Rabu, 28/5/25 | 00:05 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI KREATIKA

Cerpen “Seberkas Titik yang Masih Tertinggal” Karya Arifah Prima Satrianingrum dan Ulasannya oleh Azwar

Minggu, 25/5/25 | 09:15 WIB

Seberkas Titik yang Masih Tertinggal

Cerpen Oleh: Arifah Prima Satrianingrum

 

Siang itu, matahari dengan terik mengambang di Padang. Ruas-ruas lambung menggelitik meminta segera makan. Rasanya dahaga ini akan menjadi nyaman jika diisi dengan minuman yang mengembun dipermukaan. Tapi lagi-lagi, bayangan nasihat Amak selalu terkenang, “Nur, jangan minum yang dingin-dingin. Minum air putih itu sudah paling bagus.” Akhirnya Nur mengurungkan niatnya untuk memesan minuman yang berwarna-warni itu.

“Ayam lado hijau dan belut lado hijau, makan disini ya, Da”.

BACAJUGA

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Minggu, 11/5/25 | 07:10 WIB
Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Minggu, 04/5/25 | 08:40 WIB

“Ayam lagi ayam lagi. Haha.” Nur menggoda Uda Rahim. Menu kesukaan Uda adalah ayam. Kalau bosan ayam, Uda akan memesan ikan nila. Hal kecil itu menjadi bagian favorit Nur dalam mengingat Uda Rahim.

“Betul betul betul.” Uda juga menyambut tawa Nur dengan menirukan suara Upin Ipin yang juga menyukai ayam. Tawa Nur bersama Uda Rahim selalu tumpah. Ia selalu menikmati momen saat bersama Uda Rahim.

“Tidak ada jam mengajar lagi nanti, Uda?” tanya Nur sambil mengisi air ke dalam gelas yang sudah disediakan pemilik warung.

“Hari ini sudah cukup jam mengajar Uda, Nur.” Ucap Uda Rahim sambil mengambil buku bacaannya yang belum dilanjutkan.

“Mengajar tentang apa tadi, Da?” Nur selalu penasaran tentang apa yang diajarkan oleh Uda Rahim di sekolah.

“Belajar tentang, ‘dimano titiak palito, di baliak telong nan batali. Dari mano tumbuahnyo cinto, dari mato turun ka hati[1].” Jawab Uda Rahim sumringah menggoda Nur.

“Hahaha. Itu belajar tambo Minangkabau atau tambo cinta, Da? Hahaha.” Derai tawa selalu membuncah jika Nur bersama Uda Rahim.

Uda Rahim adalah guru honorer di sekolah negeri kota Padang. Ia mengajar mata pelajaran muatan lokal Budaya Alam Minangkabau. Selain itu Uda Rahim juga sering menulis, ia mengirimkan tulisan, tajuk dan puisinya ke media massa. Tumpukan buku-buku sangat banyak menyelimuti lemari.

“Nur, bagaimana Sabtu pekan ini kita ke arah Alahan Panjang, Nur?”

“Wah, tampaknya seru, Uda. Destinasi arah Alahan Panjang tidak pernah membosankan.” Semangat Nur menggebu-gebu jika mengingat Alahan Panjang. “Entah kenapa mie yang dekat kebun teh itu enak ya, Da, beda dari mie yang lain.” Sambung Nur.

“Kamu ini, Nur, jangan mie terus-terusan. Ingat kata amak.”

“Hahaha. Iya, Uda. Alahan Panjang begitu memesona, Da. Hanya saja jalanan yang menuju kampung Uda ke arah Air Dingin cukup rawan sekali ya, Da. Padahal disana bagaikan potongan surga.” Nur membayangkan potongan surga itu.

