Eri 1
“Pada pukul berapa film selanjutnya akan diputarkan?”
Seorang lelaki tua dengan penglihatan meremang bertanya pada penjaga karcis dengan nada pelan. Tanya tak bertemu jawab. Ia berjalan dengan topangan tongkat kayu ke satu sisi luar bioskop itu. Pelan sekali. Reklame film memburam, tak jelas film akan diputar pukul berapa. Suara azan berkumandang mengusir anak-anak pulang ke rumah, tapi lagu lama terus berdendang dari dalam bioskop, berkali-kali, lagu yang sama.
Ia intip dari luar ruangan: kursi-kursi kosong berdebu, layar berjemur, plafon kropos yang menggantung, lumut berkerumun, dan poster Quentin sejak zaman ketumba masih menyengir tanpa tahu bahwa masa depan adalah masa lalu yang lebih dulu satu detik dari kematian Bill.
“Pada pukul berapa film selanjutnya akan diputarkan?”
Sepasang muda-mudi yang baru saja membeli karcis menjawab: “Pada pukul kasih yang tak pernah lewat, sayang.”
Lelaki tua terdiam. Ia sibak jalan tengah bioskop seperti menyingkap masa lalu dalam kepala: bayangan, ingatan, sakit hati, duka lara, ditinggalkan, hingga hujan deras yang tak pernah surut dari bola mata.
Di tengah panggung bioskop yang tak seberapa besar, di antara layar dan tembakan cahaya proyektor dan putaran macet seluloid yang kusut, ia mengubur dirinya sendiri atas nama Lumiere Bersaudara, atas nama sutradara misterius yang filmnya diputar tanpa kehadirannya.
Sementara, pintu bioskop terus saja dibuka menyambut kedatangan penonton yang hanya tahu tepuk tangan setelah film berakhir.
Padang, 2022
Eri 2
“Ada sepasang mata yang berbeda, Eri. Barangkali, matanya tak mampu ditutup lagi, diciptakan Tuhan untuk melihat orang-orang mondar-mandir keluar-masuk bioskop dengan Teh Pucuk di tangan kanan dan helm menempel kuat di kepala.”
Sementara di berbagai belahan kota, orang-orang melakukan seremonial pada penyambutan Hari Film yang kesekian. Membahas prospek jangka pendek, menengah, dan (tentu saja) panjang, agar ekosistem perfilman semakin membaik. Ruang-ruang apa saja mendadak punya layar, proyektor, gadis-gadis histeris pecinta drakor, sembari memutarkan film-film dengan kopi dan obrolan tentang film hingga hal-hal lain yang berkelindan di dalamnya.”
Tetapi, Eri, aku ingin menonton film dengan sederhana: tanpa hadirnya layar obrolan penonton yang berisik dan bercengkerama ketika adegan juga berbicara, tanpa layar handphone menyala dan merekam potongan film, tanpa ciuman sepasang kekasih yang mabuk bertukar manis permen karet, tanpa orang-orang yang jago melap-lap romantisme masa lalu, tanpa layar yang apabila ditiup angin sedikit kencang ia bergelombang bak ombak Pantai Purus dari bahtera Nuh tersesat yang entah akan berlayar ke arah mata angin yang mana. Jika terus demikian, maka kupilih saja paket tembak Netflix yang diobral murah di kolom komentar Twitter dengan biaya 20 ribu/bulan, Eri. Sungguh, aku akan muntah “kayak” dibuatnya dari pagi hingga petang.”
Aku melihat sepasang mata berbeda menatap nanar ke arahku. Ia mengeluarkan air mata, air mata darah penuh debu dan laba-laba berumah di sana.
“Pulanglah, Eri, semakin jauh inginmu melintasi banyak ruang, semakin tak tahu apa yang harus kau lakukan.”
Ia tatap sepasang mata nanar yang berbeda itu. Ia temukan hangat dan dingin saling tarik-menarik keinginan.
“Sesungguhnya apa yang kau mau dari waktu yang terus berjalan?”
Padang, 2022
Eri 3
Pada masa-masa tertentu, keberangkatan lebih sering tak diiringi dengan kedatangan. Selain cuplikan ingatan tentang hari lalu, potret-potret lawas setidaknya menjadi penjaga memori bahwa ia tak lekang oleh hari-hari panas yang kian bikin dada semakin sembab. Dan sebelum penghabisan, waktu dicicil perlahan oleh kesepian, suara sunyi, dan mimpi-mimpi yang lembab di musim kemarau. Huh. Kapan musim salju menyinggahi garis Equator pada kota yang sengsara ini hingga bermain bersama Olaf tak lagi khayalan bocah kecil pada akhir bulan Desember?
“Tapi, gedung itu tetap saja kosong. Kursi-kursinya telah keropos, suasana gelap dan kering serupa rumah hantu, tetapi film dan orang di dalamnya tak akan kautemui ditempat lain. Sebentar lagi di atas tanahnya barangkali akan berdiri pusat perbelanjaan barang-barang mewah, produk kecantikan, baju raya, alat kebugaran dan produk
stainless steel yang hanya bisa berkarat oleh kemiskinan, bukan korosi. Jika benar demikian, di mana lagi aku dapat melihat seluloid kusut dengan layar terbalik, sedang Raya juga telah disulap sedemikian rupa dan Karia mati suri pascapandemi melanda? Apa ibu-ibu penjual tomat di seberang Raya pernah menonton film ke sana selain menonton sinetron Ikatan Cinta?”
