Hadiah Merah Jambu
Oleh : Afrizal Jasmann
Malam hendak beranjak ke pukul sepuluh ketika Syafri pulang dari tempat kerja. Kepulangannya disambut ceria oleh Intan, anak semata wayangnya yang telah beranjak menuju enam tahun. Raut wajah gadis kecil itu terlihat sumringah tatkala ayah hebatnya itu sampai diruang tengah. Ya, ruang sederhana berukuran dua kali satu setengah meter yang biasa dianggap sebagai ruang tengah dari rumah reyot semi permanen itu.
“Anak Ayah belum tidur?” Sapa Safri seiring dengan dekapan Intan dalam pelukannya.
“Intan belum bisa tidur.” Jawab Intan dengan suara serak.
“Kenapa?”
“Abis, Ayah lama banget pulangnya.” Jawab Intan cemberut.
“Ntar ketiduran lagi. Telat pergi sekolah lagi kayak kemaren.” Kutip Safri.
“Biarin. Kan ada Ayah yang nganterin.” Jawab Intan percaya diri.
“Memangnya kalau Ayah yang anterin, jadi ga telat?”
“Iya. Bu Guru jadi ga marah kalo ada Ayah yang anterin.”
Safri tertawa kecil mendengar jawaban itu. “Kok bisa?”
Safri adalah orang tua tunggal sejak perceraiannya dengan sang istri, Dahlia sekitar empat tahun lalu, Perpisahan yang terjadi karena masalah ekonomi itu memberi Safri hak asuh Intan sepenuhnya. Kemudian tidak ada lagi hubungan komunikasi di antara mereka. Kabar terakhir yang ia dengar adalah bahwa sang mantan istrinya itu merantau ke Kalimantan bersama suaminya yang baru. Harapan Safri semoga ia bahagia di sana dan kehidupan ekonominya membaik agar tidak ada lagi perceraian kedua.
Selepas gagalnya pernikahan itu, Safri memilih kembali ke lingkungan tempat tinggalnya semasa muda, sembari kerja apa saja untuk memenuhi kebutuhannya dan si buah hati. Sepeninggalnya pergi kerja yang nyaris tidak berjadwal itu, Intan diasuh oleh Nek Risma. Seorang perempuan tua yang telah dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri sejak belasan tahun lalu.
“Ayah bawa apa?” Tanya Intan sembari turun dari gendongan Safri.
Lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak karton merah muda dari dalam karung bawaannya. “Oh, ini tadi Ayah nemu di jalan. Ayah fikir masih bagus, makanya Ayah bawa pulang.”
“Waaw…, Berbi. Bagus, Yah. Bagus. Intan suka. Intan suka Berbi,” tanggap Intan antusias sembari memeluk erat kotak berwarna cerah itu.
Sebaris senyum menghias wajah Safri. Selinangan air mata nampak keluar dari sudut matanya yang lelah tatkala permata hatinya itu begitu riang sembari terus memeluk dan menimang-nimang kotak besar bergambar perempuan anggun dengan pakaian sang putri penuh riasan.
“Berbi punya Amel juga mirip ini, Yah,” ucap Intan kemudian.
“Ohya?” Tanggap Safri sembari mengganti baju kerjanya di depan kamar mandi.
“Iya. Intan pernah lihat dia lagi main di depan rumahnya.” Jelas Intan.
“Kapan?”
“Kemaren, kemaren, kemarennya lagi. Waktu Ayah lagi pergi kerja.”
“Emang, Intan diajak main ke rumahnya?”
“Ga sih. Waktu Nenek ngajak Intan ke pasar. Kalo kita ke pasar, kan lewat depan rumah Amel.”
Beberapa saat suasana hening. Safri tidak bertanya apa-apa lagi. Fikirannya kini dipenuhi oleh gambaran yang diberikan oleh anak perempuannya itu. Tentang siapa Amel, dimana rumahnya, dan bagaimana keadaan keluarganya. Tidak ada jawaban yang ia temukan. Safri telah nyaris seumur hidup tinggal di lingkungan itu. Ia hampir dapat mengenal semua penghuninya, namun tidak satu pun di antara mereka seperti yang digambarkan Intan. Apakah Intan telah memiliki lingkar pertemanan yang lebih luas dari itu?
Beberapa saat suasana berlalu. Ketika dilongoknya ke ruang tengah, anak perempuan itu masih berada di tempatnya semula. Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. “Kok masih belum tidur, Nak?” tanya Safri sembari mendekati anaknya itu dan berlutut didepannya.
“Oiya.” Jawab Intan singkat sembari beranjak dan tidak lupa mengajak kotak merah jambunya serta.
