Puisi-puisi Muhammad Aldito Aprilian
BODOH
Semilir angin berhembus dingin
Menerpa aliran sungai kian mengalir
Mengalir dengan tujuan
Agar bersatu dengan luasnya lautan
Bagaimana dengan diriku?
Diterjang deburnya penyesalan
Membuatku terjebak tanpa tujuan
Haruskah aku kembali melangkah?
Walau aku tahu itu tak mudah
Menerjang deburnya penyesalan
Melewati pedihnya penghianatan
Melawan sakitnya kenyataan
Atau, haruskah aku tetap disini?
Larut dalam penyesalan
Dan hidup tanpa tujuan
BODOH!
Bahkan aku kalah dengan aliran sungai
Padang, Januari 2024
AWAN KELABU
Dirimu itu bagai awan kelabu
Tersirat sejuta bagian yang rapuh
Tak punya kendali atas dunia yang begitu riuh
Awan kelabu akan menangis bila ia tak mampu
Akan melampiaskan pada bumi yang tak tahu
Akan membiarkan bumi diselimuti haru
Awan kelabu
Engkau datang menyapa
Lalu hilang dengan bekas luka
Padang, Januari 2024
TEMPAT TERAMAN
Kualihkan pandanganku
Ku tatap sendu Sang Semeru
Jauh dalam lubuk hatiku
Tersirat sejuta terimakasih untukmu
Dirimu itu semerdu semilir angin
Setenang sungai mengalir
Senyaman tempias pelangi di hilir
Engkau rela mendaki pegunungan himalaya
Merenangi luasnya samudra
Hanya untukku
Yang menyimpan harapan tuk membalas besarnya pengorbananmu
Nyaman nya tempias pelangi di hilir
Akan kalah dengan ukiran senyummu
Tenangnya sungai mengalir akan sirna dengan dekapan hangatmu
Merdunya semilir angin
Akan runtuh dengan hangatnya nafasmu
Terimakasih
Terimakasih padamu yang menemani hariku
Yang slalu ada di saat ku membutuhkanmu
Yang menjadi tempat aku bertumpu
Yang menjadi penghangat dalam dinginnya malam kelabu
Pernah terbesit di benakku
Apalah jadinya aku tanpa dirimu
Akankah hari hari ku bisa berwarna
Akankah di malam kelabu ada penghangat untuk diriku
Atau di saat aku terjatuh
Adakah tempat aku bertumpu
Hari-hari berganti
Bulan demi bulan berlalu
Satu hal yang harus kau tau
Tempat teramanku
Adalah ketika aku bersamamu
Ayah….
Padang, Desember 2023
Tentang Penulis
Aldito Aprilian atau dikenal dengan Muhammad Aldito Aprilian merupakan seorang pelajar yang sedang melanjutkan studinya di Kelas IX Qotif SMP Perguruan Islam Ar Risalah. Penulis muda ini menuliskan karya-karyanya dalam bentuk puisi dan membagikannya ke para pecinta puisi di Indonesia. Berpuisi adalah cara Aldito untuk menyalurkan keluh kesah yang ia miliki.
Ragam Emosi dalam Puisi-puisi Muhammad Aldito Aprilian
Oleh: Dara Layl
Haruskah aku kembali melangkah?
Walau tau itu tak mudah
Puisi merupakan salah-satu karya sastra yang sarat akan emosional di setiap kata atau diksi di dalamnya. Aspek estetika puisi dalam hal ini, berhubungan dengan berbagai sarana kesastraan yang diberdayakan oleh pengarang yang dapat memenuhi kebutuhan pembaca akan rasa keindahan (Elyusra, 2020). Puisi diciptakan dilandasi oleh berbagai latar belakang penulis, akan tetapi cenderung mengajarkan empati yang berkaitan dengan sendi kehidupan, tertama yang dekat dengan keseharian penulis.
Pada kali ini, Kreatika menampilkan tiga buah puisi karya Muhammad Aldito Aprillian, seorang siswa kelas IX di SMP Perguruan Islam Ar Risalah dengan judul “Bodoh”, “Awan Kelabu” dan “Tempat Teraman”.
Puisi pertama, “Bodoh”, kata “bodoh” dalam KBBI berarti tidak lekas mengerti, tidak mudah tau, atau tidak dapat mengerjakan sesuatu.
Puisi pertama ini menggambarkan tentang keraguan yang begitu besar. Dan keraguan itu terletak pada diri sendiri. Puisi pertama ini membandingkan alur kehidupan seseorang dengan sebuah sungai yang terus mengalir sampai bermuara di lautan. Kita bisa melihat pada sajak pembuka;
/Semilir angin menembus dingin/
/Menerpa aliran sungai kian mengalir/
/Mengalir dengan tujuan/
/Agar bersatu dengan luasnya lautan/
Pada sajak ini, penyair seolah ingin menyampaikan bagaimana sebuah sungai bisa terus mengalir hingga sampai pada tujuannya yaitu lautan.
