Tabir Malam di Pondok Santri
Cerpen: Fitria Sartika
Malam semakin dingin dan menggila di antara jangkrik yang berbisik riang. Nafisa masih setia duduk di depan meja belajarnya. Dengkuran teman-teman sekamarnya seakan membuat ia tak berminat untuk ikut merebahkan tubuhnya.
Entah sejak kapan kebiasaan begadang ini dilakukan Nafisa. Padahal, dulunya ia adalah santri yang manut aturan tidur di pondok putri ini. Jam 10 malam semua santri sudah harus di kamar masing-masing dan tidur. Jika ketahuan masih bangun, akan ditegur oleh pembina asrama, karena mereka harus bangun pada jam 3 dini hari nanti untuk melakukan rutinitas pondok, yaitu shalat malam, menghafal, belajar, dan shalat subuh berjama’ah di mushala.
Malam semakin larut. Detak jarum jam di dinding kamar terdengar jelas di telinga Nafisa. Seakan menarik perhatian untuk dilirik, Nafisa menoleh sejenak. “Sudah 23:45 saja ternyata,” gumam Nafisa.
Sunyi senyap dan sepi. Nafisa terus melanjutkan coretan di bukunya. Sedari tadi ia menyelesaikan tugas-tugas dan menuliskan segala keluh kesah yang ia rasakan beberapa waktu terakhir ini. Nafisa tidak begitu suka bercerita tentang keadaannya kepada teman-temannya. Ia lebih senang mengungkapkan melalui goresan-goresan di lembaran bukunya.
Di tengah kesunyian malam inilah, Nafisa leluasa menuliskannya. Walau terkadang merinding sendiri dengan suara-suara aneh dari luar sana, Nafisa tidak menghiraukannya. Bagi Nafisa asalkan pintu kamar terkunci dengan benar dan apapun yang ia dengar tidak menampakkan wujud aslinya. Itu semua tidak mengapa.
“Ah, sudahlah, mereka juga makhluk Allah, bukan?” Bathin Nafisa meyakinkan dirinya.
“Astaghfirullahal ‘azhiim” Nafisa terperanjat kaget karena tiba-tiba kucing mengeong dengan kuat di depan pintu kamarnya.
Tanpa mau menghiraukan kucing itu lagi, Nafisa meneruskan kembali aktivitasnya. Ia menuliskan apa saja yang ia rasakan agar kelegaan memenuhi hati dan pikirannya.
Beberapa menit kemudian kantuk baru menyerangnya, tetapi Nafisa tidak langsung tidur. Nafisa membiasakan diri untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum tidur karena itu salah satu sunnah Rasulullah yang ia simak dari ustad di kelas pada waktu belajar Fiqih tentang bab wudhu.
Nafisa menutup buku dan merapikan meja belajarny, lalu ia simpan buku-buku serta tugas untuk dibawa ke sekolah besok di dalam tas warna coklat kesayangannya. Kemudian, Nafisa berdiri dan memutar kunci pintu perlahan.
Di luar, udara dingin menusuk tulang, angin sepoi-sepoi melambaikan daun-daun jambu yang tumbuh tepat di pojok kiri dari aula asrama. Tampak dari teras kamar Nafisa sebuah bangku panjang dari bambu di bawahnya karena siang atau sore hari sebagai tempat nongkrong favorit penduduk asrama putri di sana. Setelah meregangkan tubuh sembari menyaksikan bulan sabit yang tersembul dari arah sudut atap gedung, dengan santai ia berjalan ke kamar mandi melewati tiga kamar lainnya. Semua penghuni asrama benar-benar dalam tidur pulas, merangkai mimpi-mimpi indah mereka masing-masing, termasuk guru pembinanya.
Beberapa waktu lalu seniornya pernah bilang bahwa mereka mendengar suara-suara aneh di tengah malam. Kala itu, mereka sedang asyik bermain congklak dengan teman sekamar di kamar nomor 7. Entah karena tidak ada kerjaan, atau karena ingin merilekskan otak selesai ujian semester, hingga mereka bermain sampai larut malam. Tepat pukul 00:00 mereka mendengar suara tangisan bayi dan juga gonggongan kalbun dari arah belakang asrama. Akhirnya, mereka sepakat untuk tidur saja setelah memastikan pintu terkunci dan gorden tertutup rapat.
Sejenak Nafisa menghentikan langkahnya, seakan cerita seniornya itu kembali terngiang di telinganya. “Ini juga pukul 00 lewat,” bathinnya. “Bismillah aja dulu” ia meyakinkan hatinya sendiri untuk tetap ke kamar mandi.