Uda Rahim mengingat jalanan arah kampungnya. Disana ada tambang pasir, sehingga penguasa dengan seenaknya mengambil tanpa mempedulikan keamanan jalanan disana. Kalau musim hujan tiba, tebing-tebing bisa menjadi longsor dan jalanan bolong dihiasi dengan air menggenang. Walaupun rawan, pemandangan bukit-bukitnya seperti potongan surga yang diperlihatkan.

Nur dan Uda Rahim sudah menjalani tali kasih dua bulan belakangan ini. Mereka berkenalan karena projek bersama petani di ujung kota. Nur suka cara pikir Uda Rahim. Nur pernah bertanya kepada Uda Rahim apa yang membuat Uda Rahim menyukai Nur, Uda Rahim menjawab karena sifat Nur yang keibuan. Semburat merah menghiasi pipi Nur saat Uda menjawab seperti itu.

Pernah suatu waktu Nur mengajak Uda Rahim untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Uda Rahim dengan pembawaan yang tenang menjawab, “Uda paham yang Nur rasa. Nur butuh kepastian, bukan? Uda hanya guru honorer, Nur. Masih ada tanggungan adik Uda dikampung yang sedang sekolah. Uda sedang berpikir kedepannya, setidaknya kita punya bekal setelah menikah nanti. Nur, dikampung Uda ada adat yang mengharuskan mengundang ninik mamak. Saat ini belum cukup bekal Uda.” Jawab Uda Rahim menimbang-nimbang.

Nur dengan gundah gulana menerima jawaban Uda Rahim. Uda Rahim sudah membutakannya tentang cinta. Dulu Nur adalah tipikal perempuan yang tidak mengenal jalinan kasih dengan siapapun karena nasihat gurunya saat SMA. Tapi entah kenapa, pesona Uda Rahim sangat berbeda baginya, hingga melupakan nasihat yang sudah dititipkan.

Suatu waktu, Uda Rahim dan Nur pergi ke Sungai Batang, Agam. Mereka melintasi danau Maninjau yang indah untuk menuju museum Buya Hamka. Di perjalanan Nur berdiskusi dengan Uda, “Uda, kata Buya Hamka, kita akan menemukan apa yang kita cari, Uda.”

“Lantas apa maksud Nur?”

“Nur merasa perjalanan kita bersama petani kemarin itu karena apa yang Nur cari, Uda. Ternyata selain menemukan sudut pandang yang elok dari petani diujung kota itu, bonusnya Nur juga menemukan Uda.” Ungkap Nur dengan gaya to the point-nya.

“Hahaha. Eh, ada yang jual gorengan disana, beli dulu yuk.” Ujar Uda Rahim tanpa merespon apa yang diungkapkan Nur. Uda Rahim selalu begitu, susah ditebak bagaimana perasaannya. Tapi kalau soal pemikiran, Uda Rahim selalu punya wawasan yang luas untuk dijadikan bahan diskusi.

“Etek, beli gorengan sepuluh ribu, campur ya, Tek. Tapi rahasia.” Ujar Uda Rahim.

Nur langsung mengernyitkan dahi. Begitupun etek penjual gorengan.

“Rahasia gimana, Nak?” tanya etek yang kebingungan.

“Iya, rahasia, Tek, jangan dikasih tahu.” Uda Rahim menjawab datar.

Satu detik, dua detik, setelah mencerna jawaban Uda Rahim, tawa Nur dan etek penjual gorengan tumpah bersamaan. Uda Rahim memang selalu bisa mencairkan suasana.

Usai berkeliling-keliling di museum Buya Hamka, Nur dan Uda Rahim istirahat makan siang di kedai perlintasan kelok 44. Sungguh elok pemandangan danau Maninjau dari atas sana. Rasa melihat lukisan yang dipamerkan Tuhan nan rupawan. Gradasi, tumpahan warna, bukit, langit dan genangan air danau terlihat begitu memesona.

“Uda, pernah baca novel tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Buya Hamka tadi?” tanya Nur.

