Kenangan
Yang tak pernah aku lupa ketika warna jingga menghiasi langit di belakang rumah kita
Ada mimpi yang kita bisikkan dalam tiap helaan napas doa
Seperti lafal puisi kelak akan kita tampilkan di hadapan Ilahi
Tetapi kini cerita telah berbeda
Tak ada lagi senja karena ia telah kau bawa bersama secangkir mimpi
dan aku hanya menyimpan puisi dalam kenangan disertai doa-doa
Yang tak pernah aku lupa tentangmu ketika senja
adalah harmoni yang paling indah dari denting suara gelas kaca
diiringi panggilan azan
bisikan doa di antara tegukan adalah segelas senyum penawar dahaga
nyenyaklah tidurmu dalam dekapan kasih sayang Tuhan
tempatmu telah pasti, sedangkan aku masih dalam pengembaraan
sampai waktu akan memutuskan nanti.
Padang, 6 April 2022
Anak Rantau
Langkah risau anak rantau
membelah langit kusam tanpa warna pelangi
Keringat seperti darah yang menetes dari luka sayatan kekuasaan
Yang membunuh mungkin secara perlahan
Segelas air diteguk dari botol bekas minuman
Entah darimana ia dapatkan, mungkin juga nemu di pinggir jalan
Seteguk habis lalu bibirnya telah kering lagi
Hujan sepertinya tidak akan turun lagi
tak singgah di gubuk-gubuk yang kini ia tinggalkan
mentari seperti amarah yang disimpan rapat dalam hati namun
ladang bagi pengusaha dan penguasa untuk menjual harapan palsu
yang dipertontonkan dari baliho dan mobil yang bersliweran
memampang wajah-wajah menjanjikan kepalsuan
Perut-buncit berkaca mata hitam seperti menyembunyikan senyum
yang nanti hanya bisa diterjemahkan di pengadilan Tuhan
Langkah risau anak rantau lunglai
Genderang perut harus diisi dengan tibarau
Serupa tebu namun hambar tak tawarkan udara berdebu.
Padang, 6 April 2022
Naira Pulang ke Desa
Djoe HT bagindo
Naira, pulang ke desa.
Tinggalkan ibu kota
Pelangi dalam mimpi tak seindah pelangi di pinggir kali
Kejujuran telah ditutupi warna merah gincu, bedak, dan kaca mata.
Kebenaran telah tergadai pada tangan-tangan pengusaha
Naira, pulang ke desa
Sawah tak lagi basah. Karna hujan pun telah digadaikan penguasa
Ladang kering. Sungai telah dibeli dengan harga kaki lima
Batunya ditumpuk menjadi permata airnya dikemas menjadi rupiah
Tak ada yang kau punya. Selain mimpi mimpi masa kecil di dangau dahulu kala.
Naira pulang ke desa
Di ibu kota pelangi hanya mimpi saja
Di desa pun kini pelangi telah dibeli pengusaha pada penguasa.
Padang, 6 April 2022
Djoe HT Bagindo lahir dengan nama Hendri Tanjung yang ia sematkan dalam nama penanya (HT) pada tanggal 7 April di Kabun Sunur, Pariaman, Sumatra Barat. Hobi menulis sejak di bangku SMP. Setelah menamatkan SLTA sempat menimba ilmu di Fakultas Bahasa Sastra dan Seni (FBSS) UNP. Saat ini berkabung pada beberapa komunitas kepenulisan baik online maupun offline antara lain FLP Sumbar, Komunitas Penyair Indonesia KOPI 45, komunitas Republik Penyair (Vidio Puisi indonesia), KOPI, dan beberapa kumunitas literasi lainya untuk menyalurkan hobinya. Beberapa puisinya sempat diterbitkan di media cetak lokal dan oline antara lain Singgalang dan scientia.id Cerpennya “Tas” tergabung dalam antologi Surat dari Hujan, “Ning” dalam antologi “pukah dan rekah”. Saat ini penulis bekerja sebagai tenaga pengajar Sekolah Dasar di daerah kelahirannya dan aktif di media sosial dengan akun: FB @Padi Salibu/hendri-tanjung hendritanjung700@gmail.com, WA. 082392164891
Respons Sosial dalam Ekspresi Personal
Oleh: Ragdi F. Daye
(penulis buku kumpulan puisi Esok yang Selalu Kemarin)
Naira pulang ke desa
Di ibu kota pelangi hanya mimpi saja
Di desa pun kini pelangi telah dibeli pengusaha pada penguasa.
Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Esten (1989) bahwa sebuah cipta sastra mengungkapkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan. Ia melukiskan tentang penderitaan manusia, perjuangan, kasih sayang dan kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia. Dengan sebuah cipta sastra pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan agung, ingin menafsirkan tentang hidup dan hakikat hidup.
Hal ini sejalan dengan pendapat Sumardjo (1979) mengungkapkan bahwa pengarang adalah anggota salah satu masyarakat manusia. Ia hidup dan berelasi dengan orang-orang lain di sekitarnya. Tidak mengherankan jika terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakatnya, selalu dapat ditarik sifat relasi antara karya sastra dengan masyarakat di mana pengarang hidup. Kegelisahan masyarakat menjadi kegelisahan para pengarang. Begitu pula harapan-harapan, penderitaanpenderitaan, dan aspirasi mereka menjadi bagian pula dari pribadi pengarangpengarangnya. Itulah sebabnya sifat-sifat dan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya-karya sastranya.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat puisi-puisi karya Djoe HT Bagindo. Ketiga puisi tersebut berjudul “Kenangan”, “Anak Rantau”, dan “Naira Pulang ke Desa”. Penyair yang tinggal di Pariaman ini telah sering mempersembahkan puisi-puisi terbaiknya untuk pembaca rubrik Kreatika.
