Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Lebaran di masa kecil adalah kenangan yang tak pernah benar-benar pergi. Kenangan itu berdiam di sela-sela ingatan, seperti aroma kue mentega yang selalu ada di setiap lebaran. Saya masih bisa merasakan degup jantung itu, setiap kali tangan-tangan orang dewasa menggenggam tangan kecil ini, lalu menyelipkan harapan dalam bentuk amplop mungil.
Bagi saya saat itu isi amplop bukan hal sepele, justru sangat penting. Di sana letak inti kegembiraan yang saya tunggu-tunggu. Bukan semata soal nilai uangnya, tetapi tentang harapan-harapan kecil yang bisa diwujudkan darinya.
Sebagai anak-anak, momen bagi-bagi THR adalah puncak dari segala yang ditunggu-tunggu selama Ramadan. Bukan untuk ditabung, apalagi disimpan rapi di celengan, tapi untuk ditukar dengan kebahagiaan yang lebih nyata. Uang lebaran adalah jalan menuju dunia impian masa kanak-kanak. Tentu saja akan saya gunakan untuk membeli pistol-pistolan, mobil-mobilan, atau mainan apa pun yang sebelumnya hanya bisa saya lihat dari balik etalase toko. Setiap lembar yang saya terima terasa seperti hadiah besar.
Saya masih ingat betul saat selesai salat Id dan bersalaman, langsung menghitung “hasil panen” pagi itu. Setelah itu, tanpa banyak basa-basi bergegas menuju tempat favorit saya dan teman-teman, lapak mainan. Menariknya, lapak mainan itu hanya ramai setahun sekali, saat dompet kami mendadak “gemuk” oleh THR. Entah itu toko kecil di pinggir jalan atau gerobak kaki lima di sudut pasar, semuanya terasa seperti pasar rahasia yang hanya dibuka untuk kami, anak-anak kampung yang sedang mabuk kebahagiaan.
Terkadang saya kerap berpacu dengan waktu. Jika terlalu lama menunda ke lapak mainan, nanti takut ditanya orang tua. Sepulang dari membeli mainan, tak jarang saya disambut pertanyaan yang cukup membuat gelisah, “Masih ada sisa uangnya?” atau “Dibelikan apa saja tadi?”. Ketika saya menjawab bahwa uang telah habis untuk membeli mainan, maka akan muncul ekspresi datar dan helaan napas tipis dari orang tua.
Bukan amarah yang saya tangkap, melainkan kekecewaan yang tertahan. Sebuah isyarat agar saya belajar lebih bijak mengelola uang sejak dini. Namun bagi saya waktu itu, anak-anak yang masih memaknai kebahagiaan secara sederhana, selama mainan itu bisa dibawa, dimainkan, dan dipamerkan kepada teman-teman, semua sah-sah saja.
Kini, masa kecil itu telah menjelma jadi cerita. Akhirnya, saya paham bahwa bukan hanya anak-anak yang harus belajar bijak mengelola uang, tapi juga orang dewasa yang harus belajar bijak memahami dunia anak-anak. Tidak semua lembar rupiah perlu dicatat dalam neraca keuangan keluarga, beberapa di antaranya memang seharusnya berubah menjadi mainan. Sebab di sanalah investasi emosi ditanam, tawa lepas, pertemanan yang tulus, dan kebahagiaan yang tak bisa dinilai kurs mana pun.