Cerpen: Nayla
“Kay, aku tidak bisa memulai pembicaraan.”
“Kay, kamu yang tanya, ya. Aku takut.”
“Kay, letak kelasku di mana ya? Coba tolong kamu tanya deh.”
“Kay, kamu yang pesanin ya. Aku malas bicara.”
“Kay, Kay, Kay, tolong ini, tolong itu, aku malu bicara. Aku malas bicara, kamu aja, ya.”
Namaku, Mikayla Reivanischa. Teman-teman memanggilku, Mika, tapi dia memanggilku, Kay. Biar simpel katanya. Siapa dia?
“Shay, jangan takut dan malu untuk memulai pembicaraan. SKSD aja.”
Namanya, Vashayla Alyanafhila. Teman-teman memanggilnya Vasha, tapi aku memanggilnya, Shay. Dia adalah orang yang mungkin mengubah hidupku.
Kata Shay, aku adalah orang yang cukup easy-going. Lingkaran pertemananku cukup luas. Namun, di sini aku tak akan menyebut nama sahabatku selain Shay. Karena ini adalah kisah kami. Tentangku yang tertarik pada seorang gadis dengan hobi unik. Dan tentang Shay, gadis introvert yang punya dunianya sendiri.
Aku memiliki banyak julukan untuk Shay. Salah satunya adalah Si Gadis Origami, yang membuatku tertarik padanya. Masa putih biru kami akan dihiask oleh warna-warni origami. Awal dari persahabatanku dengan Shay.
Masa MOS selama tiga hari berhasil kulalui. Bermandikan cahaya matahari pagi, murid kelas tujuh berbaris rapi di lapangan. Pengumuman peserta MOS terbaik yang akan menjadi Putri dan Pangeran Sekolah tahun ini, berakhir dengan tepuk tangan meriah.
Mikrofon diambil alih oleh Waka Kesiswaan. Pembagian kelas dimulai dari tujuh satu, tujuh dua, tujuh tiga, dan seterusnya. Hingga namaku dipanggil dan aku bergabung dengan kelas tujuh sepuluh.
Di sampingku berdiri seorang gadis lainnya. Aku berniat menyapa dan berkenalan. Namun, kusadari gadis itu hanya menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Ekspresinya antara jengah dan khawatir. Aku tidak terlalu yakin, tetapi sepertinya aku bisa membaca ekspresi dan perasaan seseorang. Aku mengurungkan niat untuk berkenalan.
Hari-hari di kelas tujuh terus berlalu dan tanpa sadar aku selalu memperhatikan gadis itu. Namanya Vashayla Alyanafhila. Ia duduk tepat di sebelahku.
Dalam pandanganku, dia cukup pintar. Pelajaran favoritnya adalah matematika dan bahasa Indonesia. Dia cukup pendiam. Ah, sebenarnya dia sangat pendiam. Seolah suaranya sangat mahal.
Ketika itu, Shay hanya bicara seperlunya. Suaranya yang lembut hanya dikeluarkan untuk menjawab pertanyaan. Itu pun sangat kecil dan singkat. Sampai-sampai aku berpikir, sebenarnya suara Shay itu kenapa? Apa dia memang tidak bisa banyak bicara? Shay itu, suka menyendiri. Dia juga tidak terlalu peduli. Seribut apa pun kelas, dia tetap tenang karena dia punya dunianya sendiri.
Dunia kata merupakan salah satu dunia Shay. Ketika jam kosong, Shay sering menulis pada lembaran-lembaran kertas putih. Terkadang, dia membawa sebuah buku khusus yang tersampul rapi hanya untuk coretan-coretan imajinasi. Atau kadang kala, ia lupa membawanya. Halaman terakhir buku catatan pelajaran pun bisa penuh dengan coretan-coretan hasil pikirannya. Aku tak akan berbohong. Aku benar-benar penasaran dengan apa yang ditulis Shay. Selain itu, Shay juga mempunyai hobi lain. Ketika tangannya lelah untuk menulis, ia mulai mengambil lembaran-lembaran origami warna-warni dari dalam ranselnya.
