Oleh: Arina Istianah, S.Pd., M.Hum.
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma dan Mahasiswa Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada)
Akhir-akhir ini, kita sering mendengar atau membaca istilah “hidden gems” dalam promosi pariwisata di berbagai media sosial, seperti situs web, Instagram dan Tik tok. Setiap pengguna media sosial saat ini memiliki kesempatan yang sama dalam membagikan pengalaman mereka setelah mengunjungi suatu tujuan wisata, bukan hanya tempat yang menawarkan keindahan alam namun juga tempat-tempat yang menawarkan kuliner khas atau penganan yang memang dianggap memiliki cita rasa tinggi. Jika diketik pada mesin pencarian Google, istilah “hidden gems” muncul paling atas bersamaan dengan kata “Indonesia, Solo, Semarang, dan Jogja”. Kata-kata tersebut merujuk pada nama kota-kota di Indonesia yang dikaitkan dengan kata “hidden gems”.
Secara linguistik, istilah “hidden gems” disebut sebagai metafora karena ungkapan tersebut digunakan untuk menyebut atau mengonseptualisasikan tujuan wisata dengan konsep lain. Pantai, misalnya, tidak secara eksplisit disebut sebagai pantai namun disebut dengan “hidden gems” untuk membandingkan keindahan yang dimiliki pantai dan batu permata. Secara semantik, kata “gem” atau permata memiliki makna yang mengandung keindahan dan penghargaan atau nilai yang tinggi. Keindahan yang dimiliki batu permata tersebut merupakan ranah target untuk memetakan tujuan wisata yang memiliki keindahan dan penghargaan bagi para pelancong, tapi istilah “gems” selalu disandingkan dengan kata “hidden” yang secara harfiah memang dikaitkan dengan lokasi yang masih tersembunyi.
Dari mesin pencarian di Google, frasa “hidden gems Jogja” ternyata memunculkan berbagai rekomendasi tujuan wisata yang ditawarkan bukan hanya oleh blog pribadi, namun berbagai surat kabar dan situs perjalanan wisata. Jika ditilik dari “tripadvisor” dan “poitnsgeek”, sepuluh tujuan wisata “hidden gems” tersebut memang merujuk pada lokasi wisata yang berada di lokasi luar tengah Kota Yogyakarta. Beberapa tempat seperti Gunung Merapi, Hutan Pinus Mangunan, Candi Plaosan, Pantai Wedi Ombo, dan Goa Pindul berada di Kabupaten Sleman, Bantul, dan Gunung Kidul. Tidak ada satu tujuan “hidden gems” tersebut berada di wilayah Kota Yogyakarta.
Istilah “hidden gems” jika dikaitkan dengan contoh-contoh tersebut berasosiasi dengan lokasi yang dianggap tersembunyi karena akses menuju lokasi tersebut tidak bisa dijangkau dengan satu macam transportasi umum saja, misalnya untuk pergi ke Candi Plaosan, pelancong dari Kota Yogyakarta dapat memanfaatkan bus Trans Jogja yang berhenti di terminal Prambanan, atau dapat memanfaatkan KRL Prameks dan berhenti di Stasiun Brambanan. Namun, untuk ke Candi Plaosan, pelancong harus memikirkan transportasi lain untuk menuju ke Candi Buddha tersebut yang terletak kurang lebih 3 km dari terminal atau stasiun.
Goa Pindul terletak di Kabupaten Gunung Kidul atau kurang lebih 41 km dari Kota Yogyakarta. Dari informasi yang disediakan situs web perjalanan wisata, mereka menawarkan paket perjalanan dengan mobil atau bus, tidak ada informasi bagaimana transportasi umum membantu pelancong sampai ke tujuan tersebut. Oleh sebab itu, istilah “hidden gems” sendiri lebih sering diasosiasikan dengan lokasi yang belum dapat secara langsung dijangkau oleh para pelancong dengan transportasi umum. Lokasi tujuan wisata yang jauh dari kota secara langsung dikonseptualisasikan sebagai “hidden gems”.
