Seorang mahasiswa yang pernah saya ajar sekarang sudah menjadi alumni tiba-tiba menelepon dan bertanya kabar. Setelah sedikit basa-basi, ia lalu bertanya, “Bagaimana menurut Ibu Elly tentang fenomena “Lelaki tidak bercerita” yang sedang marak di media social?”
Saya yang tengah sibuk dengan rutinitas harian tertegun di Jumat siang dua hari lalu mendengar pertanyaan itu. Apakah sudah begitu banyak berita yang saya lewatkan di media sosial karena sibuk oleh ruitinitas sehingga saya tidak tahu ada bahasa yang sedang viral.
Yah, belakangan, saya jarang membuka media sosial. Sesekali saya tetap harus mampir di sana meskipun tidak pernah lama seperti dulu. Yang pasti alumni tersebut menyadarkan saya tentang satu hal bahwa setengah dari kehidupan dan aktivitas manusia sekarang berada di media sosial. Media sosial adalah dunia lain tempat tumbuh suburnya segala macam bentuk kreativitas berbahasa. Berbagai fenomena kebahasaan yang berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dapat disaksikan dari penggunaan bahasa di media sosial.
Jika dibawakan kepada kajian intertekstualitas, fenomena kebahasaan “Lelaki tidak bercerita “ mempunyai relasi interteks dengan novel yang cukup populer dalam bidang sastra yang berjudul Laut Bercerita. Novel tersebut ditulis oleh Leila S. Chudori. Saking populernya, beberapa kali mengunjungi toko buku saya melihat novel tersebut dipajang di meja paling depan di toko buku. Meja yang dilabeli buku-buku bestseller. Barangkali, ada kaitannya antara novel Laut Bercerita dengan fenomena penggunaan kalimat “Laki-laki tidak bercerita” seperti yang sedang viral di media sosial.
Perbedaan antara judul novel dan kalimat Laki-laki tidak bercerita hanya terdapat pada penambahan kata “tidak”. Lelaki tidak becerita seperti pelesetan dari novel Laut Bercerita. Jika benar adanya, judul novel tersebut dapat melahir teks-teks baru yang terhubung dengannya meskipun dengan makna yang berlainan. Kristeva (1990) menyebut intertekstualitas sebagai formasi horizontal yang menghubungkan pembuat teks dengan penerima teks dan formasi vertikal yang menghubungkan sebuah teks dengan teks lainnya. Fenomena Laki-laki tidak bercerita adalah terdapat pada bagian vertikal yang menghubungkan sebuah teks dengan teks lainnya.
Selain dapat dihubungkan dengan Novel Laut Bercerita, “Laki-laki tidak bercerita “juga menunjukkan sisi maskulinitas laki-laki bahwa mereka tidak berkeluh-kesah, tidak bercerita, dan tidak banyak omong saat menghadapi masalah dalam hidup. Sisi maskulinitas ini juga pernah dikupas oleh John Gray dalam bukunya yang berjudul Man are from Mars and Woman are From Venus (2000). Gray menyatakan bahwa laki-laki memang tidak bercerita jika ada masalah. Mereka lebih memilih untuk menyendiri dan diam serta pergi ke guanya (tempat sepi) untuk menyendiri saat menghadapi masalah.
Berbeda dengan perempuan jika menghadapi masalah. Perempuan akan mengeluarkan lebih banyak kata-kata atau cerewet saat menghadapi masalah. Secara psikis, perempuan memang memproduksi lebih banyak kata-kata dalam sehari dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan buku yang ditulis oleh Louann Brizendine yang berjudul The Female Brain (2006), laki-laki hanya mengeluarkan 7000 kata dalam sehari, sedangkan perempuan mengeluarkan 20.000 kata dalam sehari. Fakta dari riset tersebut juga menjadi alasan mengapa kalimat “Lelaki tidak bercerita” bisa viral di media sosial.
Selain alasan-alasan di atas, kalimat “Lelaki tidak bercerita” secara kebahasaan atau secara sintaksis merupakan jenis kalimat negasi sederhana yang terdiri atas pola Subjek Predikat (SP). Subjek diisi oleh kata benda atau nomina menyatakan orang, yaitu laki-laki dan predikat diisi oleh pemarkah frasa negasi (frasa yang menyatakan pengingkaran terhadap verba), yaitu “tidak” bercerita.
Kemudian secara psikologis, kalimat sederhana ini menjadi viral karena mewakili perasaan dan suasana kebatinan banyak laki-laki di negara ini. Para laki-laki merasa dan berpikir kalimat tersebut “Gua banget…” atau sangat mewakili hati, perasaan, dan keadaan mereka saat ini. Perasaan keterwakilan dengan kalimat tersebut didukung oleh berbagai kreativitas video dan yang disertai dengan kaa-kata lucu lain di media sosial, seperti contoh berikut.
- Lelaki sejati tidak pernah bercerita, Pak(@azkaloka).
- Lelaki dibalik segalanya ada cerita. Dibalik rokok, ada isi pikiran. Di balik kopi hatinya sedang merasa. Dibalik kebisuan, hatinya sedang menangis (@skyhigh).
- Laki-laki tidak bercerita, tetapi punya cerita.
Masih banyak meme lucu dan unik lainnya tentang “Laki-laki tidak bercerita” meskipun sesungguhnya laki-laki juga ingin bercerita sama halnya dengan perempuan. Namun, beberapa budaya tidak mengizinkan laki-laki untuk bercerita meskipun sedang mereka sedang mengalami kenyataan yang pahit. Laki-laki yang bercerita dianggap lemah dan tidak kuat secara mental dalam menghadapi hidup. Jadi, trend, tagar, atau meme “Laki-laki tidak bercerita” menjadi viral karena digunakan sebagai satire atau gaya bahasa yang bertujuan untuk menertawakan kepahitan, kegetiran, kemalangan, dan kekurangan diri sendiri oleh para laki-laki. Perempuan sebagai pengguna media sosial juga turut mengaminkan fakta tersebut.
Secara umum, fenomena bahasa “Laki-laki tidak bercerita” dapat dijadikan bahan evaluasi bagi kita semua, apakah sebenarnya para laki-laki di Indonesia baik-baik saja? Apakah benar mereka tidak butuh bercerita atau mereka sedang tidak baik-baik saja dan butuh untuk bercerita pada para perempuan.