“Gimana sekolahnya tadi?”
“Ga ada belajar, Yah. Cuma main aja. Soalnya sekolah sedang nyiapin kelas untuk ujian Senin besok. Terus Bu Guru bilang Intan harus bayar uang buku dulu baru bisa ikut ujian,” jelas Intan.
Safri terdiam seketika. Ia sudah tahu soal ini dan sudah pula bicara dengan Nek Risma dan minta tolong perempuan tua itu untuk pergi menyelesaikannya kesana. “Lalu Nenek bilang apa sama Bu Guru?” tanya Safri setengah berbisik.
“Nenek tadi ga ikut kesekolah. Kakinya sakit,” jawab Intan dengan suara pelan pula.
Nek Risma yang telah berumur hampir tujuh puluh tahun itu akhir-akhir ini memang sering sakit-sakitan. Kadang sampai beberapa hari ia hanya berbaring di dipan kayunya di ruang belakang. Jika telah begitu artinya ia tidak akan ke pasar untuk jualan sayur. Tidak ada pemasukan.
Demi tidak mengganggu keadaan Nek Risma yang sedang sakit, yang mungkin saja dapat mendengarkan pembicaraan mereka itu, Safri selanjutnya hanya diam. Intan adalah tanggung jawabnya. Tidak layak ia timpakan pada orang lain yang mungkin punya beban hidupnya sendiri.
“Ayah sudah punya duit, kan untuk bayar buku Intan?” Tanya Intan tiba-tiba menyeruak dari dalam temaram.
“Ya, Nak. Ada,” jawab Safri pelan tanpa ekspresi seperti mengalir begitu saja.
“Duit buat beli obat Nenek ada juga, kan? Kasihan Nenek….” tanya Intan lagi.
“Ya.” Jawab Safri sembari menghenyakkan duduknya di kursi satu-satunya yang ada di ruangan itu.
“Kalau duit buat beli sepatu baru Intan sudah ada juga? Soalnya sepatu Intan sudah kekecilan,”
“Ya. Nanti kita beli semua,” Jawab Safri lagi, namun pandangannya melayang entah kemana.
Suasana diam sesaat. Di bawah sinar lampu temaran itu wajah Safri terlihat kaku bagai menahan nafas. Berat bebanya begitu terlihat dari sana.
“Ayah…” Ucap Intan pelan. Namun tidak ada jawaban dari orang tuanya itu. “Tapi kalau Ayah belum ada duit, ga apa-apa. Intan ga apa-apa kok pakai sepatu kecil juga. Nanti pas nyampe sekolah biar Intan lepas aja sepatunya biar kaki Intan ga sakit,” terdengar suara gadis kecil itu makin samar.
Safri semakin terhenyak dalam sandarannya. Kedua pipinya basah tidak tertahankan. Terbayang olehnya seketika raut wajah mantan istrinya yang telah jauh. Wajah ibu dan anak itu benar-benar persis. Adakah ia di sana sedang berbahagia tidak kekurangan suatu apapun sekarang? Adakah ia tahu bagaimana keadaan anaknya di sini sekarang?
“Ayah menangis?” Tiba-tiba saja Intan telah berada begitu dekat di hadapan Safri yang tersandar tidak berdaya. Seketika lelaki empat puluh tahunan itu menyeka wajahnya yang basah. “Kenapa? Ayah kangen Ibu?”
“Sudah tidak apa-apa. Tidurlah, Nak. Biar besok kita tidak kesiangan,” ucap Safri mengalihkan.
“Ayah ga ada uang, ya?” tanya Intan melongok mendekat ke wajah ayahnya itu. “Ga apa-apa ga beli buku sama sepatu juga. Biar Intan jagain Nenek di rumah aja,” ucapnya kemudian dengan suara mengecil.
Safri hanya tersenyum kecil, berusaha terus membesarkan hati anaknya itu.
“Intan, kenapa belum tidur?” Tiba-tiba Nek Risma menyeruak dari ruang belakang.
Seketika Safri berdiri dan membenahi diri, berupaya memberi kesan tidak terjadi apa-apa.
“Nenek, lihat Ayah bawain Intan hadiah, bagus, kan?” Seru Intan sembari mengacungkan kotak Berbi merah jambu itu.
“Mak..” Ucap Safri pada Nek Risma ketika perempuan itu hendak berbalik kembali ketempatnya semula.
“Ya?” Tanggap Nek Risma.
“Intan, pergilah tidur. Ayah mau bicara dengan Nenek.”
“Berbinya boleh ikut tidur sama Intan?”
