Pura-pura
Senyum merona
Tawa membahana
Berjabat tangan terlena
Kemudian lupa
Bahwa,
Senyumnya luka
Tawanya merana
Berjabat tangannya berbahaya
Akhirnya,
Larut dalam pura-pura bahagia
Kompromi dengan jiwa raga
Hidup tak ada yang sempurna
Biarlah sakit dirasa
Asal jangan menjilat ludah yang sudah tertumpah
Perbaungan, 8 September 2022
Menunggu
Aku abdi entah siapa
Ingin bicara
Tapi takut
Khawatir
Ragu
Tapi marah
Gundah
Terasa gerah
Ingin bertanya
Ingin mengumpat
Namun
Takut lebih besar
Khawatir terus melebar
Ragu semakin bergetar
Katanya mereka menunggu orang diam bicara
Aku hanya bisa berkata
Teruslah menunggu
Teruslah berharap
Teruslah berdoa
Agar aku bisa menghilangkan rasa takutku
Khawatirku
Dan raguku
Perbaungan, 8 September 2022
Luka Itu
Katanya luka itu berdarah
Menganga berdarah
Tersayat berdarah
Tapi luka yang kau torehkan
Tak berdarah
Tapi membuat aku, dia, mereka dan kami menangis
Aku menjerit
Dia meringis
Mereka memohon
Kami meronta
Mengiba
Berharap air mata tak terus ada di pelupuk mata
Tapi telingamu tuli
Entah sebenar tuli atau kau yang tidak peduli
Matamu pun masih bisa terbuka
Entah matamu buta atau hanya kurang peka
Pada luka yang tak berdarah
Perbaungan, 8 September 2022
Kata Manis
Aku bukanlah pujangga
Aku hanya bisa menyusun kata
Menjadi kalimat bermakna
Untuk kita
Untuk kebahahagiaan kita
Untuk menghibur hati kita
Karena saat ini
Hanya itu yang bisa aku beri
Tak mampu aku memberi lebih
Akupun terseok
Pun menggelepar
Pun hampir terkapar
Aku hanya bisa berkata
Bahwa kita baik-baik saja
Mari sama-sama menikmati luka
Yang menganga namun tak berdarah
Perbaungan, 8 September 2022
Biodata:
Oli Novedi Santi lahir di Tebing Tinggi 12 November 1982. Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara. Karyanya telah terbit di beberapa media cetak dan elektronik. Untuk bersilaturahmi silakan berkunjung ke IG @olinovedi atau @olive_ismail82.
Getar Perih dalam Kata
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2021)
Mari sama-sama menikmati luka
Yang menganga namun tak berdarah
Bagi sebagian orang, puisi dapat dijadikan media untuk melepaskan ketegangan emosi, beban pikiran, atau mengungkapkan buah pikiran. Bagi sebagian yang lain, puisi adalah sarana mengekspresikan perasaan terpendam melalui pilihan kata-kata yang penuh makna. Puisi dapat dinikmati tanpa harus dimengerti. Puisi cukup dirasakan getaran emosi yang turut beresonansi dipicu kiasan imaji dan irama kata-kata yang estetis.
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Situmorang, 1980:10).
Puisi adalah karya sastra yang sangat bermanfaat sebagai sarana ekspresi diri. Melalui puisi, seseorang dapat mencurahkan perasaan atau pemikirannya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menghasilkan suatu pemikiran yang mendalam. Pendapat ini diperkuat oleh kritikus sastra dan analis puisi Rachmat Djoko Pradopo dalam buku Pengkajian Puisi. Pradopo mengatakan bahwa sesuatu dalam karya sastra dapat dikatakan bersifat puitis jika hal itu dapat membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan (2009:13).
Melalui puisi pula, seseorang dapat memperoleh pencerahan ataupun pemikiran yang baru dalam makna setiap kata dan ungkapan perasaan yang disampaikan. Puisi juga merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, yang digubah dalam wujud yang paling berkesan (Pradopo, 2009:7). Lebih lanjut lagi, ia juga mengatakan bahwa dalam membuat puisi, aktivitas yang dilakukan bersifat pencurahan jiwa yang padat, liris, dan ekspresif. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam puisi, seorang penyair bebas mencurahkan perasaannya dan mengungkapkan apa yang diamati dari lingkungan sekitarnya.
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilkan empat buah puisi karya Oli Novedi Santi, seorang ASN yang bertugas di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Keempat puisi Oli berjudul “Pura-pura”, “Menunggu”, “Luka Itu”, dan “Kata Manis”. Puisi-puisi Oli menggunakan baris-baris yang singkat dengan frasa-frasa yang cenderung lugas bertenaga.
Puisi pertama yang berjudul “Pura-pura” menceritakan tentang perilaku sosok individu yang berpura-pura dalam interaksi sosial. Kepura-puraan itu ditunjukkan dengan sikap tersenyum dan tertawa yang menyembunyikan luka dan sakit yang sedang mendera. Kita temukan dalam larik-larik ini: ‘Senyum merona/ Tawa membahana/ Berjabat tangan terlena/ Kemudian lupa/ Bahwa,/ Senyumnya luka/ Tawanya merana/ Berjabat tangannya berbahaya/ Akhirnya,/ Larut dalam pura-pura bahagia/ Kompromi dengan jiwa raga/ Hidup tak ada yang sempurna/ Biarlah sakit dirasa/ Asal jangan menjilat ludah yang sudah tertumpah’.
