Dalam sebuah bahasa, ada kata yang memiliki makna lebih dari satu, ada kata dengan huruf yang berbeda, tetapi bunyinya sama, serta ada juga kata yang hurufnya sama, tetapi bunyinya berbeda. Hal semacam ini sangat lumrah terjadi di berbagai bahasa di dunia ini, termasuk bahasa Indonesia. Kita bisa melihat dalam dua contoh kalimat berikut:
(1) Pada tanggal 2 Februari, ayah saya pergi ke Bali.
(2) Jahitan saku bajunya tanggal ketika dia berolahraga.
Dua kalimat ini menggunakan kata tanggal dengan konteks yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kata tersebut sesungguhnya memiliki makna yang tidak sama. Kata tanggal pada kalimat pertama bermakna penujuk waktu dalam hitungan tahun Masehi, sedangkan kata tanggal yang kedua bersinonim dengan kata lepas. Di dalam ilmu bahasa (linguistik), kata-kata semacam ini disebut memiliki relasi makna. Relasi makna akan muncul ketika satu kata memiliki kaitan makna dengan kata lainnya. Kaitan makna itu bisa berupa makna yang mirip atau berbeda. Relasi makna ini bisa ditemukan dalam kata-kata yang bersinonim, antonim, polisemi, homonim, homofon, homograf, dan sebagainya. Dalam pembahasan klinik bahasa kali ini, kita hanya akan fokus pada homonim, homofon, dan homograf. Berikut ini adalah pembahasannya secara berurutan.
Pertama, homonim. Istilah homonim ditujukan pada dua kata atau lebih yang memiliki kesamaan huruf dan bunyi, tetapi maknanya berbeda. Dua contoh kalimat yang telah dituliskan (menggunakan kata tanggal) merupakan salah satu contoh dari homonim. Beberapa kata berhomonim yang sering kita temukan dalam bahasa Indonesia adalah kabur, bulan, bisa, buku, lagi, sampai, minggu, pukul, raut, cokelat, dan rapat. Untuk membuktikannya sebagai homonim, kita bisa melihat dalam contoh-contoh kalimat berikut.
(1) Narapidana itu kabur pada malam hari.
(2) Penglihatannya selalu kabur ketika tidak menggunakan kacamata.
(3) Dia lahir pada bulan Januari.
(4) Malam ini, bulan terlihat sangat indah.
(5) Bisa ular itu telah merenggut nyawa sahabatnya.
(6) Saya bisa melakukan ini dengan cepat.
(7) Buku jarinya terasa sakit setelah melakukan pekerjaan yang berat.
(8) Kami harus membeli banyak buku untuk perpustakaan ini.
(9) Kalau kamu lagi santai, tolong telepon saya ya!
(10) Dia akan membeli makanan itu lagi karena rasanya sangat lezat.
(11) Dia sudah sampai di Medan tadi pagi.
(12) Kami akan menginap di rumah paman sampai hari Minggu.
(13) Kami akan menonton film pada hari Minggu.
(14) Dia sudah menyelesaikan pekerjaan ini dalam 3 minggu.
(15) Ibu selalu mengatakan kepada adik, “Jangan pukul meja itu!”
(16) Mereka bertemu pada pukul 10. 00 pagi.
(17) Pensil ini sudah saya raut.
(18) Rasa khawatir itu terlihat jelas dari raut
(19) Perempuan yang berbaju cokelat itu adalah adik saya.
(20) Adik saya sangat menyukai kue cokelat.
(21) Ruangan itu sudah tertutup rapat.
(22) Hari ini, saya pulang terlambat karena ada rapat dengan pimpinan.
Kata bersinomim ini, tidak berlaku untuk nama diri yang kuantitas pemakaiannya bisa diberlakukan kepada banyak objek. Nama diri ini seperti nama orang, merek, dan berbagai nama yang diberikan secara pribadi untuk objek tertentu. Kita bisa mengambil contoh kata bunga dan cokelat. Sebelum kita masuk ke dalam pembahasannya, kita bisa membaca contoh berikut.
(1) Ibu saya sangat menyukai bunga.
(2) Suara Bunga Citra Lestari sangat bagus.
(3) Kami akan membeli cokelat untuk hadiah ulang tahun adik.
(4) Saya sangat menyukai lagu “Bendera” dari grup musik Cokelat.
