Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Sejak dulu, benturan pemikiran antara tua dan muda selalu ada. Yang muda dengan semangat perubahan, sementara generasi tua cenderung lebih hati-hati dalam melangkah. Perbedaan cara pandang itu muncul di berbagai bidang, mulai dari hubungan keluarga, dunia kerja, hingga organisasi sosial. Namun, apakah perbedaan ini harus menjadi penghalang, atau justru bisa menjadi kekuatan untuk saling melengkapi?
Dalam lingkup keluarga misalnya, perbedaan pendapat antara orang tua dan anak sering kali tak terhindarkan. Seorang anak yang ingin membeli gitar mungkin mendapat respons skeptis dari orang tuanya. Namun, daripada langsung menolak, orang tua sebaiknya menggali lebih dalam alasan di balik permintaan tersebut.
Jika hanya sekadar hobi, anak bisa diarahkan untuk mengembangkan keterampilan bermusik secara serius, misalnya dengan mengikuti kompetisi atau kursus. Pendekatan ini tidak hanya menghindari konflik, tetapi juga membangun komunikasi yang sehat antara generasi.
Salah satu pemicu kesenjangan adalah kecenderungan generasi tua membandingkan masa kini dengan masa lalu. Ungkapan seperti “Zaman kami dulu…” sering kali muncul dalam percakapan. Padahal, setiap generasi tumbuh dengan tantangan dan dinamika yang berbeda.
Tidak semua nilai dan norma masa lalu relevan untuk diterapkan saat ini, tetapi bukan berarti semuanya harus ditinggalkan. Ada nilai-nilai positif yang tetap bisa dijaga, seperti disiplin dan etos kerja, sekaligus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Di sisi lain, generasi muda kerap menganggap pemikiran generasi tua sebagai sesuatu yang usang dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Padahal, ada banyak hal dari generasi sebelumnya yang masih berharga untuk dipelajari dan diterapkan. Yang diperlukan adalah keseimbangan antara mempertahankan nilai lama yang baik dan menerima inovasi baru yang lebih relevan.
Dalam organisasi, kesenjangan ini juga sering terjadi. Generasi tua ingin mempertahankan sistem lama yang dianggap telah terbukti efektif, sementara generasi muda menginginkan perubahan yang lebih dinamis. Alih-alih sekadar mengkritik, generasi muda sebaiknya menawarkan solusi yang dapat didiskusikan bersama. Sebaliknya, generasi tua juga perlu membuka diri terhadap ide-ide segar agar organisasi tetap berkembang.
Pada akhirnya, koordinasi yang baik adalah kunci utama untuk menjembatani kesenjangan generasi. Bukan soal siapa yang lebih benar, tetapi bagaimana kedua generasi bisa saling memahami, menghargai pengalaman, dan menerima perubahan. Dengan komunikasi yang terbuka dan sikap saling belajar, kesenjangan ini bukan lagi hambatan, melainkan jembatan menuju harmoni dan kemajuan bersama.