Shay melipat origami itu. Tak lupa sebelumnya, ia menuliskan sesuatu dibalik origami tersebut. Terkadang, Shay melipatnya menjadi bangau kertas atau terkadang menjadi bola kertas yang bisa ditiup dan mengembang seperti balon. Aku memperhatikan. Kalau Shay melipatnya menjadi bangau, biasanya tulisannya singkat. Tapi kalau ia melipatnya menjadi bola, tulisannya lebih panjang dan memenuhi satu sisi kertas. Rabu itu, setelah pelajaran olahraga yang melelahkan. Aku mendesah pelan karena harus piket kelas. Terlebih, petugas piket yang laki-laki dengan tidak bertanggung jawab malah kabur untuk pulang.
Teman piketku yang perempuan adalah Shay. Hanya Shay. Gadis itu mengambil satu-satunya sapu yang tersisa di sudut kelas dan mulai menyapu tanpa banyak bicara. Karena tak ada sapu lainnya, aku segera keluar dan meminjam sapu ke kelas lain. Butuh waktu cukup lama sehingga ketika aku kembali ke kelas, Shay sudah menyelesaikan bagiannya. Memang, sejak awal kami sudah sepakat bahwa Shay akan menyapu dua baris meja di sisj kiri, sementara aku dus baris di sisi kanan.
Shay bersiap untuk pulang. Aku ingin protes sebenarnya. Masa aku ditinggal piket sendiri sih? Tapi Shay memang sudah menyelesaikan tugasnya, bahkan Shay juga sudah menghapus papan tulis. Jadi, tidak ada yang salah kalau Shay pulang lebih dulu. Namun, tampaknya Shay dapat membaca pikiranku. Gadis itu menungguku. Selembar origami berwarna biru dikeluarkannya. Kemudian, Shay menulis sesuatu di sisi berwarna putih. Tulisannya singkat. Aku yakin kali ini dia akan membuat bangau kertas. Lembar demi kembar origami telah dilipat oleh Shay. Tanpa sadar, aku malah memperhatikannya alih-alih menyapu. Shay masih fokus dengan origami berwarna merah yang kenudian menjelma menjadi bangau kertas. Kemudian, Shay mengeluarkan sehelai benang dan merangkai bangau-bangau kertas penuh warna. Kupikir, itu cantik. Aku akan mencoba menawarkan agar bangau-bangau itu digantung untuk menjadi hiasan kelas.
“Kay, sudah selesai piketnya? Aku ingin segera pulang,” nada lembut keluar dari mulut Shay. Suaranya pun cukup kecil, bahkan Shay tak menatapku sama sekali. Ia masih sibuk menulis pada selembar origami berwarna hijau.
Dia bicara padaku ya? Batinku. Sebelumnya, tidak ada yang memanggilku, Kay, tapi karena hanya ada aku dan Shay di kelas ini aku menyahut, “Ah, iya. Sebentar ….”
Kalau dipikir-pikir, aku jadi merasa tidak enak pada Shay. Tugas piketnya kan sudah selesai. Seharusnya dia bisa pulang duluan tanpa menungguku.
“Ehm, Va, terima kasih sudah menungguku,” ucapku. Saat itu aku masih memanggilnya Vasha seperti teman-teman yang lain, “Kalau kamu mau pulang duluan, juga tidak apa-apa, kok. Aku akan menyelesaikan piket sebentar lagi.”
Shay segera memasukan origami-origaminya ke dalam tas, tapi rangkaian bangau kertas berwarna-warni tetap berada di mejanya. Kemudian, ia menyandang tasnya dan berniat ke luar. Namun sebelumnya, tanpa sepatah kata pun, ia menggantung rangkaian bangau kertas tadi di sebelah mading kelas
“Aku duluan, ya,” ucapnya sambil tersenyum tipis padaku. Aku masih menatapnya melangkahkan kaki ke luar kelas hingga menghilang dari pandanganku.