“Pernah, Nur. Romantisme dan kesedihannya sungguh membuat Uda tertarik untuk membacanya berkali-berkali.” Ujar Uda Rahim sambil menyantapi nila bakar yang dipesannya.

“Uda, kenapa ya, Da, cinta itu membutakan?”

“Membutakan bagaimana, Nur?” Uda Rahim seperti perlu penjelasan lebih dalam.

“Kisah Zainuddin dan Hayati, membuat Zainuddin sakit karena cinta yang meninggalkannya. Kisah Laila dan Majnun, membuat Majnun menjadi gila karena Laila. Cinta memang luas sudut pandangnya, Da. Hanya saja, cinta begitu ya, Da, membuat kita buta terhadap apa yang dicintai.”

“Seperti kamu kepada Uda, bukan?” goda Uda Rahim kepada Nur.

“Apa sih, Uda.” Nur pun tersipu atas godaan Uda.

“Setidaknya, Nur belajar untuk tidak berlebihan atas apa yang dicintai. Karena, toh, semuanya bukan milik kita. Hal yang berlebihan membuat kita menjadi tidak ingin merasa kehilangan.” Uda Rahim selalu saja dengan kalimat yang membuat perasaan Nur naik turun.

“Uda tahu? Cinta memang pekerjaan yang menggairahkan, namun disisi lain juga lekat dengan rasa takut. Diantara semua ketakutan yang Nur miliki, Nur takut kehilangan.” Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari mulut Nur. Nur memang tipikal yang tidak bisa memendam apa yang ia rasa ke Uda Rahim, selalu saja ia menunjukan pesona cintanya pada Uda Rahim yang mungkin belum tentu jadi miliknya.

***

Nur, aku dan Pak Asfi tadi lihat kamu lewat depan surau boncengan sama laki-laki. Pak Asfi cuma bilang, ‘tolong ingatkan Nur sumbang nan duo baleh[2] yang sudah sama-sama dipelajari’. Gitu, Nur. Aku hanya menyampaikan pesan Pak Asfi.

Pesan dari Tika membuat Nur terkejut. Padahal ia sudah memakai masker untuk keluar saat boncengan agar tidak dikenali. Bukan malu dengan Uda Rahim, hanya saja Nur dikenal di lingkungan pertemanannya sebagai perempuan yang paham agama dan adat, sehingga ia akan canggung bertemu dengan orang yang dikenal jika berboncengan dengan laki-laki asing. Pak Asfi guru mengaji Nur membuat ia langsung tertegun. Sungguh Pak Asfi ingin murid-muridnya tetap di jalan dakwah yang benar.

Aku dan Pak Asfi paham, kok, kita sudah sama-sama dewasa. Hanya saja, Nur, carilah keberkahan disegala situasi. Baik mencari rezeki ataupun mencari jodoh. Kok habih raso jo malu, bak kayu lungga pangabek[3], Nur.

Jleb. Nur tidak bisa mencari alasan lain. Kalimat ini sudah sangat menampar. Teringat dia saat bersama Uda Rahim, jalan berdua tanpa ada perantara atau kawan yang menemani. Sumbang bagaua dan sumbang bajalan pelajaran yang paling ia hafal.

***

Sayup-sayup ceramah dari surau terdengar sampai di rumah. Nur yang sedang memasak juga ikut mendengar.

Sungguh Allah sudah menciptakan kita dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Lalu Allah akan mengembalikan kita ke tempat yang serendah-rendahnya. Ke tempat yang hina. Kenapa? Karena nafsu kita. Karena kelalaian kita. Manusia paham yang baik dan salah, tapi mata mereka dibutakan, telinga mereka ditulikan..