Tiba-tiba langkah Nafisa terhenti di depan pintu kamar ketiga dari kamarnya. Ia mendengar siraman air di kamar mandi.
“Ada yang bangun juga ternyata, siapa ya?” gumam Nafisa menerka-nerka sendiri. Kemudian, ia melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi. Membuka pintu kamar mandi perlahan seakan yakin bahwa ada teman lain yang sedang berada di sana, tetapi nihil. Tidak ada tanda-tanda kalau seseorang sedang berada di salah satu bilik tempat mandi tersebut.
“Mungkin aku yang salah dengar, atau aku yang halusinasi kali ya” bathin Nafisa.
Dengan yakin Nafisa melangkah masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi yang luas itu. Terdapat 10 bilik-bilik mandi dan 5 toilet di kamar mandi untuk 75 santri puteri di asrama tersebut.
Hal ini agar santri nyaman mandi secara bergantian setiap harinya. Walaupun antrean, mereka bisa menentukan mau antrean di bilik nomor berapa. Jadi, tidak ada lagi keributan pagi-pagi saat mandi antarsesama santri di sini.
Tanpa memberi aba-aba, seorang perempuan dengan rambut terurai hingga lutut berdiri di depan pintu bilik di mana Nafisa akan berwudhu. Gamis cream tape menjulai ke lantai kamar mandi. Membelakangi pintu bilik yang terbuka lebar itu. Diam tanpa suara. Menyadari ada sesuatu. Dengan ragu, Nafisa menoleh bertepatan dengan Hana yang memutar badan menghadap ke arah Nafisa.
“Ustadzaaaaah!” Teriak Nafisa terperanjat kaget. Ia sedikit syok dan nyaris jantungan.
“Yaa Allah, Dzah. Kenapa Dzah diam saja dari tadi? Ana kira tadi ada apa-apa di dalam kamar mandi in,” ucapnya tanpa jeda sambil memegang tangan Ustadzah Hana sembari mengerucutkan bibirnya.
“Haha, anti malam-malam kenapa sendirian ke kamar mandi? Apa anti belum tidur sejak tadi?” Ucap Hana sambil tersenyum.
“Ana belum bisa tidur Dzah. Habis menyelesaikan PR dan mau berwudhu ini, Dzah. Dzah belum tidur juga kah atau udah bangun tidur mau shalat malam?”
“Belum tidur, habis menyelesaikan tugas kuliah dan menulis beberapa paragraf singkat,” jawab Hana sambil menyiramkan air ke tangan dan kakinya.
Sebelum Nafisa datang, Hana sudah terlebih dahulu berada di salah satu bilik kamar mandi tersebut. Menyadari ada yang memasuki kamar mandi juga, ia melangkah pelan keluar dan berdiri di depan pintu bilik yang terbuka lebar di mana Nafisa akan berwudhu.
Sengaja Hana diam tanpa berdehem. Ia tahu bahwa Nafisa bukan anak yang suka begadang tanpa alasan selama ini. Nafisa anak yang sopan dan patuh. Kali ini, ia mau sedikit mengusili saja. Ternyata reaksi Nafisa memang sesuai dugaannya. Ia kaget bukan kepalang.
Hana salah satu pembina asrama yang pengertian, lembut, dan ramah. Ia masih kuliah di salah satu Institut Negeri Islam terkemuka di kota tersebut. Saat ini masih menduduki semester 6. Tamat dari pondok pesantren tersebut ia langsung diminta pihak yayasan untuk mengabdi sebagai pembina asrama karena dia dinilai tepat untuk mengayomi adik-adik tingkatnya itu.
Hana juga santri berprestasi dengan segudang pernghargaan selama mondok di sana. Wajar jika ia dipercayai menjadi ketua bagian asrama sejak 2 tahun ini dan juga mengampu beberapa mata pelajaran yang ia sanggupi. Setelah keduanya selesai berwudhu, Nafisa dan Ustadzah Hana berjalan beriringan keluar dari kamar mandi dengan wajah tenang.
“Jangan lupa, witir dan membaca surat Al-Mulk dulu ya,” pesan Hana sebelum akhirnya mereka berpisah menuju kamar masing-masing.
“Siaap Dzah,” sahut Nafisa tersenyum lega.