Perilaku berpura-pura bahagia dengan mencoba membohongi diri sendiri untuk terlihat bahagia merupakan hal yang sering dilakukan di tengah pergaulan sosial di masyarakat. Hal yang dipaksakan dengan kebohongan terhadap diri sendiri dapat menyebabkan seorang individu sulit menentukan kebahagiaannya sendiri. Perilaku berpura-pura bahagia akan membuat seseorang merasa dirinya tidak nyaman karena harus selalu terlihat bahagia, padahal dia tidak bahagia. Jika hal ini berlangsung terus menerus, sepanjang waktu, untuk jangka waktu yang lama, kemungkinan akan mempengaruhi pola pikir, perasaan, dan mental baik secara langsung maupun tidak langsung. Meskipun pada satu sisi, pura-pura bahagia dapat menjadi solusi untuk mencoba keluar dan melupakan permasalahan yang ada agar tetap bisa fokus menjalankan aktivitas. Namun, jika terlalu sering membohongi dan memaksakan diri bahagia padahal dirinya tidak bahagia, terkadang justru menimbulkan efek pada mental seseorang yang dapat memicu gangguan mental atau depresi.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, perilaku berpura-pura ini kadang dilakukan seseorang agar terlihat tegar sehingga tidak dikasihani orang lain. Pribadi seperti ini akan menyembunyikan permasalahannya, bisa berupa kesulitan ekonomi, persoalan rumah tangga, penyakit, konflik dalam lingkungan pekerjaan, atau masalah kekurangtahuan terkait teknologi baru. Akibatnya, kepura-puraan tersebut dapat menuntut dia melakukan kepura-puraan lain untuk menutupi ‘kebohongan’ terdahulu.
Puisi “Menunggu” dan “Luka Itu” mengandung nada perlawanan, walaupun tidak secara frontal. Salah satu cara melawan adalah dengan bertahan dengan sikap yang diambil dan tetap konsisten mempertahankannya. Pihak lawan tentu saja menginginkan kita menyerah dan berganti sikap. Oli menulis ‘Aku hanya bisa berkata/ Teruslah menunggu/ Teruslah berharap/ Teruslah berdoa/ Agar aku bisa menghilangkan rasa takutku/ Khawatirku/ Dan raguku’. Posisi bertahan akan menghadapi tantangan yang berat karena menyangkut waktu, seberapa kuat menunggu konflik selesai dan keaadan menjadi pulih. Ketegangan interaksi pada puisi “Menunggu” mendapat penguatan pada puisi “Luka Itu”, ‘Tapi luka yang kau torehkan / Tak berdarah/ Tapi membuat aku, dia, mereka dan kami menangis/ Aku menjerit/ Dia meringis/ Mereka memohon/ Kami meronta/ Mengiba/ Berharap air mata tak terus ada di pelupuk mata / Tapi telingamu tuli/ Entah sebenar tuli atau kau yang tidak peduli/ Matamu pun masih bisa terbuka/ Entah matamu buta atau hanya kurang peka/ Pada luka yang tak berdarah’. Ada gejolak yang terkesan disembunyikan atau ditutup-tutupi yang sejalan dengan puisi pertama.
Puisi keempat, “Kata Manis”, hadir sebagai penyataan sikap ‘aku’ lirik yang hanya mampu menyuguhkan rangkaian kata-kata penghiburan yang diharapkannya bisa mendatangkan kebahagiaan, sebab ‘Hanya itu yang bisa aku beri/ Tak mampu aku memberi lebih/ Akupun terseok/ Pun menggelepar/ Pun hampir terkapar/ Aku hanya bisa berkata/ Bahwa kita baik-baik saja/ Mari sama-sama menikmati luka/ Yang menganga namun tak berdarah’. Pada saat masalah datang menguji kesabaran, kata-kata yang menyejukkan kehadirannya bisa berarti melebihi obat dan suplai logistik. Kata-kata dapat berfungsi sebagai sugesti. Sugesti yang positif dapat membantu kita melewati masa-masa sulit, sehingga kita tak mudah menyerah pada keadaan. Tak hanya perasaan, pikiran kita pun terasa lebih lapang. Dampaknya, perilaku kita juga menjadi lebih baik – bagaimanapun keadaan yang kita hadapi. Ucapan ‘kita baik-baik saja’ ketika diresapi dalam-dalam akan menyugesti diri untuk merasa baik dan optimistis, sekalipun kondisi yang sebenarnya justru dalam keadaan genting dan tidak begitu baik. Setidaknya, optimisme yang muncul dapat menyalakan energi kreatif untuk mencari solusi yang dapat memecahkan masalah.
Puisi adalah ungkapan perasaan, gagasan, atau lintasan-lintasan pikiran. Puisi tidak mesti dimengerti. Puisi cukup dirasakan dan dibiarkan menjalankan tugasnya untuk menggugah nurani, menggugah jiwa. []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post