“Ya, tapi ga boleh main lagi. Langsung tidur, ya,” jawab Safri.
“Tadi Intan bilang soal temannya. Amel. Mak tau Amel itu anak siapa?” Tanya Safri setelah tinggal hanya mereka berdua di ruang tengah itu.
“Amel?” Tanya Nek Risma pula.
“Ya, katanya ia punya teman bernama Amel. Rumahnya ada di tempat biasa Mak dan Intan lewati kalo ke pasar.”
Nek Risma berfikir keras. Lama terdiam dan pada akhirnya jawaban yang bisa diberikan hanya gelengan kecil petanda ia tidak tahu apa-apa soal Amel.
“Yaudah, Mak. Mungkin besok-besok akan ketemu, tapi kuharap jangan biarkan Intan bermain terlalu jauh. Hanya dia hartaku sekarang.”
Nek Risma faham. Tanpa kata ia segera berlalu. Di luar rumah satu dua orang masih berlalu lalang. Mungkin para buruh dinas malam. Safri merapikan selimut Intan. Gadis kecil itu terlihat begitu manis dalam lelapnya. Dalam pelukannya terselip kotak merah jambu bergambar berbi. Ya, gambar berbi. Hanya itu yang ada. Selanjutnya kotak itu hanya kosong, tidak ada boneka apa-apa di dalamnya. Namun andai saja Safri menemukan kotak itu lengkap dengan isinya, mungkin kebahagiaan gadis kecil itu akan lebih sempurna. Ia akan menimang-nimangnya seperti yang dilakukan Amel. Sang sahabat yang entah ada dimana, hanya dia yang tahu.
Safri mungkin belum mampu berbuat banyak untuk membahagiakan buah hatinya itu. Segala upaya telah ia lakukan, namun selalu saja terbentur oleh keapa-adaan. Bersyukur Safri memiliki anak yang tidak banyak pinta. Kendati pun hanya dihadiahi sebuah kotak Berbi kosong, tapi ia sudah cukup bahagia.
Mungkin dalam lelapnya kini, ia sedang dibuai mimpi. Bermain, bercengkrama, dan memeluk Sang Berbi pujaan hati.
“Tidurlah yang nyenyak, Nak. Maafkan Ayah yang belum mampu memberi seperti apa yang engkau pinta…” Ucap Safri sembari membetulkan letak selimut Intan dan mengecup pelan pelipis anak gadisnya itu.
Sementara itu ditempat yang berbeda. “Bibi, kotak berbi Dede dimana?!” Terdengar teriak seorang gadis kecil menyeruak di dalam sunyinya komplek perumahan kelas menegah. (*)
Tentang Penulis
Afrizal Jasman merupakan nama pena dari Afrizal S.Sn. Pria kelahiran Toboh Sikaladi Sintoga pada 15 April 1982. Saat ini tinggal di Kabun Bungo Pasang, Ulakan Tapakis, Padang Pariaman. Afrizal memiliki sanggar yang berada di tanah kelahirannya Toboh Sikaladi, Sintoga Padang Pariaman. Ia dapat dihubungi pada email: afrizaljasmann737@gmail.com. Fb: Afrizal Jasmann (Ajiw) dan Ig: afrizaljasmann2022.
Sebuah Fragmen “Hadiah Merah Jambu” Karya Afrizal Jasman
Oleh: Azwar
(Dewan Penasihat Pengurus Forum Lingkar Pena (DPP FLP) Wilayah Sumatera Barat)
Cerpen “Hadiah Merah Jambu” sejatinya sebuah fragmen tentang kisah luka seorang duda beranak satu yang bernama Safri. Orang tua tunggal yang ditinggal cerai oleh istrinya karena persoalan keuangan keluarga diangkat oleh Afrizal Jasman menjadi sepenggal cerita yang menyentuh. Cerita tentang bagaimana Safri bertahan hidup dalam kemiskinan untuk menghidupi Intan, anak semata wayangnya.
Cerpen menurut Eny Tarsinih (2018) dalam artikelnya yang berjudul “Kajian Terhadap Nilai-Nilai Sosial dalam Kumpulan Cerpen “Rumah Malam di Mata Ibu” Karya Alex R. Nainggolan sebagai Alternatif Bahan Ajar”, adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dipisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
Kosasih dkk, (2004) menambahkan bahwa Cerpen atau dapat disebut juga dengan cerita pendek merupakan suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerpen cenderung singkat, padat, dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi lain yang lebih panjang, seperti novelet dan novel. Cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra yang memaparkan kisah atau cerita mengenai manusia beserta seluk beluknya lewat tulisan pendek dan singkat. Atau pengertian cerpen yang lainnya yaitu sebuah karangan fiktif yang berisi mengenai kehidupan seseorang ataupun kehidupan yang diceritakan secara ringkas dan singkat yang berfokus pada suatu tokoh saja.