Biodata Penulis
Fitria Sartika akrab disapa Fitria/Fit. Ia merupakan salah satu pengurus FLP Sumbar. Perempuan kelahiran 1993 ini juga sebagai founder Forum Literasi Mahasiswa Pascasarjana (FLMP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Alumni Pascasarjana UM Sumbar ini telah menerbitkan beberapa artikel di jurnal nasional dan internasional. Karyanya dapat diakses di akun GS: Fitria Sartika, Researchgate: Fitria Sartika. Penulis dapat dihubungi melalui surel fitriasartika22@gmail.com, IG: fitriasartika24oke, Fb: Fitria Sartika Panai, dan WA: 0853 5537 7868.
Benturan Kenyataan dan Imajinasi sebagai Pembentuk Konflik
Oleh: M. Adioska
(Anggota Forum Lingkar Pena Sumbar dan Guru di Bukittinggi)
Sudah sangat jamak diketahui bahwa sebuah cerita pastilah dibangun oleh beberapa unsur instrinsik. Salah satu unsur intrinsik yang cukup penting, terutama dalam cerpen, adalah alur. Alur dikatakan cukup penting karena ukuran cerita dalam sebuah cerpen relatif pendek sehingga bagaimana pun seluruh rangkaian cerita harus tersusun sedemikian rupa supaya terbentuk sebuah kisah yang runut dan dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca.
Menurut Andri Wicaksono (2014) alur cerita merupakan konstruksi yang dibuat mengenai sebuah deretan peristiwa secara logik dan kronologik yang saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa yang mengikat sebuah alur adalah peristiwa yang logik dan kronologik. Artinya, pilihan menggunakan berbagai macam jenis alur, apakah alur maju, alur mundur, ataupun alur campuran tidak menjadi masalah selama hal itu bersifat terterima oleh akal dan urutan penceritaanyang jelas.
Di dalam alur, tokoh dalam cerita akan diberikan konflik yang harus dihadapinya. Para ahli sastra seringkali menggambarkan alur seperti sebuah gunung dimana konflik awalnya bergerak mendaki. Kemudian pada suatu titik akan mencapai puncak tertinggi di mana benturan akan terjadi dan akan membuka suatu kesadaran baru pada karakter utamanya. Pada titik inilah terjadi klimaks pada sebuah cerita.
Tentang klimaks dalam sebuah cerita, Rachel Ballon (2005) mengungkapkan bahwa terdapat tiga elemen penting dalam sebuah klimaks cerita yaitu (1) karakter utama harus mengalami perubahan, (2) karakter mendapatkan pemahaman baru atau menemukan sesuatu yang baru tentang dirinya atau orang lain yang beleum diketahui sebelumnya, dan (3) dalam terminologi psikologis, karakter mengalami sebuah katarsis atau mendapatkan pandangan baru tentang dirinya.
Terlepas dari pemaparan di atas, kolom Kreatika minggu ini menyajikan sebuah cerpen yang berjudul “Tabir Malam di Pondok Santri” karya Fitria Sartika. Cerpen ini menceritakan tentang sepotong kisah seorang santri bernama Nafisa. Ceritanya bermula ketika Nafisa, si tokoh utama, mulai terbiasa tidur larut malam. Ia sendiri tidak menyadari sejak kapan kebiasaan begadangnya dimulai. Saat teman-temannya yang lain terbuai dalam mimpi, Nafisa justru akan mengerjakan tugas dan mencoretkan segala keluh kesah di bukunya. Suatu ketika, saat malam telah terlalu jauh meninggalkan senja, bahkan hampir mendekati tengah malam, rasa kantuk pun mulai menyerang Nafisa. Namun sesuai kebiasaannya, sebelum tidur, Ia akan berwudhu terlebih dahulu. Saat menuju ke tempat berwudhu, ia teringat teman-temannya yang pernah bercerita tentang hal-hal yang menakutkan sekitar kamar mandi. Ketika di kamar mandi, Nafisa memang dikejutkan oleh seorang perempuan dengan rambut terurai hingga lutut yang berdiri di depan pintu bilik dimana Nafisa akan berwudhu. Sosok yang mengejutkan Nafisa tersebut ternyata Ustadzah Hana, salah seorang pembina asrama yang pengertian, lembut, dan ramah hingga pada akhir cerita, Nafisa dan Ustadzah Hana kembali ke kamar masing-masing. Setelah keduanya selesai berwudhuk, Nafisa dan Ustadzah Hana berjalan beriringan keluar dari kamar mandi dengan wajah tenang.
