Oleh: Arina Isti’anah
(Dosen Program Studi Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma)
Sebagian dari kita mungkin sangat suka mengikuti perkembangan tren fashion yang wara-wiri ditawarkan melalui berbagai media sosial, baik dengan gambar maupun video siaran langsung. Iming-iming diskon pada saat pembelian video siaran langsung juga tak jarang membuat kita tergiur untuk segera check out barang yang kita tonton. Belum lagi, ada pula diskon bulanan dengan tanggal cantik, seperti 5.5, 10.10, atau 12.12 yang menunjukkan tanggal dan bulan yang sama setiap bulannya. Bahkan, tanggal 12 bulan Desember atau 12.12 juga dijuluki sebagai harbolnas (hari belanja online nasional). Promosi yang dilakukan oleh penjual dan tim marketing sangat masif, tentu dengan eksploitasi fitur-fitur kebahasaan yang membuat kita tergoda untuk check out setiap bulannya.
Beberapa contoh fitur kebahasaan yang dapat kita temui antara lain cuci gudang s.d. 90%, gratis ongkir, diskon s.d. Rp. 50rb, flash sale Rp. 99, diskon 25% 5x sehari, dan sebagainya. Di antara produk yang memiliki perputaran penjualan paling cepat dengan jumlah konsumen jutaan adalah industri fashion. Pergantian model dan tren yang begitu cepat mendorong generasi muda untuk mengikuti tren tersebut sehingga produksi dan konsumsi produk fashion berputar begitu cepat dan tren tersebut disebut dengan fast fashion. Aponte dkk. (2024) menyebutkan beberapa contoh merk fashion yang menawarkan tren terbaru setiap minggunya, seperti Zara, Uniqlo, H&M, dan Forever 21. Target pasar produk tersebut juga tergolong spesifik mengarah kepada generasi muda, yakni generasi Y (lahir 1981-1996) dan generasi Z (lahir 1997-2012).
Data menunjukkan bahwa pada tahun 2023, angka konsumen fast fashion mencapai 52,2 juta orang dan meningkat menjadi 57,6 juta pada 2024 (kompas.com). Peningkatan angka tersebut dipengaruhi oleh pergantian tren kekinian, kemudahan belanja, dan masifnya promosi melalui media sosial. Selain dampak positif bagi sektor ekonomi, para ilmuwan saat ini justru mulai mengkritik fast fashion yang tidak selalu berpihak secara sosial (seperti upah pekerja yang rendah) dan ekologis.
Badan lingkungan PBB mencatat bahwa fast fashion menggunakan air dalam jumlah terbesar kedua di dunia (70 triliun liter air), menghasilkan 92 milyar ton sampah, dan bertanggung jawab atas sekitar 10% emisi karbon global. Prosentase emisi karbon tersebut justru lebih banyak dari pada gabungan semua penerbangan internasional dan pengiriman laut. Selain itu, produksi fashion juga membutuhkan 70 juta barel minyak bumi setiap tahunnya untuk memproduksi serat sintesis. Penelitian juga menunjukkan bahwa produksi tekstil juga mengunakan sekitar 3.500 bahan kimia yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Terlebih lagi, produksi tersebut juga menimbulkan 20% limbah global (Aponte, 2024).
Dampak ekologis tersebut perlu kita pahami sebagai suatu fakta ilmiah bahwa produksi fast fashion secara besar-besaran ternyata tidak berbanding lurus dengan dampak ekologis. Dalam hal ini, bagaimana ekolinguistik menyikapinya dan bagaimana fast fashion dalam perspektif ekolinguistik?
Ekolinguistik merupakan suatu paradigma yang mendudukkan bahasa sebagai piranti yang dapat mempromosikan keseimbangan ekologis. Selain itu, ekolinguistik juga menyadari bahwa bahasa juga nyatanya dapat menimbulkan dampak yang tidak ekologis. Dalam konsep tersebut, ekolinguistik memperhatikan bagaimana pola-pola kebahasaan yang kita temukan dalam iklan justru mendukung fast fashion. Pada akhirnya, fast fashion memengaruhi konsumen untuk mengikuti tren yang begitu cepat. Akibatnya, justru kita akan turut menyumbang dampak ekologis dari produksi fast fashion. Oleh karena itu, bahasa dalam iklan perlu kita cermati lebih mendalam sehingga kita akan dapat menyadari apakah memang kita perlu mengikuti dan membeli fast fashion karena iming-imging bahasa yang sangat persuasif dalam iklan tersebut?
Suwarno (2022) memberikan beberapa contoh bahasa persuasif dalam iklan Zara, seperti “Supaya makin percaya diri, nggak ada salahnya kamu selalu berpikir positif bahwa apa yang kamu kenakan hari ini adalah pakaian terbaik di hari terbaik pula”, “Memang untuk bereksplorasi dengan gayamu, supaya nggak terlihat membosankan dan hidupmu lebih berwarna”, “Kadang, kamu memang butuh ‘move-on’ dari pakaianmu yang biasa, lalu cobalah hal baru”, dan “Di sini, kamu perlu keluar dari zona nyaman supaya tahu gaya apa yang paling cocok buatmu”.