Dari ceramah itu, Nur terdiam dan terpaku sejenak. Dia memikirkan dan merenungi ceramah yang disampaikan pak Asfi tadi. Sayup-sayup suara pak Asfi menusuk sukma. Bagaimana mungkin ceramah tadi berkorelasi dengan apa yang selama ini Nur pikirkan. Ia selalu berpikir tentang dosa, tapi tetap pergi berduaan dengan Uda Rahim. Selama ini ia selalu shalat taubat, namun tetap saja mengulangi dosa. Ia paham betul dengan ceramah Pak Asfi, namun jika berpisah dengan Uda Rahim, ia takut tidak menemukan orang seperti Uda Rahim.

Semalaman suntuk ceramah Pak Asfi mengaung dipikiran Nur. Coretan kertas dan buku menggusik minat Nur malam itu. Ia mencoba menuliskan kata-kata untuk Uda Rahim. Setelah dipikir dengan matang, Nur menuliskan sebuah pesan untuk Uda Rahim.

Uda, pertemuan dengan Uda begitu membahagiakan, hanya saja ini semu, Da. Nur, ingin mencari kebahagiaan nan abadi hingga syurga-Nya. Uda, Nur paham dengan ketidaksiapan Uda dalam menjalin hubungan ini ke jenjang yang serius. Tapi, Uda, Nur juga malu dengan ilmu yang Nur punya, paham agama dan adat namun tidak melaksanakan dan mengamalkannya. Uda, Nur percaya, jika kita ditakdirkan akan bertemu jua.

Pesan itu segera dikirimkan Nur melalui Whatsapp kepada Uda Rahim. Centang biru sudah mewarnai kolom percakapan Nur dan Uda Rahim. Terlihat Uda Rahim mengetik.

Uda paham sekali Nur butuh kepastian. Seperti yang sudah Uda bilang lalu, Uda belum mampu dalam masalah finansial. Doa terbaik untuk Nur selalu Uda langitkan. Mohon maaf untuk semuanya ya.

Nur menyeka air yang membasahi pipinya. Benar saja, wanita selalu kalah dengan perasaan. Gejolak rasa dan ego yang dilawan oleh Nur. Kali ini Nur bersandar pada prinsip dan nasihat yang sudah diterimanya lalu. Walau dalam hati Uda Rahim masih menjadi yang terdepan.

Selang dua minggu kemudian, tampak oleh Nur sesosok pemuda yang ia cintai sedang memboncengi perempuan lain. Perih dan pedih. Namun apa daya, pemuda tadi adalah Uda Rahim bukan lagi siapa-siapanya. Benar kata Pak Asfi, “jangan main api kalau tak ingin terbakar. Jangan pacaran kalau tidak ingin ujungnya patah hati. Dalam mulo, akhie mambayang. Dalam baiak, kanalah buruak. Dalam galak, tangih kok tibo.” (dalam permulaan, akhir membayang. Dalam baik, ingatlah buruk. Dalam tertawa, tangis datang).

Apapun itu, Nur masih terkenang ucapan Uda Rahim, “jangan mencintai terlalu berlebihan.” Saat ini Nur hanya bisa berharap kepada Yang Kuasa tentang jalan yang terbaik untuknya. Persoalan Uda Rahim dan hatinya, biarlah Tuhan yang melanjutkan skenarionya.

***

[1] Dimana titik pelita, di balik telong yang bertali. Dari mana tumbuhnya cinta, dari mata turun ke hati

[2] Sumbang nan duo baleh adalah peraturan tidak tertulis dalam adat Minangkabau yang berisi tentang tata krama dan nilai sopan santun

[3] Jika habis rasa dan malu, bagaikan kayu yang pengikatnya longgar

Tentang Penulis

Arifah Prima Satrianingrum, gadis Minang bersuku Chaniago yang tertarik dalam dunia kepenulisan. Ia bermimpi untuk menjadi salah satu penulis yang termasyur berasal dari Ranah Minang. Kegiatan sehari-harinya mendidik dan mencerdaskan para generasi bangsa. Selain itu, ia juga belajar bagaimana mendidik diri sendiri dengan mempelajari apapun. Alam Takambang Jadi Guru, prinsip yang ia pegang.


