Sajak Ibu
Tungku itu ialah lembaran-lembaran tempat kau menanak puisi.
Dan puisi ialah siang dan malam yang kau sajikan
pada tubuh anak-anakmu yang kurus.
Tidak apa-apa rusukmu hilang satu untuk semangkuk sayur lode,
ikan asin dan sambal jelantah bakal sahur, katamu.
Betapa aku membenci kebohongan dari bibirmu dan telingamu yang tuli itu, ibu.
Di penghujung siang berebut malam, tidakkah bosan kau merajut sebuah selimut?
Maka biarkan saja aku hangat di dalam dekapanmu dan kau rajut saja lelapmu.
Tidakkah kau letih setelah mencuci dosa dan lalu berdoa?
Di sudut kamar di bawah dipan tidur, aku membaca garis wajahmu.
Usia menguarkan cahaya dari pipimu benderang.
Rambutmu yang dulu hitam pekat, lurus dan berkilau
Sekarang harus menerima tamu yang menetap berwarna putih bernama uban.
Kulitmu yang dulu kencang bak model catwalk sekarang sudah mulai lembek dan keriput.
Jarak pandangmu harus berselisih paham dengan rabun.
Langkahmu yang lincah dan kuat harus tunduk di hadapan lelah.
Seperti itu wujud malaikat yang tidur di sebelah gelisahku.
Meninabobokan kecemasan yang bergelantungan di bahu.
Mengusap kepalaku dan membawaku pada mimpi paling luas di dadamu.
;bu, sehabis makan sahur nanti bolehkah aku memelukmu?
Doa Tengah Malam Eid Adha
Tengah malam tubuhku tabah menengadah untuk kesedihan paling sunyi.
Aku menjadi rimpuh dan mandi air tubuhku soal segala rimpang
bayang-bayang Ayah dan Ibu yang tak rampung-rampung.
Hening membuat tengah malam (kesedihanku) semakin basah,
tumpah
ruah
riuh
Oleh doa-doa yang melangit
yang tak bisa lebih panjang dari isak;
sudah telan sajalah!
Dunia sudah sialan,
ingin mengumpat
tapi takut doa yang kupanjatkan ditolak.
Aku merayu tubuhku agar patuh,
segera pulang kepada doa-doa panjang.
Bagiku selang waktu kepergian antara 12 tahun
dan 7 tahun memang berat untuk diikhlaskan,
meskipun banyak kalimat penenang
“Tuhan memberikan ujian kepada hamba-Nya
sesuai dengan porsi kekuatan dan ketabahan masing-masing.”
Aku merayu Tuhan
untuk tetap mengelus tulang belulangku
patah sampai kembali ke tanah.
Wahai doa tengah malam jangan menjauh,
Meski bohong,
bolong,
ompong.
Hilangnya doa-doa dan keyakinan
yang kabur entah kemana,
membuatku berpikir;
tak ada yang lebih sialan
dari hiruk-pikuk lebaran tanpa orang tua.
Dinamika Asmaraloka
Entah semesta yang besifat jenaka
atau memang musabab kenyataan dinamika takdir.
Cinta kasih rana renjana, merangkap jerat dan sayat penuh lara.
Getar bertaburan pada pandang pertama,
menjelma menjadi angin yang tertiup melalui rongga-rongga anyaman kalbu.
Kumandang subuh menuntaskan sepertiga malam.
Terbangun dari alam bawah sadar dan menguaplah rupa-rupa ngiang.
Mata yang selalu membayangkan sosoknya, pun usai lepas pejaman.
Bedanya detak-detak yang tersisa berujung simpul mati yang kuat,
erat dan sulit dibuka.
Perihal hati memang tidak bisa dipaksakan.
Kapasitasnya cukup gagas rasa harap-harap penerimaan.
Lebih dan seterusnya semesta punya alurnya.
Begitu kiranya tertambat, terjerat, bahkan sekarat.
Nahas (sial) hanya satu arah.
Huru-Hara Negeri Ini
Sayup-sayup terdengar berita,
Saat satu demi satu wakil rakyat menjadi tikus.
