Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Hujan sering mengingatkan kita bahwa tidak semua hal dapat dikendalikan. Siang itu, saya yakin perjalanan akan lancar. Mendung tipis tak membuat khawatir, dan dengan sedikit perhitungan, saya merasa bisa tiba sebelum hujan turun. Namun, alam punya kehendak sendiri. Beberapa kilometer menjelang tujuan, hujan deras mengguyur tanpa peringatan, memaksa saya menepi di kedai kosong, persinggahan tak terduga yang akan menjadi ruang refleksi.
Sering kali saya terburu-buru, yakin segalanya berjalan sesuai rencana tanpa menyiapkan kemungkinan sebaliknya. Terlalu percaya diri membaca tanda, mengandalkan intuisi, dan lupa bahwa alam semesta tak selalu mengikuti logika saya. Saat hujan turun dan langkah terhenti, itu bukan sekadar hambatan, melainkan jeda yang mengajarkan bahwa persiapan adalah kunci, dan ketergesaan jarang berakhir baik.
Di bawah atap kedai yang sepi, dengan pakaian yang mulai basah, saya merenung bahwa hujan mengajarkan bukan hanya kesabaran, tetapi juga kepasrahan. Tidak semua rencana berjalan mulus, dan sering kali, perhentian tak terduga justru memberi perspektif baru. Bukankah hidup juga begitu? Kita terus melaju, yakin memahami segalanya, hingga satu kejadian kecil menyadarkan bahwa berhenti sejenak bukanlah kemunduran, melainkan kesempatan untuk berpikir lebih jernih sebelum melanjutkan perjalanan.
Saat duduk di kedai itu, saya tersenyum getir mengingat satu hal sederhana, jas hujan. Biasanya, benda itu selalu tersimpan rapi di bagasi motor, siap sedia menghadapi cuaca tak menentu. Namun kali ini, justru saya yang lengah. Sore kemarin, saya pulang dalam kondisi hujan, dan setibanya di rumah, jas hujan itu saya gantungkan di jemuran agar kering. Esoknya, karena terburu-buru takut terlambat, saya melesat begitu saja, tanpa ingat bahwa jas hujan masih tergantung, menunggu dijemput bukan ditinggalkan.
Ironis, bukan? Saya lupa membawa hal yang selalu diandalkan, hanya karena terburu-buru mengejar waktu. Seperti dalam hidup, bekal penting kesabaran, perhitungan, atau sekadar jeda untuk berpikir kerap terabaikan demi ambisi yang tergesa. Lalu, saat kenyataan menghadang, kita hanya bisa menepi, merenung, dan menertawakan kebodohan sendiri. Mungkin ini bukan sekadar jas hujan yang tertinggal, melainkan pengingat bahwa kesiapan bukan sekadar kebiasaan, tetapi juga kesadaran.
Maka, di sinilah saya, terjebak di kedai sepi, menggigil sambil menatap hujan yang tak kunjung reda. Waktu terus berjalan, dan perlahan, saya mulai menerima kenyataan, perjalanan ini tak akan sampai tujuan. Hujan terlalu deras, terlalu lama, dan entah bagaimana, semesta seolah berbisik, “Pulang saja”.
Setelah sekian lama menunggu dengan harapan yang menipis, saya menyerah. Dengan tubuh setengah basah dan hati yang sedikit nelangsa, saya memutar balik motor, menembus angin dingin yang menyelinap di sela pakaian. Di jalan, terbayang jas hujan yang masih tergantung di jemuran, mungkin tengah menikmati kebebasan sejenak dari tugasnya.