 

Cinta, Kehormatan, dan Pertarungan Nilai dalam “Seberkas Titik yang Masih Tertinggal” Karya Arifah Prima Satrianingrum

Azwar
Oleh: Azwar

(Pengasuh Kolom Kreatika)

Karya sastra –termasuk cerpen- walaupun merupakan karya kreatif yang imajinatif namun tetap bisa dilihat dengan menggunakan pisau analisis ilmiah. Salah satunya adalah dengan pendekatan strukturalisme.

M.Syaom Barliana dalam artikel berjudul “Semiotika tentang Membaca tanda-Tanda” (2008) menyampaikan bahwa pendekatan strukturalisme atas kebudayaan dikenal pada periode tahun 1950-an, dengan dua tokoh utama yaitu Levi-Strauss dan Roland Barthes, serta kemudian Charles Sanders Peirce dan Marshall Sahlins. Strukturalisme adalah aliran pemikiran yang secara ilmiah (objektif, ketat, berjarak), mencari struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan.

Kreatika edisi ini menayangkan cerpen berjudul “Seberkas Titik yang Masih Tertinggal” karya Arifah Prima Satrianingrum. Cerpen ini adalah sebuah narasi yang menyentuh tentang cinta yang tumbuh di tengah aturan adat dan agama, serta kebingungannya antara nafsu dan nilai yang ditanamkan oleh lingkungan. Kisah ini tidak hanya menceritakan tentang hubungan romantis, tetapi juga menyuguhkan pergulatan batin tokoh utamanya, Nur, yang dihadapkan pada dilema antara perasaan dan prinsip moral yang diajarkan oleh orang-orang terdekatnya.

Cerpen ini membuka lapisan-lapisan dalam teks yang menggambarkan pertarungan internal seorang individu dalam berinteraksi dengan norma sosial dan agama. Nur, sebagai tokoh utama, mengalami kecemasan mendalam tentang jalinan cintanya dengan Uda Rahim, seorang pria yang dia cintai namun tidak dapat memberikan kepastian dalam hubungan mereka. Ketegangan antara cinta yang mendalam dan kesadaran akan nilai-nilai moral menjadi benang merah dalam cerita ini.

Nur, yang terbiasa hidup dalam batasan ketat adat dan agama, merasa terjebak dalam konflik antara harapan untuk mendapatkan kepastian cinta dan nasihat yang dia terima dari gurunya, Pak Asfi, yang selalu mengingatkan tentang pentingnya menjaga kehormatan dan menghindari perasaan berlebihan dalam hubungan. Dalam kalimat-kalimat ceramah Pak Asfi yang sering terngiang, kita dapat melihat bagaimana Arifah menggambarkan ketegangan antara ajaran agama dan realitas sosial yang membuat Nur merasa tidak aman dengan pilihannya. Keinginan untuk menyelaraskan kehidupan cinta dengan prinsip-prinsip moral ini akhirnya memunculkan pertanyaan eksistensial bagi Nur: Apakah cinta yang tulus harus mengorbankan kepastian masa depan?

Strukturalisme Barthes menekankan pentingnya tanda (sign) dan hubungan antara tanda dengan maknanya dalam teks. Dalam cerpen ini, interaksi antara Nur dan Uda Rahim bisa dibaca sebagai tanda-tanda dari pergulatan nilai yang lebih besar. Setiap percakapan, seperti tentang perasaan Nur yang tak terungkapkan sepenuhnya, atau tindakan kecil seperti berboncengan berdua dengan Uda Rahim, menjadi simbol dari benturan antara dunia pribadi dan masyarakat. Namun, seperti yang dikatakan Barthes, makna itu selalu terbuka, bergantung pada perspektif pembaca. Tanda-tanda itu bukan hanya berfungsi untuk menjelaskan hubungan, tetapi juga mengungkapkan ketegangan antara kehidupan pribadi dan ekspektasi sosial.

