), 2. orang yang mempunyai keahlian (narablog dan narabahasa), 3. orang yang sedang menjalani hukuman (narapida), dan 4. orang dengan jabatan (narapatih dan narapraja). Demikian ulasan mengenai bentuk terikat nara-. Semoga bermanfaat dan mencerahkan.

Tags: #Elly Delfia
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Kedatangan Tamu

Berita Sesudah

Oh, Maninjauku  

Berita Terkait

Perbedaan Kata “kepada”, “untuk”, dan “bagi”

Mengenal Angka Romawi

Minggu, 11/5/25 | 07:47 WIB

Oleh: Reno Wulan Sari (Dosen Tamu di Busan University of Foreign Studies) Angka romawi menjadi salah satu angka yang digunakan...

Memaknai Kembali Arti THR

AI dan Kecerdasan Bahasa Indonesia

Minggu, 04/5/25 | 13:26 WIB

Oleh: Elly Delfia (Dosen Prodi Sastra Indonesia dan S2 Linguistik Universitas Andalas) Pengaruh AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan tidak...

Perbedaan Kata “kepada”, “untuk”, dan “bagi”

Makna Kata “Cukup” yang Tak Secukupnya

Minggu, 27/4/25 | 09:02 WIB

Oleh: Reno Wulan Sari (Dosen Tamu di Busan University of Foreign Studies) Pembahasan Klinik Bahasa Scientia kali ini akan mengulik...

Serba-serbi Kritik Sosial Habis Lebaran

Serba-serbi Kritik Sosial Habis Lebaran

Minggu, 13/4/25 | 12:56 WIB

Oleh: Dr. Ria Febrina, S.S., M.Hum. (Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas) Lebaran telah usai. Namun, serba-serbi tentang Lebaran...

Memaknai Kembali Arti THR

Memaknai Kembali Arti THR

Minggu, 06/4/25 | 12:37 WIB

Oleh: Elly Delfia (Dosen Prodi Sastra Indonesia dan Prodi S2 Linguistik Universitas Andalas) Salah satu fenomena yang menarik saat Hari...

Perbedaan Kata “kepada”, “untuk”, dan “bagi”

Perbedaan Kata “Salam” dan “Salim” saat Lebaran

Minggu, 30/3/25 | 07:07 WIB

Oleh: Reno Wulan Sari (Dosen Tamu di Busan University of Foreign Studies, Korea Selatan) Beberapa hari lagi, umat Islam akan...

Berita Sesudah
Oh, Maninjauku  

Oh, Maninjauku  

Discussion about this post

POPULER

  • Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

    Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perkembangan Hukum Islam di Era Digital

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Firdaus Apresiasi Semangat Gotong Royong Masyarakat Wujudkan Festival Juadah Tanpa APBD

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Malam Puncak Festival Juadah di Pasar Cubadak Berakhir Meriah dengan Lelang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pengurus DPW PKDP Sumbar Dilantik, Firdaus : Siap Berbuat untuk Kampung Halaman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024