Menurut KBBI, cerpen berasal dari dua kata yaitu cerita yang mengandung arti tuturan mengenai bagaimana sesuatu hal terjadi dan relatif pendek berarti kisah yang diceritakan pendek atau tidak lebih dari 10.000 kata yang memberikan sebuah kesan dominan serta memusatkan hanya pada satu tokoh saja dalam cerita pendek tersebut. Sementara itu Nugroho Notosusanto menyampaikan bahwa Cerpen sebuah cerita yang panjang ceritanya berkisar 5000 kata atau perkiraan hanya 17 halaman kuarto spasi rangkap serta terpusat pada dirinya sendiri.
Jassin maestro sastra Indonesia menyampaikan bahwa Cerpen ialah sebuah cerita yang singkat yang harus memiliki bagian terpenting yakni perkenalan, pertikaian, serta penyelesaian. Pendapat orang tentang cerpen sangat berbeda, masing-masing pendapatnya sangat baik dan memiliki perbedaanuntuk itu saya berpendapat cerpen ialah suatu karangan yang berkisah pendek yang mengandung kisahan tungal.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, semua sepakat bahwa cerita pendek bukan hanya karena ceritanya yang ditulis dengan pendek, akan tetapi juga harus memenuhi syarat-syarat lain sebagai sebuah cerita pendek. Syarat-syarat itu di antaranya cerpen mengisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
Syarat di atas mungkin terpenuhi dalam Cerpen “Hadiah Merah Jambu” karya Afrizal Jasman yang diturunkan Kreatika edisi Minggu ini. Cerita tentang sepenggal kehidupan Syafri dengan anak semata wayangnya yang berusian enam tahun. Peristiwa mengharukan seorang lelaki miskin yang merasa gagal menjadi kepala keluarga. Ia ditinggalkan oleh istrinya yang memilih pergi dengan laki-laki lain karena tidak tahan hidup miskin bersama Syafri. Mantan istrinya itu pergi merantau ke Kalimantan mengikuti suami barunya.
Kisah cinta yang pelik. Pada satu sisi Syafri masih mencintai istrinya dan masih berharap melanjutkan hidup bersama. Namun pada sisi lain, ia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup berumah tangga tidak hanya butuh cinta. Akan tetapi rumah tangga juga membutuhkan hal lain yang kadang memang terdengar menyakitkan, yaitu uang, dan harta benda. Realitasnya hidup butuh makan, anak istri memiliki kebutuhan yang harus dicukupi.
Struktur sosial di dalam cerita “Hadiah Merah Jambu” yang dikisahkan Afrizal Jasman tentu saja merupkan struktur sosial kebanyakan masyarakat Indonesia yang memiliki persepsi bahwa laki-laki sebagai tulang punggung keluarga selain harus mampu mencintai istri dan anaknya juga harus mampu memberi nafkah bagi keluarganya. Laki-laki harus memiliki pekerjaan sebagai sumber penghasilan untuk menghidupi keluarga. Harga dirinya ditentukan dari sebesar apa ia bisa menafkahi keluarganya. Memang menyakitkan kenyataan ini, akan tetapi begitulah realitasnya.
Seperti Syafri yang ditinggalkan istrinya karena kemiskinan yang menimpanya. Hal yang sangat pahit bagi seorang laki-laki ditinggalkan oleh istri karena persoalan tidak mampu menafkahi keluarga. Istrinya pergi dengan lelaki lain dengan harapan bisa hidup lebih baik. Sementara itu perempuan itu bisa pergi dengan lelaki lain meninggalkan anak mereka dengan Syafri. Pahit. Getir. Begitulah kenyataan hidup yang dihadapi Syafri.
Persoalan kedua dalam cerita pendek juga harus memiliki konflik yang penuh pertikaian. Jika melihat syarat kedua ini, tentu saja secara kasat mata cerita Afrizal Jasman seolah tidak memiliki konflik dengan tokoh lain. Konflik sejatinya menghadirkan tokoh antagonis yang menjadi penghalang bagi tokoh utama (protagonis) untuk mencapai tujuan hidupnya. Cerpen “Hadiah Merah Jambu” ini tidak demikian. Tidak ada tokoh antagonis yang dihadirkan penulis dalam ceritanya, yang menghalangi tokoh utama mendapatkan impiannya. Lantas apakan sebuah cerita yang tidak memiliki konflik ataupun tokoh antagonis bisa dianggap sebagai sebuah cerita?