Cerpen ini juga berhasil menggambarkan dengan sangat baik tema identitas dan norma sosial melalui cara hidup karakter-karakternya yang selalu terikat dengan keyakinan tradisi. Di sini, kita melihat bagaimana Nur merasakan perasaan cinta yang tulus tetapi harus menghadapi kenyataan bahwa perasaannya itu tidak sesuai dengan apa yang dianggap benar oleh masyarakat. Penulis dengan cerdas menyajikan ketegangan ini melalui tokoh Pak Asfi, yang menjadi simbol dari suara tradisi dan agama yang kaku, bertentangan dengan perasaan Nur yang sedang berkembang.

Akhir cerita yang melibatkan keputusan Nur untuk melepaskan Uda Rahim dan fokus pada nilai-nilai yang lebih abadi, menunjukkan kedewasaan karakter yang berkembang. Hal ini juga bisa dilihat sebagai pembelajaran untuk pembaca: bahwa cinta bukan hanya soal memiliki, tetapi juga tentang memahami diri sendiri dan jalan hidup yang lebih besar dari perasaan semata.

Kekuatan dari cerpen ini terletak pada cara penulis menggambarkan konflik internal dengan sentuhan yang sangat halus, memberikan ruang bagi pembaca untuk merenung lebih dalam. Dengan menggali tema tentang moralitas, adat, dan cinta, cerpen ini membuka wawasan tentang bagaimana seorang individu mencoba menemukan jati diri dalam suatu dunia yang penuh dengan ekspektasi sosial yang berat.

Dengan latar budaya Minangkabau yang kental dan penggambaran tentang keraguan batin tokoh utamanya, cerpen ini memperlihatkan nuansa keindahan sekaligus kompleksitas kehidupan yang terjalin antara tradisi, agama, dan cinta. Bagi pembaca yang tertarik pada kisah yang mendalam tentang keputusan-keputusan besar dalam hidup, cerpen ini pasti menawarkan refleksi yang mendalam.

Sebagai sebuah karya kreatif cerpen ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan cerpen ini diantaranya adalah pertama, cerpen ini memiliki penggambaran budaya yang kuat. Cerpen ini sangat berhasil menggambarkan kekayaan nilai adat dan agama Minangkabau tanpa terkesan menggurui. Penulis mampu menanamkan pesan budaya melalui dialog dan suasana, bukan melalui penjelasan panjang yang membosankan. Kedua, cerpen ini disajikan dengan dialog yang natural.  Interaksi antara Nur dan Uda Rahim terasa hidup. Tawa, gurauan, dan percakapan mereka menyentuh sisi realistik tanpa kehilangan nilai sastra. Ini membuat pembaca mudah merasa dekat dan simpati. Ketiga, konflik batin yang relevan dan dalam. Dilema antara cinta dan prinsip adalah tema universal. Cerpen ini mengolahnya dengan cermat dan menyentuh, membuat pembaca larut dalam dilema yang dialami Nur.

Adapun di balik kelebihannya, cerpen ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama,  Penyelesaian cerpen ini yang cenderung terburu-buru. Bagian akhir cerpen yaitu saat Nur memutuskan untuk mengakhiri hubungan dan melihat Uda Rahim bersama perempuan lain terasa agak cepat dan kurang digarap secara emosional. Padahal, potensi dramatiknya besar. Kedua, karakter Uda Rahim kurang mendalam. Meskipun cerdas dan simpatik, karakter Uda Rahim terasa agak datar di bagian akhir cerita. Tidak ada momen refleksi atau konflik internal dari pihaknya, padahal ia juga membawa beban sosial dan ekonomi yang besar. Ketiga, simbolisme belum maksimal dimanfaatkan.
Misalnya, perjalanan ke Alahan Panjang, museum Buya Hamka, dan kelok 44 hanya menjadi latar fisik, padahal dapat diperdalam menjadi simbol transisi atau perenungan yang lebih filosofis.