Dengan entengnya mereka bersulap riya,
ya menyulap uang rakyat demi kepentingan mereka sendiri,
Tanpa pedulikan rakyat kecil.
Hei! Indonesia kaya.
Aku bangga Indonesia kaya.
Tapi, tak adakah yang bisa enyahkan para tikus berdasi itu!?
Baju kumal, kuliat dekil demi mengais rupiah.
Saat kami datang ke gedung-gedung mewah itu,
para pasukan tegap mengusir kami.
Dengan lunglai kami pulang penuh caci dalam hati.
Janji-janji yang mereka katakan,
Janji-janji yang mereka ucapkan,
Janji-janji yang mereka teriakan,
Berkoar, berkoar, tapi apa!?
Janji-janji yang kau ucapkan busuk!
Janji-janji yang kau ucapkan busuk!
Heh, inikah yang dinamakan politik?
Setelah sekian lama Indonesia merdeka,
tapi tak adakah wakil rakyat peduli semua rakyat kecil!?
Janji-janji yang kau ucapkan busuk!
Janji-janji yang kau ucapkan busuk!
Katanya Indonesia kaya,
Katanya Indonesia subur,
Katanya.
Uang yang diperuntukan untuk kami,
Kau belikan rumah-rumah mewah mu,
Kau belikan mobil-mobil sport mu,
Sedangkan kami disini menahan lapar.
Janji-janji yang kau ucapkan busuk!
Janji-janji yang kau ucapkan busuk!
Kau, para tikus berdasi.
Aku bersumpah demi negeri ini,
Semoga kau, di neraka kekal abadi
Biodata Penulis:
Meiji Syahrul lahir 22 tahun silam tepatnya tanggal 8 Mei 2000 di Bukitinggi. Sekarang ia menempuh pendidikan di Universitas Negeri Padang Program Studi Sastra Indonesia semester 7. Selain memiliki hobi menulis puisi, Meiji juga sering pergi manggung untuk membaca puisi. Meiji juga telah menerbitkan naskah film pendek yang berjudul “Baliak ka Galanggang” dan juga telah diadopsi menjadi film oleh mahasiswa ISI Padang Panjang serta telah tayang pada bulan April lalu. Meiji sekarang juga bergabung dalam salah satu komunitas berdikari bernama Komunitas Literasi Tamang.
Konkretisasi Pergulatan Estetika
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Aku merayu tubuhku agar patuh,
segera pulang kepada doa-doa panjang.
Puisi adalah misteri yang menggoda untuk dinikmati. Layaknya negeri asing yang baru pertama kali dijejaki, sekalipun punya banyak persamaan dengan negeri sendiri, bentangan pemandangan di depan mata akan memancing perhatian untuk menjelahi, menelisik apa yang serupa dan mencari mana yang belum pernah dijumpa. Pencarian dan penghubungan dengan koleksi pengalaman batin personal akan membentuk pengalaman baru dengan kesan kontekstual.
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Situmorang, 1980:10).
Mahayana (2015: 14) berpendapat bahwa puisi bukan sekadar ekspresi perasaan dari suara hati yang terdalam, melainkan pergulatan estetis dan tarik menarik perasaan yang melimpah. Gejolak perasaan tersebut harus dikendalikan dan diintegrasikan pada pemikiran intelektual yang berkualitas. Memaknai pendapat tersebut, puisi tidak hanya memaparkan untaian kata-kata yang tersusun berirama, tetapi memperhitungkan kualitas isi sebagai ekspresi kemampuan intelektual.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat empat buah puisi karya Meiji Syahrul. Keempat puisi tersebut berjudul “Sajak Ibu”, “Doa Tengah Malam Eid Adha”, “Dinamika Asmaraloka”, dan “Huru Hara Negeri Ini”.
