AGAM, Scientia.id – Dalam 2 diskusi panel, Bawaslu Kabupaten Agam membedah putusan MK 135 terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal dalam rangkaian kegiatan “Rekonstruksi Kewenangan Bawaslu Dalam Pengawasan dan Penegakan Hukum Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi 135” Senin, (11/08) di Hotel Sakura Syariah, Lubuk Basung.
Pada diskusi panel pertama bertindak sebagai moderator yaitu Rendi Oktafianda, Koordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Agam. Menjadi panelis dalam kegiatan ini yaitu Dr. Khairul Fahmi, SH. MH dari Departemen Hukum Tata Negara Unand, Andri Rusta, S.IP, M.PP dari Departemen Ilmu Politik Unand, dan Syafrida Rachmawati Rasahan, SH, MH Ketua Bawaslu Provinsi Sumatera Utara Periode 2013-2018 dan 2018-2023.
Khairul Fahmi melihat adanya perubahan pendekatan yang dipakai Mahkamah Konstitusi dalam pengambilan keputusan dari pendekatan tekstual ke pendekatan kontekstual. Secara ilmu konstitusi menurutnya tidak ada masalah dengan putusan MK tersebut. Mahkamah Konstitusi memiliki pertimbangan sebagai berikut dalam membuat keputusan—kepentingan pemilih, kepentingan peserta pemilu, kepentingan penyelenggara pemilu, dan isu pembangunan daerah.
Sementara itu, ia mengakui adanya dampak transisi yaitu aturan peralihan yang memiliki fungsi memberikan kepastian hukum dari peraturan lama ke baru. “Putusan MK punya kekuatan mengikat dan final. Kita serahkan kepada DPR sebagai pembuat kebijkan untuk mengatur transisi tersebut. Harapannya, putusan ini dilaksanakan dan segera dibentuk Undang-Undang.”
Sementara itu, Syafrida Rachmawati Rasahan memulai dengan sebuah pertanyaan tentang apakah masyarakat sipil melihat kebutuhan pemisahan pemilu yang tertuang dalam putusan MK 135 ini. Sebagai pengamat pemilu, ia menjelaskan sudut pandangnya saat mengamati Pemilu 2024 di Sumatera Utara. Dinamika Pemilu 2024 dianggap sangat brutal bagi peserta pemilu, penyelenggara, dan pemilih. Ia melihat dari praktik politik uang dan dari segi aturan yang berubah selama penyelenggaraan pemilu dan pemilihan. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kualitas demokrasi perlu perbaikan proses pemilu.
Hal ini juga disetujui oleh Andri Rusta yang membahas tentang efek ekor jas dalam politik uang yang dilakukan peserta Pemilu 2024. Dalam politik uang, dukungan ‘sepaket’ calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota kerap ditemukan. Jika pemilu dipisah maka pola tersebut akan berubah dan politik uang diharapkan bisa menurun.
Panel kedua dimoderatori oleh Koordinator Divisi Pencegahan, Parmas dan Humas, Yuhendra. Kegiatan bedah Putusan MK ini mendapat apresiasi Aidil Aulya sebagai kegiatan yang mengasah nalar politik terlebih melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Terdapat pendekatan untuk melihat faktor di balik adanya perubahan desain sistem pemilu. Ia mengemukakan hal tersebut merupakan pendorong putusan MK 135. Perubahan desain sistem pemilu tersebut perlu memperhatikan 3 stakeholder pemilu yaitu penyelenggara, peserta pemilu, dan pemilih. Aidil melihat hal tersebut telah menjadi pertimbangan putusan MK 135.
Sementara itu, Koordinator Tenaga Ahli Komisi II DPR RI Abrar Amir yang hadir mengatakan permasalahan pada Pemilu sebelumnya akan menjadi catatan bagi Komisi II DPR RI sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan kedepannya. Ia berkesimpulan Putusan MK 135 membuka ruang baru sekaligus tantangan bagi masa depan demokrasi Indonesia.