Aku menatap bangau-bangau itu. Selain indah, aku juga penasaran. Ingin sekali mengetahui apa yang ditulis Shay dibalik bangau-bangau itu.
Sepertinya kalau kubuka satu dan kukembalikan lagi tidak masalah, batinku, tapi kemudian aku menggeleng. Mungkin saja itu rahasia dan Shay tak ingin seorang pun mengetahuinya. Tidak baik melihat tanpa seizin Shay. Rasa penasaran membuatku kehilangan kesopanan. Aku membuka salah satu bangau kertas itu. Dan ternyata … Isinya di luar dugaanku.
Tentu saja dia mengantisipasinya. Tidak mungkin bangau berisi tulisan-tulisan rahasianya itu digantungnya, batinku sambil tertawa di dalam hati menyadari kebodohanku.
Bangau-bangau kertas yang digantung itu kosong. Tak ada tulisan di dalamnya. Pasti yang ada tulisannya dibawa Shay ke rumah karena itu mungkin rahasia. Aku mengembalikan bangau yang kubuka tadi dengan rapi seperti sedia kala. Kemudian, aku melanjutkan menyapu kelas. Setelah selesai piket, aku membereskan tasku dan menyandangnya. Lalu aku memeriksa laci meja untuk berjaga-jaga agar tak ada yang tertinggal. Saat itu, aku menatap sebuah objek berwarna hijau di bawah meja Shay yang terletak di sampingku.
Aku mengambil benda tersebut. Salah satu bola kertas origami yang dilipat oleh Shay. Rasa penasaranku meronta-ronta. Aku ingin tahu apa yang ditulis Shay dibalik lipatan origami tersebut. Aku membukanya. Tulisan rapi berderet memenuhi sisi putih dari origami. Juga terdapat judul di bagian tengah atas. “Putih Biru” judulnya.
Aku membaca tulisan lainnya. Hari-hariku di SMP, aku mengalami masa yang sulit. Aku tak tahu kenapa, tapi sejak pindah ke sini, aku tidak bisa memulai percakapan dengan orang lain dan mengalami masalah dalam pertemanan. Padahal, aku dipilih sebagai sekretaris 1. Aku jadi merasa bersalah pada Kay. Ah tidak, panggilannya Mika. Tapi aku lebih suka memanggilnya Kay karena lebih simpel. Dia malah harus menjadi perantara antara aku dan teman-teman lainnya, bahkan aku malah menyerahkan beberapa tugas pada Kay yang merupakan sekretaris 2.
Aku tertawa kecil membacanya. Memang tanpa sadar aku malah harus jadi juru bicara Shay. Mungkin satu-satunya orang yang diajak bicara oleh Shay sejauh ini cuma aku. Tentu saja kecuali guru meskipun Shay hanya bicara padaku masih seputar pekerjaan kami sebagai sekretaris.
Aku melanjutkan membaca, “Aku butuh teman. Aku sebenarnya ingin berteman dengan yang lain, tapi karena aku tidak bisa memulai pembicaraan. Banyak yang menganggapku sombong. Lingkaran pertemananku memang terbatas sejak SD karena aku selalu bergantung dan percaya padanya. Dan tanpa sadar, aku malah jadi tidak bisa berteman dengan yang lain. Apa aku bodoh? Karena aku baru sadar dia memanfaatkanku dan membatasi pertemananku. Kenapa aku tidak menyadarinya sejak awal?”
Aku mengerutkan dahi, bingung. Siapa dia? Batinku, tapi, lebih penting dari itu, Shay tampaknya kesulitan dan dia benar-benar ingin memiliki seorang teman. Dia membatasi dirinya sendiri.
Aku memutuskan akan menjadi teman pertama Shay di SMP. Tidak hanya teman sekelas, tapi juga teman dalam arti yang sebenarnya. Aku akan menguak fakta sebenarnya tentang ‘dia’ yang telah membuat Shay membatasi dirinya dalam pertemanan. Perlahan, aku akan menarik Shay keluar dari batasnya dan berbaur dengan dunia yang sesungguhnya.
