Jakarta, Scientia.id – Bayangkan dua orang dengan menu makanan yang sama setiap hari. Satu terbiasa menyantap porsi besar saat sarapan dan makan siang, sementara yang lain lebih suka makan besar menjelang larut malam. Meski jumlah kalorinya sama, penelitian menunjukkan berat badan keduanya bisa sangat berbeda.
Riset terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Obesity mengungkap, keterlambatan waktu makan berhubungan erat dengan peningkatan risiko obesitas. Setiap kali seseorang menunda jam makannya rata-rata satu jam lebih lambat, peluang kenaikan berat badan akan meningkat seiring waktu.
Collin Popp, ahli gizi dari NYU Grossman School of Medicine, menjelaskan bahwa tubuh manusia memiliki ritme biologis yang lebih optimal bekerja di siang hari. “Tubuh lebih sensitif terhadap insulin di pagi dan siang, sehingga makanan lebih mudah diolah menjadi energi. Jika kalori besar justru dikonsumsi malam hari, metabolisme akan terganggu,” jelasnya.
Itu sebabnya, para peneliti menyarankan agar porsi makan terbesar ditempatkan pada sarapan (25–40 persen) dan makan siang (30–40 persen). Sementara makan malam cukup ringan, sekitar 15–20 persen dari total kalori harian, ditambah camilan sehat di sela waktu. Pola ini membantu mengendalikan gula darah, menjaga energi, sekaligus menekan rasa lapar berlebih pada malam hari.
Bukti jangka panjang pun mendukung. Studi terhadap 1.100 orang dewasa di Spanyol menemukan, mereka yang konsisten makan lebih awal mampu mempertahankan berat badan turun hingga 12 tahun setelah program diet. Sebaliknya, yang terbiasa makan lebih lambat justru kembali mengalami kenaikan, rata-rata 2,2 persen.
Baca Juga: Sarapan Pagi dan Langkah Awal yang Penuh Energi
Meski demikian, strategi ini bukan aturan kaku. Gaya hidup, pekerjaan, hingga faktor genetik bisa membuat setiap orang butuh penyesuaian berbeda. Namun, prinsip sederhana ini bisa jadi panduan: perbanyak makan di pagi–siang, kurangi di malam hari. Dengan begitu, risiko obesitas dapat ditekan tanpa harus mengubah menu secara drastis. (*)