Meiji menggunakan kata-kata yang cukup bertaburan dalam baris-baris lariknya. Untuk mengungkapkan pengorbanan seorang ibu dalam memberikan perhatian kepada keluarganya, Meiji menulis: ‘Tungku itu ialah lembaran-lembaran tempat kau menanak puisi./ Dan puisi ialah siang dan malam yang kau sajikan / pada tubuh anak-anakmu yang kurus./ Tidak apa-apa rusukmu hilang satu untuk semangkuk sayur lode, /ikan asin dan sambal jelantah bakal sahur, katamu.’ Klausa ‘rusukmu hilang satu’ yang hiperbolis bisa mengungkapkan makna faktual merujuk peristiwa buruh-buruh pekerja yang kehilangan nyawa saat melaksanakan kerja berat demi menghidupi keluarga.
Namun, meskipun perjuangannya berat, orang tua sering menyembunyikan di balik senyuman dan belaian sayang kepada anak-anaknya walaupun gelagat tubuh sebagai bagian dari alam tak dapat berbohong tentang penderitaan, kelelahan, dan usia yang menua: rambut hitam yang telah memutih, kulit yang kencang menjadi keriput, pandangan mata yang mulai rabun, dan langkah-langkah lincah menjadi lelah.
Puisi kedua “Doa Tengah Malam Eid Adha” sepertinya terbetik dari peristiwa menyambut lebaran jauh dari keluarga. Lazimnya kedatangan hari raya disambut syahdu bersama orang tua dan keluarga. Kemalangan yang menyesakkan bagi para perantau yang pada momen hari raya terpisah dari keluarga sehingga larut dalam rasa sedih yang memicu gundah gulana: ‘Hilangnya doa-doa dan keyakinan / yang kabur entah kemana, / membuatku berpikir; / tak ada yang lebih sialan / dari hiruk-pikuk lebaran tanpa orang tua.’ Kecenderungan puisi Meiji yang ramai dengan kata-kata berpeluang untuk dilisankan sebagai bentuk karya yang menarik dipadukan dengan unsur audio visual menjadi tampilan pertunjukan puisi yang artistik.
Sebagian pembaca menilai puisi sebagai karya sastra yang sulit untuk dimengerti. Kesan itu sangat wajar karena puisi menggunakan kata-kata majas dan ungkapan metafora yang menyampaikan gagasan penyair. Pesan yang hendak disampaikan penyair dibungkus dalam bentuk diksi yang multitafsir. Meskipun begitu, puisi yang baik akan memberi peluang kepada pembaca untuk merasakan pengalaman imajinatif yang konkret. Pengalaman ini muncul melalui citraan-citraan yang direspons alat indra sehingga tidak sekadar rangkaian ide-ide yang abstrak. Puisi ketiga, “Dinamika Asmaraloka” cukup kedodoran dalam menyajikan pengalaman konkret yang utuh. Puisi ini masih berwujud potongan-potongan larik yang belum padu. Meiji perlu kerja keras sedikit lagi mempertimbangkan penggunakan struktur bahasa yang pas agar puisinya lebih menyatu dan bisa dinikmati.
Puisi keempat, “Huru-Hara Negeri Ini” terasa paling energik. Puisi ini berisi kritik terhadap penguasa yang korup. Meiji menggunakan strategi repetisi pada puisi ini. Banyak pengulangan kata dan kalimat, bahkan ada larik yang diulang secara utuh. ‘Janji-janji yang mereka katakan,/ Janji-janji yang mereka ucapkan,/ Janji-janji yang mereka teriakan, / Berkoar, berkoar, tapi apa!?’ dan larik ‘Janji-janji yang kau ucapkan busuk!’ diulang sampai enam kali. Puisi ini bagus dibaca secara lantang, misalnya dalam aksi demontrasi:
Kau, para tikus berdasi.
Aku bersumpah demi negeri ini,
Semoga kau, di neraka kekal abadi!
Apabila kita ulang pendapat Mahayana di atas, puisi bukan sekadar ekspresi perasaan dari suara hati yang terdalam, melainkan pergulatan estetis dan tarik menarik perasaan yang melimpah maka PR Meiji adalah melakukan pergulatan estetis untuk menemukan bentuk puisi yang tidak hanya mampu mengungkapkan perasaan namun juga mampu menimbulkan getaran makna seperti resonansi jiwa.[]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post