Langkah pertamaku adalah berkenalan dengan benar dan memotong jarak di antara kami dengan mengajaknya berteman, “Hai, namaku Mikayla Reivanischa. Salam kenal,”
Namun yang tidak kuperkirakan adalah jawaban Shay saat itu, “Setelah sebulan berada di kelas yang sama, aku mengenal semua anggota kelas. Terlebih, kita setidaknya pernah bekerja sama sebagai sekretaris kelas untuk membuat daftar piket, absen kelas, dan sebagainya. Kalau kamu lupa, kita bahkan piket dan mengobrol bersama kemarin.”
Shay itu sekali bicara malah membuatku bingung. Yah, dia ada benarnya sih. Tentu saja dia mengenalku, bahkan kemarin dia bicara padaku, tapi maksudku kembali kenalan hanya sebagai formalitas untuk memulai pertemanan kami. Pertemanan yang sesungguhnya.
“Ah, maaf kalau kamu lupa, tapi kalau mau berkenalan lagi tidak masalah. Aku Vashayla Alyanafhila. Ngomong-ngomong, aku lebih suka memanggilmu, Kay. Tidak masalah kan?” sambungnya.
Saat itu, aku berpikir, ternyata dia bisa bicara panjang juga ya?
“Aku tidak lupa, kok. Kupikir kita harus berkenalan dengan benar, lalu kuharap kita bisa menjadi teman. Bagaimana, Shay?”
“Shay?” ulangnya.
“Hm … yah, tidak masalah kalau kamu ingin memanggilku, Kay. Aku akan memanggilmu, Shay. Anggap saja sebagai panggilan khusus karena kita sudah berteman, kan?”
Bertepatan dengan kata terakhirku, bel berbunyi. Shay belum menjawab pertanyaanku. Kami beriringan menuju lapangan untuk berbaris.
Tampaknya aku membutuhkan rencana cadangan karena meski Shay menyetujui ajakanku untuk berteman, tapi kami masih belum membicarakan hal lain sejak percakapan singkat pagi itu.
Kebetulan aku tahu, rumahku dan Shay searah. Jadi, aku mencoba mengajak Shay pulang bersama. Selama ini, aku melihat Shay pulang sendiri naik angkot. Aku pun juga pulang naik angkot, tapi setidaknya aku pulang bersama beberapa teman.
“Hey, Shay. Mau pulang bersama?” tanyaku.
Dia mengangguk singkat. Aku anggap dia menyetujui ajakanku. Kami berjalan beriringan keluar dari gerbang sekolah. Jarak dari gerbang sekolah ke simpang luar tempat menyetop angkot cukup jauh. Sekitar satu kilometer. Untuk sampai ke perumahan tempat kami tinggal, harus menaiki dua macam angkot.
Naik angkot itu seru-seru ngeselin. Seru karena bareng teman-teman dan bisa mengobrol. Sementara itu, kadang ngeselin kalau angkotnya langka. Jadi, lama menunggu dan kadang panas. Selain itu, ada juga supir angkot yang minta bayaran lebih. Kalau aku sih karena supir angkot itu biasanya tampangnya kayak preman, kuberi saja. Akan tetapi, kalau Shay, anak itu ternyata diam-diam menghanyutkan.
“Dek, ongkosnya empat ribu,” kata supir angkotnya. Padahal, seharusnya cuma dua ribu untuk anak sekolah. Udah baik hati juga aku beri tiga ribu. Mau tak mau, aku merogoh saku rokku untuk mengambil uang seribu. Namun, Shay menggenggam tanganku dan menarikku pergi.
Supir angkot itu terus berteriak dan mengklakson. Angkot yang harus kami naiki selanjutnya tiba dan Shay menyetopnya. Kemudian, kami naik dan mengabaikan supir angkot yang meminta bayaran lebih itu.
“Shay, bukankah tidak ada masalahnya kalau hanya seribu rupiah?” ujarku.