Dalam contoh-contoh tersebut, digunakan pronomina kamu yang merujuk pada konsumen. Penggunaan pronomina tersebut bertujuan untuk membangun relasi interpersonal yang dekat dan akrab dengan konsumen. Dalam linguistik, strategi tersebut disebut sebagai penanda engagement untuk membangun kepercayaan dan kedekatan dengan konsumen. Dengan demikian, iklan tersebut menekankan bahwa produk yang ditawarkan memang khusus dibuat untuk para konsumen sasaran, yakni generasi Y dan generasi Z. Selain itu, kita juga dapat menemukan penanda komparatif makin dalam frasa makin percaya diri yang memberikan janji kepada konsumen bahwa mereka akan terlihat lebih percaya diri setelah membeli produk Zara.
Contoh lain juga ditemukan dalam prefiks ter- pada kata terbaik untuk menunjukkan derajat superlatif dari kualitas pakaian yang ditawarkan. Penyandingan frasa pakaian terbaik dan hari terbaik digunakan dalam iklan tersebut untuk meyakinkan konsumen bahwa kualitas dan mode yang ditawarkan Zara akan memberikan kepercayaan diri terbaik pula pada diri konsumen. Penanda superlatif lain yang ditemukan dalam contoh sebelumnya adalah kata paling yang berfungsi memaksimalkan penilaian tren yang ditawarkan Zara kepada konsumen. Betapa konsumen memiliki berbagai pilihan model sehingga dapat menemukan gaya yang paling cocok bagi mereka.
Selain kedua fitur kebahasaan tersebut, menarik pula jika kita amati struktur kalimat dalam iklan yang menggunakan struktur deklaratif dan imperatif. Struktur deklaratif memiliki pola Subjek-Predikat, sedangkan struktur imperatif memiliki pola Predikat-Subjek. Dalam teori pragmatik, struktur deklaratif biasanya digunakan untuk menyampaikan informasi, sedangkan struktur imperatif digunakan untuk memerintah. Namun demikian, dalam iklan, fungsi tuturan dari struktur kalimat tersebut nyatanya digunakan untuk membujuk konsumen membeli produk yang ditawarkan. Dalam penggalan contoh iklan sebelumnya, kita temukan klausa “cobalah hal baru” dan “kamu perlu keluar dari zona nyaman”. Dengan menggunakan kalimat imperatif “cobalah hal baru”, pembuat iklan memosisikan diri sebagai pihak yang memiliki daya tawar tinggi sehingga dengan percaya diri memberikan perintah pada konsumen untuk mencoba gaya baru yang ditawarkan. Selain itu, kalimat deklaratif “kamu perlu keluar dari zona nyaman” memuat makna serupa dengan contoh sebelumnya walaupun struktur kalimatnya berbeda. Hal yang demikian menunjukkan bahwa pembuat iklan bermaksud menawarkan kebaruan tren yang sudah berganti. Betapa pentingnya tren tersebut untuk diikuti sehingga menunjang gaya berpakaian masa kini.
Contoh bahasa persuasif yang diulas pada paragraf sebelumnya mungkin sudah kita anggap sebagai hal yang biasa, lumrah, memang sedemikian rupa digunakan dan diterima dalam ranah periklanan. Namun demikian, jika kita gunakan lensa kritis, bahasa yang sudah dianggap lumrah tersebut justru kita pertanyakan. Mengapa struktur bahasa yang demikian sering digunakan dalam berbagai macam iklan? Oleh karena itu, kita akan dapat memaknai bahwa berbagai macam iklan dengan pola kebahasaan serupa menunjukkan keyakian sosial bahwa untuk membujuk konsumsi suatu produk. Bahasa seharusnya disusun sedemikian rupa sehingga para konsumen membeli produk yang ditawarkan. Dengan kata lain, ideologi konsumerisme ditandai dengan pola-pola kebahasaan yang telah lumrah tersebut.
Sebagai makhluk sosial yang memiliki kebutuhan primer, sekunder, dan tersier tentu bukan berarti kita harus berhenti membeli barang, termasuk fast fashion. Namun demikian, jika kita memperhatikan aspek ekologis, mungkin kita dapat mulai menerapkan mindful buying, yakni pembelian barang yang melibatkan kesadaran penuh saat memutuskan membeli dan menghindari pembelian impulsif dengan pengeluaran berlebihan. Dengan demikian, kita tidak akan mudah tergoda untuk checkout produk fast fashion setiap bulan yang mungkin akan membuat pakaian lama kita tidak terpakai dan berakhir di tong sampah.