Jika ditilik dengan kajian wacana kritis, metafora “hidden gems” tersebut merupakan keyakinan sosial yang konstruksi oleh penyelenggara perjalanan wisata, pengunjung, dan pengguna media sosial sebagai lokasi wisata tersembunyi dan sulit dijangkau. Keyakinan sosial tersebut atau juga disebut sebagai model mental direproduksi dalam bentuk wacana yang tersebar pada berbagai media sosial (van Dijk, 1998, 2006), termasuk surat kabar dan situs perjalanan wisata.
Saat ini, istilah “hidden gems” secara gampang kita telusuri melalui internet. Siapa pun dapat menggunakan istilah tersebut untuk membagikan pengalaman mereka selepas mengunjungi tempat wisata. Berbagai artikel, foto, dan video menggunakan istilah “hidden gems” untuk menyebut berbagai tujuan wisata di Indonesia dan kota-kota di dalamnya. Penggunaan istilah itu secara positif mendapatkan respons dari para pengguna media sosial untuk membuktikan keindahan lokasi yang ditawarkan. Para pelancong rela menempuh jarak yang cukup jauh dan memakan waktu cukup lama untuk mencapai ke lokasi “hidden gems” tersebut.
Metafora yang terdapat pada “hidden gems” terletak pada kata “gems” itu sendiri. Sebelumnya sudah diulas bahwa “gems” merupakan batu permata yang memiliki konsep makna “indah” dan “berharga”. Lalu, bagaimana kita yang menggunakan istilah “hidden gems” tersebut mengonseptualisasikan keindahan dan penghargaan tujuan wisata itu?
Setidaknya dari contoh-contoh di atas, terdapat dua jenis tujuan wisata yang diasosiasikan dengan “hidden gems”, yakni alam dan budaya. Oleh Sapir (2001), alam disebut sebagai lingkungan fisik, sedangkan budaya disebut sebagai lingkungan sosial. Lingkungan fisik ternyata digunakan secara masif untuk menawarkan keindahan alam Indonesia, dan lingkungan sosial juga dimanfaatkan untuk memperkenalkan peninggalan budaya. Keduanya memang menjadi unggulan wisata yang disambut baik oleh para pelancong. Pemerintah sendiri telah melaporkan bahwa pariwisata menyumbang 5% pada Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara pada 2019 (Kusbandio, 2020).
Jika dilihat dari sudut pandang ekolinguistik, bahasa dalam pariwisata berpengaruh terhadap cara pandang, cara berbicara, dan cara memperlakukan kita terhadap lingkungan (Stibbe, 2015). Metafora “hidden gems” merupakan piranti untuk membingkai peran lingkungan fisik dan budaya dalam pariwisata. Selain keindahan dan penghargaannya, sebagai agen dari sistem ekologi yang memiliki kesadaran kognitif hendaknya kita dapat mempromosikan wisata sebagai sarana untuk memperkenalkan bahwa alam dan budaya merupakan bagian dari ekologi yang menopang kehidupan kita. Alam dan budaya dibingkai sebagai batu permata yang indah dan berharga, namun bingkai tersebut seharusnya diikuti dengan sikap atau perilaku para pelancong di tempat wisata.
Para pelancong seharusnya tidak hanya terbuai dalam rasa puas karena dapat mencapai lokasi “hidden gems” tersebut namun juga memiliki kesadaran bahwa mereka merupakan bagian dari organisme dalam sistem ekologi. Keberadaan alam, nilai sosial budaya, dan organisme nonmanusia juga merupakan bagian penting dalam kehidupan ini sehingga perilaku-perilaku yang menempatkan manusia sebagai aktor utama pada lokasi wisata bisa dihindari. Jadi, selain mampu menemukan “hidden gems”, kita juga dapat berperan aktif menjaga keindahan dan nilai lingkungan fisik serta budaya dengan menjaga perilaku di lokasi-lokasi wisata.