“Untuk anak sekolah itu seharusnya cuma dua ribu dan kita bahkan sudah beri tiga ribu. Ini bukan tentang pelit, tapi hanya karena kita anak-anak bukan berarti dia bisa memalak seperti itu,” ujar Shay datar.
Ternyata, Shay itu bisa tegas juga. Dia gadis yang benar-benar menarik. Bermula dari selembar origami hijau, kini aku mengenal Shay, gadis introvert yang ingin memiliki teman.
Aku percaya. Setelah bertemu dengan Shay, hari-hariku mingkin tak lagi sama dan akan lebih berwarna. Shay dengan segala keunikannya yang tidak bisa disadari oleh orang lain. Namun, aku akan membantu Shay dalam pertemanan.
Selain itu, aku juga ingin membuka pandangan orang-orang tentang Shay. Irit bicara membuat teman-teman menganggap Shay sombong. Aku hanya ingin teman-teman melihatnya dari sudut pandang berbeda.
“Shay, kenapa kamu tidak mau berteman dengan yang lain?” tanyaku.
“Bukan tidak mau,” kata Shay. “Ini mungkin terkesan egois, tapi aku ingin mereka yang mengajakku berteman lebih dulu. Aku sadar, kadang aku menyusahkan, bahkan aku sering minta tolong pada Kay tentang banyak hal. Tidak semua yang dapat menerima diriku yang seperti ini. Tidak semua orang paham jika aku ini tidak bisa memulai pembicaraan bahwa aku adalah seorang introvert. Tidak semua orang sepertimu, Kay,”
“Tidak juga. Kurasa banyak yang ingin berteman denganmu,” kataku.
Meskipun selalu sendiri, Shay populer karena NEM-nya itu sangat tinggi ketika UN. Dia juga sangat pintar dan menjadi juara ketika ujian mid semester. Dengan begitu, banyak yang ingin mendekati Shay namun gadis itu terlalu cuek dan sulit untuk didekati.
“Aku memang egois, Kay. Jika mereka memang mengajakku berteman, aku akan menerimanya. Bagiku sekararang, cukup, Kay. Aku mempercayaimu setelah sekian lama tak seorang pun yang bisa kupercayai. Sejak tahun terakhirku di SD. Hey, Kay, jangan sia-sia kan kepercayaanku ini ya.”
Aku hanya mengangguk.
“Cukup sekali saja aku dikhianati dan dimanfaatkan oleh sahabatku sendiri,” gumamnya pelan.
Suatu hari nanti, aku ingin mengungkap hal itu. Siapa orang mengkhianati Shay? Siapa yang membuat Shay menutup dirinya? Tidak sekarang, tapi perlahan aku akan mengetahuinya.
Aku tentu tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan Shay karena itu hanya akan membuat Shay kembali menutup dirinya. Lagi pula, aku merasa beruntung bisa berteman dengan Shay.
Terkadang, tak ada yang menyadari bahwa mereka terlalu bersahabat dekat dengan seseorang hingga mengabaikan orang lain. Mungkin Shay memiliki sudut pandang bahwa teman-teman yang lain hanya ingin berteman dengan sahabat mereka di SD.
Sementara itu, Shay, teman SD nya tidak ada yang bersekolah di sini. Bagi Shay, lingkungan ini terasa asing. Dia seorang introvert dan seorang introvert akan sibuk dengan dunianya sendiri. Kenapa tidak menariknya ke dunia nyata. Mengajaknya untuk bersosialisasi. Memancingnya untuk bicara dan merasa seperti teman?
Sudah tidak zaman lagi membeda-bedakan teman. Ini bukan zaman berteman dengan orang pintar supaya dapat contekan ketika ujian. Bukan zaman berteman dengan anak guru supaya dapat nilai tambahan. Ini adalah zaman di mana teman yang baik akan saling mendukung dan melaju bersama untuk mencapai tujuan.
Belajar bersama Shay bagiku terasa menyenangkan. Dia akan selalu menolak memberi contekan namun dia bisa membuat pelajaran yang tampak sulit terasa menjadi sangat mudah. Aku senang bisa mengenal Shay, si gadis origami.
Discussion about this post