Setelah itu, di bait selanjutnya penyair membangdingkan hal itu dengan seseorang yang di sini disebut sebagai “aku” yang seperti berada di sebuah persimpangan antara tetap melangkah atau benhenti, hal ini terlihat dalam sajak;
/Bagaimana dengan diriku?”
/Diterjang deburnya penyesalan/
/Membuatku terjebak tanpa tujuan/
/Haruskah aku kembali melangkah?”
/Walau aku tau itu tak mudah/
/Menerjang deburnya penyesalan/
/Melewati pedihnya penghianatan/
/Melawan sakitnya kenyataan/
/Atau, haruskah aku tetap di sini?/
Larik sajak di atas menggambarkan rasa sakit yang luar biasa yang dihadapi oleh si “aku” dalam proses menerima pedihnya penghianatan dan sakitnya sebuah kenyataan, yang diitambah dengan banyak penyesalan, sehingga mendatangkan sebuah kebimbangan.
Perasaan bimbang dalam puisi ini terlihat antara bait sjak; /Haruskah aku kembali melangkah?” kemudian, persaan bimbang itu semakin dijelaskan dengan sajak; /Atau, haruskah aku tetap di sini?/
Terakhir puisi ini ditutup dengan sajak;
/BODOH/
/Bahkan aku kalah dengan aliran sungai/
Sajak ini seperti penegasan dari judul puisi yang mengatakan bahwa si “aku” kalah oleh aliran sungai yang terus mengalir tidak peduli apapun yang yang terjadi.
Puisi kedua, “Awan Kelabu”, kelabu /ke la bu/ dalam KBBI adalah warna antara hitam dan putih seerti warna abu; abu-abu. Warna abu-abu adalah warna yang tidak cerah dan biasa diartikan dengan duka, begitupun dengan puisi kedua ini ketika membacanya membawa kita pada suasana yang sarat akan kesedihan. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi yang berpengaruh terhadap jiwa pembaca (Kosasih, 2012:109)
Puisi kedua ini menggambarkan tentang perasaan yang rapuh, hal ini tergambar di dalam sajak;
/Dirimu itu bagai awan kelabu/
/Tersirat sejuta bagian yang rapuh/
/Tak punya kendali atas dunia yang riuh
Walaupun puisi ini membawa perasaan yang sedih, namun jika dibaca dengan baik maka akan menghadirkan bunyi yang estetis karena pemilihan diksi di akhir larik sangat baik seperti;
/…………….kelabu/
/…………… rapuh/
/……………..,riuh/
/………………..tak mampu/
/…………………….tak tau/
/………………………haru/
/……………………….kelabu/
/…………………….menyapa/
/…………………………luka/
Akhir bait pada puisi ini terlihat selaras dan dipilih dengan hatihati.
Puisi ketiga, “Tempat Teraman”, berbeda dengan dua puisi sebelumnya, puisi ini menejukkan suasana yang sejuk ketika membacanya, puisi ini menggammbarkan ucapan terima kasih kepada seorang ayah yang telah banyak berjuang dan bekorban bagi anak-anaknya, hal ini tergambar dalam sajak;
/Jauh dari lubuk hatiku/
/Tersirat sejuta terimakasih untukmu/
/Terimakasih padamu yang menemani hariku/
/Yang slalu ada di saatku membutuhkanmu/
/Yang menjadi tempat aku bertumpu/
/Yang menjadi penghangat dalam dinginnya malam kelabu/
Selain ucpan terima kasih, puisi ini juga menggambarkan kedekatan seorang anak dengan ayahnya, dimana dengan kedekatan itu anak yang menjadi tau dan dapat merasakan sosok ayahnya, hal itu tergambar di dalam sajak;
/Dirimu itu semerdu semilir angin/
/Setenang sungai mengalir/
/Senyaman tempias pelangi di hilir/
Dalam sajak ini tergambar bagaimana sosok seorang ayah yang tenang dan begitu digagumi anak-anaknya.
Secara keseluruhan ketiga puisi Aldito kuat penggambarkan emosi yang ada di dalamnya, baik itu emosi bimbang (ragu), emosi sedih, dan emosi haru dengan sangat baik, pembaca seolah bisa diajak merasakan gejolak emosi yang dirasakan oleh penyair. Selain itu, pemilihan diksinya juga sudah bagus, sehingga menghasilkan bunyi yang enak didengar ketika membaca puisinya. Untuk ukuran anak sekolah menengah pertama, puisi ini sangat berkesan
Terima kasih untuk kiriman puisinya Aldito, teruslah menulis puisi, senang sekali bisa membaca puisi-puisi ini. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.