Sebagaimana kutipan pendapat Mursal Esten dan Jacob Sumardjo di atas, karya-karya sastra, khususnya puisi mengungkapkan pengalaman manusia tentang kehidupannya. Pengalaman hidup itu tentu sangat kompleks, dapat menyangkut pengalaman hidup dengan manusia lain, dengan alam sekitar, dengan benda-benda, pengalaman religius berinteraksi dengan Sang pencipta, atau pengalaman psikologis ketika bergulat dengan diri sendiri. Inilah yang menyebakan karya sastra terus lahir. Sepanjang kehidupan manusia masih ada maka karya sastra akan mempunyai bahan dasar untuk penciptaannya.
Puisi pertama Djoe yang berjudul “Kenangan” menunjukkan endapan pengalaman yang sangat kuat pada seseorang. Interaksi dengan sesama manusia memang meninggalkan kesan-kesan tertentu yang kadang sangat melekat kuat menyerupai obsesi yang terus hadir mewarnai fragmen-fragmen kehidupan. Kenangan yang membekas kuat tersebut jika diekspresikan secara tepat dengan pilihan kata-kata yang pas akan menghasilkan karya puisi yang kuat pula, seperti larik-larik yang ditulis Djoe ini: ‘Yang tak pernah aku lupa tentangmu ketika senja/ adalah harmoni yang paling indah dari denting suara gelas kaca/ diiringi panggilan azan / bisikan doa di antara tegukan adalah segelas senyum penawar dahaga / nyenyaklah tidurmu dalam dekapan kasih sayang Tuhan/ tempatmu telah pasti, sedangkan aku masih dalam pengembaraan / sampai waktu akan memutuskan nanti.’
Ingatan pada seseorang yang telah pergi dapat membangkitkan perasaan sedih dan haru yang membuncah. Keharuan tersebut dapat dipicu oleh benda-benda atau objek-objek yang punya hubungan dengan yang bersangkutan, misalnya foto, pakaian, tempat bertemu, atau sebuah lagu. Persentuhan dengan objek-objek yang menyimpan kenangan tersebut akan membangkitkan perasaan melankolis dan dapat disalurkan menjadi puisi personal.
Namun, sebagai seorang intelektual, penyair tentu saja tidak semata-mata menulis tentang dirinya atau mengungkapkan gejolak hatinya. Penulis juga menulis untuk menyampaikan responsnya terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakatnya. Penulis juga memiliki kepekaan untuk menunjukkan kepedulian atas peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi di muka bumi karena sebagai makhluk sosial, penyair tidak hidup dalam khayalan yang semu. Melalui puisi, penyair dapat mengungkapkan opininya tentang persoalan yang dihadapi manusia lain, baik yang dekat dengan lokasinya maupun jauh, dengan empati dan imajinasi tanpa batas.
Kepedulian Djoe sebagai penyair ditunjukkan melalui puisi berikutnya. ‘Langkah risau anak rantau/ membelah langit kusam tanpa warna pelangi/ Keringat seperti darah yang menetes dari luka sayatan kekuasaan/ Yang membunuh mungkin secara perlahan…’ Secara ironis, Djoe mengunci puisinya yang memotret kehidupan perantau dengan metafora ‘tibarau’ yakni sejenis tumbuhan yang batangnya beruas-ruas seperti tebu namun rasanya tidak manis: ‘Langkah risau anak rantau lunglai / Genderang perut harus diisi dengan tibarau/ Serupa tebu namun hambar tak tawarkan udara berdebu.’
Problematika perantau yang mengalami kesulitan hidup di tanah orang telah sering disinggung dalam karya sastra. Penderitaan dan keberuntungan seperti kombinasi kompak yang menyertai kehidupan perantau. Budaya merantau bagi masyarakat Minangkabau dilandasi petuah bijak “Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, ka rantau bujang dahulu di rumah paguno balun” yang berarti jika di kampung belum bisa berbuat kebaikan untuk orang banyak, sebaiknya merantau. Merantau menjadi tindakan bijaksana untuk membuat diri bermakna untuk membangun kampung. Setelah berhasil di rantau, negeri sendiri tidak pula boleh dilupakan. Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri, yang bermakna bagaimanapun senangnya hidup di negeri orang, masih lebih senang hidup di negeri sendiri.
Sebanyak perantau sukses, banyak juga yang tidak berhasil mewujudkan impiannya. Pulang ke kampung halaman adalah pilihan. ‘Naira, pulang ke desa./ Tinggalkan ibu kota / Pelangi dalam mimpi tak seindah pelangi di pinggir kali / Kejujuran telah ditutupi warna merah gincu, bedak, dan kaca mata. / Kebenaran telah tergadai pada tangan-tangan pengusaha// Naira, pulang ke desa/ Sawah tak lagi basah. Karna hujan pun telah digadaikan penguasa/ Ladang kering. Sungai telah dibeli dengan harga kaki lima/ Batunya ditumpuk menjadi permata airnya dikemas menjadi rupiah/ Tak ada yang kau punya. Selain mimpi mimpi masa kecil di dangau dahulu kala.’ Akan tetapi, setelah ditinggalkan pergi merantau apakah kondisi kampung halaman masih sama seperti sedia kala?
Sebagai buah dari intelektualitas, puisi berisi respons terhadap fenomena sosial, menggelitik kesadaran pembaca untuk mencermati realita yang ada. Selamat merenung![]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini didedikasikan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post