Sebagai sebuah cerita Cerpen ini sudah selesai. Ia sudah tuntas. Namun untuk menjadi cerita yang menarik, mungkin hal ini menjadi tugas penulis menghadirkan syarat-syarat lengkap sebuah cerita pendek. Konflik dalam cerita pendek ini adalah konflik batin tokoh Syafri sendiri. Konflik seorang laki-laki yang bertarung dengan dirinya sendiri.
“Safri mungkin belum mampu berbuat banyak untuk membahagiakan buah hatinya itu. Segala upaya telah ia lakukan, namun selalu saja terbentur oleh keapa-adaan. Bersyukur Safri memiliki anak yang tidak banyak pinta. Kendati pun hanya dihadiahi sebuah kotak Berbi kosong, tapi ia sudah cukup bahagia.” (Jasman, 2024).
Kutipan di atas menunjukkan konflik yang dihadapi Syafri. Ia belum mampu berbuat banyak untuk membahagiakan buah hatinya. Ia hanya mampu memberikan hadiah sebuah kotak mainan yang dia temukan di jalan. Ia tidak mampu membelikan sepatu untuk anaknya. Ia tidak bisa membayar uang buku di sekolah anaknya. Ia tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya. Begitulah konflik yang dihadapi Syafri.
Cerita pendek sepertinya agak sulit jika hanya dibangun dengan konflik batin seperti yang dihadirkan Afrizal. Menjadi cerita yang berhasil di mata pembaca membutuhkan kerja keras untuk mengolah berbagai elemen cerita lainnya. Sementara konflik dalam cerita pendek sebagaimana yang disampaikan banyak ahli adalah keharusan untuk membuat cerita yang pendek ini menjadi panjang dalam ingatan pembaca.
Syarat lain bagi sebuah cerita pendek sebagaimana yang disampaikan HB. Jassin cerita singkat yang harus memiliki bagian terpenting yakni perkenalan, pertikaian, serta penyelesaian. Perkenalan barangkali sudah dipenuhi oleh cerpen “Hadiah Merah Jambu” ini. Pembaca sudah dibawa ke dalam cerita tokoh Syafri dan kisahnya yang mengharubirukan ini. Tentang pertikaian inilah yang belum terlalu kuat dalam cerita “Hadiah Merah Jambu” ini.
Belum kuat, bukan berarti tidak ada. Walaupun sudah ada konflik batin yang mendominasi cerita, akan tetapi harus ada pertikaian yang mendasari cerita. Dalam cerita ini bisa jadi penulis harus menghadirkan tokoh antagonis seperti temannya sendiri yang merebut istrinya. Lalu cerita adalah tentang perjuangan Syafri untuk membuktikan bahwa dia bisa lebih sukses dari tokoh antagonis yang membawa lari istrinya itu.
Tentang penyelesaian, bagi HB. Jassin penyelesaian dalam cerita pendek merupakan sebuah keharusan. Bagaimana menyelesaikan cerita, itu tentu tergantu kreativitas penulisnya. Akan tetapi penyelesaian harus ada. Inilah yang tidak tuntas dalam cerpen “Hadiah Merah Jambu” karya Afrizal Jasman ini. Cerita diselesaikan dengan sepenggal kalimat “Sementara itu ditempat yang berbeda. “Bibi, kotak berbi Dede dimana?!” Terdengar teriak seorang gadis kecil menyeruak di dalam sunyinya komplek perumahan kelas menegah.” (Jasman, 2024).
Kalimat yang mengakhiri cerita pendek tersebut seperti kalimat terbuka yang tidak terlalu menjadi bagian dalam cerita sebelumnya. Kalimat itu belum menemukan maknanya. Sejatinya penulis memberi makna mendalam bagi kalimat penutup itu. Contohnya ternyata anak perempuan yang mencari kotak mainannya itu ternyata adalah anak mantan istrinya dengan lelaki yang sudah merebut istrinya itu dari tangan Syafri. Dengan demikian, kalimat penutup itu menambah dalam luka pada tokoh Syafri yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini.
Tapi sekali lagi, cerita ini sudah selesai. Afrizal Jasman sudah menghadirkan sepenggal fragmen untuk pembaca tentang kisah yang mengharukan. Fragmen ini jika digarap lebih baik akan bisa menghadirkan cerita pendek yang baik, cerita pendek yang menjadi panjang dalam ingatan pembaca. (*)
Tentang Kreatika:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post