“Seberkas Titik yang Masih Tertinggal” adalah kisah tentang kekuatan mencintai dengan kesadaran. Sebuah refleksi tentang bagaimana perempuan harus menegakkan prinsipnya sendiri di tengah tekanan emosi dan ekspektasi sosial. Cerpen ini tidak hanya menyajikan drama personal, tapi juga menyentuh pergulatan universal: bahwa cinta kadang harus dikalahkan demi sesuatu yang lebih abadi. Bahwa kadang memilih berpisah adalah bentuk cinta yang paling jujur. (*)

 

Tentang Kreatika

Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.

 

Tags: Arifah Prima SatrianingrumAzwarKreatika
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Fraksi PKB-UMMAT DPRD Kota Padang Tekankan Pentingnya Penguatan Modal dan Pelayanan Bank Nagari

Berita Sesudah

Anggota DPRD Kota Padang, Yosrizal Minta Solusi Humanis Usai Bentrokan Satpol PP dan PKL di Permindo

Berita Terkait

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Minggu, 11/5/25 | 07:10 WIB

Puisi-puisi Farha Nabila   Kanak-Kanak dalam Diri Tatkala kutemukan diriku dalam relung kesepian Yang disana takkan kutemukan dengungan sumpah serapah...

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Minggu, 04/5/25 | 08:40 WIB

Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat Karya: Balqin Adzra   “Silahkan mampir! Kami mempunyai mochi varian baru!” teriak sang penjual...

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Minggu, 27/4/25 | 16:31 WIB

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra   Merindu Nagari Nan Jauh Tiap langkah yang menapak Meninggalkan rindu yang menjejak Risau nan gulandah memenuhi...

Cerpen “Rantau Nan Jauh” Karya Salman Luthfi Al Fayyadh dan Ulasannya Oleh Azwar

Cerpen “Rantau Nan Jauh” Karya Salman Luthfi Al Fayyadh dan Ulasannya Oleh Azwar

Minggu, 20/4/25 | 20:36 WIB

Rantau Nan Jauh Cerpen Karya: Salman Luthfi Al Fayyadh   Kalian tidak akan percaya jika kuceritakan matahari yang mendaki Singgalang...

Puisi-puisi Fatma Hayati dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Puisi-puisi Fatma Hayati dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Minggu, 13/4/25 | 20:49 WIB

Puisi-puisi Fatma Hayati   Daster Ibu Tiba-tiba terdengar suara Kreeekkk..... "Daster ibu sobek" Aku spontan berteriak ke arah ibu Ibu...

Cerpen “Baganti jo Kain Hitam” Karya Athifaleaa dan Ulasannya oleh M. Adioska

Cerpen “Baganti jo Kain Hitam” Karya Athifaleaa dan Ulasannya oleh M. Adioska

Minggu, 30/3/25 | 17:36 WIB

Baganti jo Kain Hitam Karya: Athifaleaa   Di tengah udara yang hangat, di sebuah desa di Minangkabau, kehidupan terasa penuh...

Berita Sesudah
Anggota DPRD Kota Padang, Yosrizal Effendi. [foto : ist]

Anggota DPRD Kota Padang, Yosrizal Minta Solusi Humanis Usai Bentrokan Satpol PP dan PKL di Permindo

POPULER

  • Diduga pelaku penyelundupan 17 paket besar ganja di Agam. [foto : ist]

    Polda Sumbar Gagalkan Penyelundupan 17 Paket Besar Ganja di Agam, Pelaku Dibekuk Saat Dini Hari

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tambang Emas Ilegal di Nagari Padukuan Meresahkan, Warga Minta Petugas Bertindak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keunikan Kata Penghubung Maka dan Sehingga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bupati Dharmasraya Fasilitasi Pertemuan PT BRM dengan Masyarakat Nagari Koto Nan Ampek Dibawuah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024