Kata bunga dan cokelat dalam konteks ini tidak bisa dikatakan sebagai kata yang berhomonim. Hal ini disebabkan salah satu makna dari kata tersebut bersifat sebagai nama diri. Nama diri hanya digunakan oleh pihak tertentu untuk menamai suatu objek. Nama itu tidak pasti digunakan secara umum oleh semua orang. Setiap orang bisa saja mengambil banyak nama yang bersumber dari kata dalam bahasa Indonesia, seperti bulan, matahari, bintang, awan, embun, langit, laut, dan sebagainya. Oleh sebab itu, kuantitas kata-kata tersebut tidak bisa dideteksi sebagai kata umum yang digunakan oleh masyarakat Indonesia.
Kedua, homofon. Istilah homofon ditujukan pada sebuah kata yang memiliki perbedaan huruf, tetapi memiliki kesamaan bunyi. Beberapa kata berhomofon yang ada di dalam bahasa Indonesia adalah bank dengan bang, massa dengan masa, tank dengan tang, serta sanksi dengan sangsi. Kita bisa melihat perbedaannya dalam contoh kalimat berikut.
Kata bank dan bang sama-sama berbunyi bang.
(1) Ayah saya bekerja di bank.
(2) Bang Andi adalah sahabat kakak saya.
Kata massa dan masa sama-sama berbunyi masa.
(1) Massa mulai berdatangan untuk mendengar hasil vonis dari persidangan tersebut.
(2) Saya menghabiskan masa kecil di kampung halaman.
Kata tank dan tang sama-sama berbunyi tang.
(1) Adik saya lebih suka mainan menyerupai tank daripada bus.
(2) Sebelum memperbaiki rumah, ayah membeli tang di toko bangunan itu.
Kata sanksi dan sangsi sama-sama berbunyi sangsi.
(1) Dia mendapatkan sanksi yang berat atas kesalahannya.
(2) Saya sangat sangsi dengan pengakuannya.
Ketiga, homograf. Istilah homograf ditujukan pada sebuah kata yang memiliki perbedaan bunyi, tetapi memiliki kesamaan huruf (homograf merupakan kebalikan dari homofon). Beberapa kata berhomograf yang ada di dalam bahasa Indonesia adalah apel, mental, beruang, tahu, dan per. Contoh pemakaian kata-kata tersebut bisa dibaca dalam kalimat-kalimat berikut.
(1) Saya ingin membeli apel. (huruf e dalam kata apel dilafalkan secara halus)
(2) Setiap pegawai tidak boleh terlambat saat apel pagi. (bunyi e dalam kata apel dilafalkan lebih keras daripada contoh pertama)
(3) Bola itu mental ketika dilempar ke dinding. (bunyi e dalam kata mental dilafalkan secara halus)
(4) Demi kesehatan mentalnya, dia mengundurkan diri dari kantor itu. (bunyi e dalam kata mental dilafalkan lebih keras daripada contoh ketiga)
(5) Adik sangat bahagia mendapatkan boneka beruang. (kata beruang dilafalkan secara langsung tanpa ada penggalan)
(6) Lamarannya ditolak oleh orang tua kekasihnya karena ia lelaki yang tak beruang. (kata beruang dibunyikan seperti dipenggal menjadi ber-uang)
(7) Kami akan membuat perkedel tahu. (huruf h pada kata tahu dilafalkan dengan jelas)
(8) Saya tidak tahu tentang masalah itu. (huruf h pada kata tahu seolah tidak dibunyikan. Beberapa orang menyebut kata tahu dalam makna ini seperti tawu)
(9) Harga tiket wahana itu adalah Rp20.000,00 per orang (bunyi e pada kata per dilafalkan secara halus).
(10) Kasur itu memiliki per yang kuat (bunyi e dalam kata per dilafalkan lebih keras daripada contoh nomor sembilan).
Berdasarkan penjelasan mengenai homofon dan homograf, kita tetap perlu berhati-hati untuk menggolongkan kata dalam dua relasi makna tersebut. Hal ini disebabkan ada seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu yang memiliki aksen berbeda. Hal ini bisa kita amati dari pelafalan huruf e yang bagi beberapa daerah terdengar lebih keras dibandingkan dengan daerah lainnya. Selain itu, ada juga sebagian masyarakat dari suatu daerah yang sulit melafalkan huruf f, v, dan z. Oleh sebab itu, hal yang perlu kita pertimbangkan untuk menggolongkan sebuah kata dalam kategori homogfon dan homograf adalah persoalan makna, bukan hanya bunyi. Jika sebuah kata tersebut memiliki perbedaan bunyi, tetapi tetap tertuju pada makna kata yang sama, bunyi itu tidak bisa disebut sebagai homograf (perbedaan bunyi bisa terjadi hanya karena aksen yang berbeda). Kata yang tergolong homonim, homofon, dan homograf adalah kata-kata yang juga memiliki perbedaan makna.
Discussion about this post