Pada masa-masa tertentu, kursi-kursi itu penuh tak bersisa. Betapa beruntungnya punya uang dan dapat memilih ingin duduk di mana saja. Ingin rasanya menyeberang ke hari lalu, memilih tempat duduk sendiri sembari melihat sekelompok orang duduk di dekat layar dan pulang dengan mata berair lagi perih.
Pada masa sekarang, jika yang datang tak lebih dari jumlah jari yang kau punya, jangan harap ada film yang diputarkan.
Padang, 2022
Eri 4
Tepat pada pukul 00.00 suara lonceng Jam Gadang berpagutan dengan luka. Deranya mengisyaratkan bahwa semua ini belumlah selesai, harapan akan terus tumbuh meski dari tempat yang rubuh. Gegap gempita telah mengudara hingga ke tempat paling”ter-rantau” dari pengembaraan pengetahuan. Bilamana jalan tak lagi dapat ditempuh, biarkan siapa pun menebas belantara pikiran agar senantiasa tetap tinggal di dalam ingatan.
“Tuhan, melankoliakah bila segala yang telah tercipta memang sengaja untuk dihancurkan? Bagaimana dengan cinta yang saling memeluk dari bulu kuduk sepasang manusia atas nama kasih sayang? Hingga waktunya tiba, segala tafsir akan kembali ketiadaan.”
Di salah satu sudut kota, citra seorang pria baya dengan kacamata terpampang di antara naik dan turun orang-orang datang. Ia berumah di dinding puisi. Ia tak pernah tahu apa yang telah berubah. Ia tak pernah tahu apa yang telah ditinggalkan. Generasi selanjutnya hanya menyanyikan lagu-lagu pemujaan pada akhir bulan ketiga kalender Masehi hingga melupakan bahwa ada sesosok pelukis kawakan yang konon tak pernah ingin menyaksikan lukisan cahaya di seberang rumahnya yang berjarak hanya beberapa langkah.
Dari pukul 00.01 hingga 23.59, berbagai insan merayakan dan menggaungkan kebangkitan sinema. Di waktu yang sama, ada seluloid berjamur dengan napas sengal menunggu giliran dilindas waktu seperti para pendahulunya. Tak ada yang salah dari unggukan tanah di persimpangan jalan. Kerikil bisa saja bikin jatuh. Ia mampu membikin satu gedung runtuh.
“Biarkan segalanya menjadi dongeng. Setidaknya, ia dapat menjadi cerita pengantar tidur untuk anak-anakmu kelak.”
Dan,
pada pukul entah, dari dera Jam Gadang, segala harap telah dipasrahkan di dalam darah dan doa.
Padang, 2022
Eri 5
Aku lihat Eri dalam bingkai kamera. Ia masih seperti biasa, tanpa solekan, wajahnya terkelupas, badannya meriang, tanpa merasa sadar bahwa keberadaannya adalah sejarah panjang peradaban yang tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan. Warung kopi, gerai seluler, dan bapak-bapak yang bermain koa di lepau tak akan pernah sadar bahwa suatu saat Eri akan meninggalkan mereka, kecuali Pak Topi.
“Tenang saja, Bung. Eri sesungguhnya telah lama pergi melintasi masa. Yang tersisa hanyalah kau, dan upayamu kembali ke Eri pada masa silam. Tetapi Bung, selama proyektor masih dapat berputar, selagi seluloid masih dapat disambung-satukan, dan anak muda masih menziarahi Eri dengan penuh gelora, ia akan tetap hidup dalam memoriam-memoriam lawas dan benturan dimensi hari lalu dan hari depan. Manusia mati meninggalkan nama, Eri mati meninggalkan bekas kecupan di leher perempuan- perempuan belia.”
Aku lihat Eri sedang memutarkan film terakhir pada malam itu. Dalam bingkai kamera yang masih saja merekam, dalam rupa siluet di layar yang kian semakin hitam dan lebam, sayup teriakan seseorang terdengar dari arah kapal udara yang menukik, suara tembakan menggelegar hingga pangkal jantung. Satu Kamikaze yang keras kepala baru saja padam.
Padang, 2022
Biodata:
Mahareta Iqbal Jamal lahir di Padang, 11 Maret 1995. Alumnus S1 Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Bergiat di Lab. Pauh 9 dan Sani Films. Tulisan-tulisan Iqbal berupa puisi, cerpen, dan esai pernah dimuat di koral lokal dan media daring nasional. Pada tahun 2020, ia meraih Juara I dalam Lomba Menulis Naskah Drama Tingkat Provinsi Sumatera Barat yang diselenggarakan oleh UPTD Taman Budaya Sumatera Barat. Nomor Handphone: 0823-9116-7845.
Discussion about this post