Secara keseluruhan, cerpen ini disajikan dengan gaya bahasa yang ringan. Penyajian cerita pun seakan mengalir apa adanya. Hal ini menjadikan para penikmat cerpen mudah memahami isi cerita dengan hanya sekali baca. Meskipun ada beberapa kata sapaan atau kata ganti bahasa Arab yang diselipkan, hal itu tampaknya masih bisa ditolerir dalam cerpen ini, lantaran istilah tersebut sudah lumrah digunakan dalam masyarakat. Lagi pula, jika penggunaan istilah Bahasa Arab tersebut dimaksudkan penulis untuk penanda bahwa cerita tersebut terjadi di sebuah pondok pesantren, tampaknya penulis sudah berhasil mencapai tujuannya. Dengan menggunakan istilah dari bahasa Arab tersebut, suasana pondok pesantren yang ingin dibangun penulis menjadi terasa sangat kental.
Selain itu, gambaran berupa pemondokan santri juga digambarkan penulis dengan gamblang. Mulai dari suasana malam, pembagian bilik mandi beserta kapasitasnya hingga pada suasana di pemondokan tersebut. “Terdapat 10 bilik-bilik mandi dan 5 toilet di kamar mandi untuk 75 santri puteri di asrama tersebut. Hal ini agar santri nyaman mandi secara bergantian setiap harinya. Walaupun antrean, tetapi mereka bisa menentukan mau antrean di bilik nomor berapa. Jadi, tidak ada lagi keributan pagi-pagi saat mandi antar sesama santri di sini.”
Namun di sisi lain, jika mengacu pada teori sebelumnya, tampaknya cerita kali ini belum berhasil mencapai klimaks ceritanya. Dalam bentuk sederhananya, cerpen Tabir Malam di Pondok Santri ini hanya berkisah tentang seorang santri bernama Nafisa yang kesulitan tidur. Ketika ia mulai merasa mengantuk saat tengah malam, ia menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Di sana, ia dikagetkan oleh Ustadzah Hana. Setelah itu, mereka berdua kembali ke kamar masing-masing. Nafisa sebagai karakter utama tidak mengalami perubahan, baik perubahan dalam rangka mendapatkan pemahaman baru atau perubahan kesadaran akan dirinya sendiri. Semua kejadian -yang bisa dianggap sebagai konflik pada malam tersebut berlalu begitu saja. Jika dibawakan dalam kehidupan nyata, kejadian seperti dalam cerpen ini adalah hal yang lumrah, bahkan sering menjadi bahan candaan bagi anak sesusia Nafisa.
Hal serupa inilah yang kiranya disampaikan oleh Jamal D. Rahman (Majalah Horison, edisi Oktober 2011) dalam salah satu ulasan cerpennya. Ia mengungkapkan bahwa kenyataan sehari-hari seringkali merangsang imajinasi seorang sastrawan dan dengan imajinasinya sang sastrawan mengemukakan pikiran, perasaan, dan bahkan sikapnya terhadap kenyataan itu sendiri.
Pada cerpen “Tabir Malam di Pondok Santri” dapat dilihat bahwa kehidupan santri di pondok pesantren dengan semua romantikanya adalah hal yang nyata adanya. Pun dengan kejadian-kejadian antarsantri adalah hal yang lumrah, bahkan cenderung menjadi asam garam serta kenangan manis yang akan sulit terlupakan. Dibalik itu semua, untuk mengangkat potongan kejadian tersebut menjadi sebuah cerita pendek atau bentuk cerita lainnya, dibutuhkan imajinasi serta proses kreatif dari penulisnya. Benturan antara kenyataan dengan imajinasi penulis akan menimbulkan konflik yang akan mendatangkan kesadaran, bahkan memunculkan nilai yang bisa diambil oleh pembaca. Barangkali, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk adalah contoh nyata di mana kenyataan dan imajinasi penulis bertemu dan membentuk sebuah cerita yang monumental. Kenyataannya adalah bahwa Kapal Van Der Wijk, salah satu kapal uap mewah milik Belanda ini benar-benar tenggelam di Laut Jawa pada tahun 1936. Imajinasinya terletak pada kisah cinta Zainuddin dan Hayati lengkap dengan latar belakang budaya sebagai penujangnya.
Akhirnya, selamat kepada Fitria Sartika yang telah melahirkan sebuah karya berupa cerpen. Teruslah berproses dan mengembangkan imajinasi untuk merangkai cerita-cerita yang lebih menarik dan bermakna. Sebab salah satu kekuatan tulisan sejenis fiksi bersumber dari imajinasi dan proses kreatif penulisnya.
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com
Discussion about this post