Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Ketertarikan saya pada buku-buku langka terbitan lokal dimulai sejak masa kuliah. Awalnya, ini hanya tugas akademik, sekadar memenuhi kebutuhan referensi. Namun, yang saya temukan lebih dari sekadar halaman berisi teks, ada keseruan tersendiri dalam proses pencariannya.
Menyusuri toko-toko buku bekas, menyisir rak-rak yang berdebu, dan menyeleksi satu per satu buku yang hampir terlupakan, semuanya seperti perjalanan menuju dunia yang berbeda. Prosesnya mengajarkan kesabaran dan menciptakan sensasi berburu harta karun literasi.
Buku-buku pertama yang berhasil saya temukan dari pencarian ini adalah karya sastra Minangkabau. Di sebuah toko buku bekas itu, saya menemukan tumpukan buku kaba terbitan tahun 1960-an, diterbitkan oleh penerbit lokal di Bukittinggi. Saya begitu senang melihat buku-buku itu tersusun rapi, seperti menemukan harta karun.
Antusiasme saya melambung tinggi saat menelusuri halaman demi halaman. Hampir semua buku itu halamnnya dalam kondisi bagus. Namun, ketika pemilik toko menyebutkan harga totalnya, saya hanya bisa tersenyum tipis. Rupanya, menemukan “harta karun” juga berarti siap-siap merogoh kocek lebih dalam.
Waktu itu, sayangnya, kondisi keuangan belum memungkinkan saya untuk membawa pulang semua koleksi kaba itu. Sebagai mahasiswa yang masih mengandalkan uang saku, saya harus bijak memilih. Akhirnya, saya putuskan hanya mengambil dua judul, yaitu buku Kaba Cindua Mato dan buku Kaba Anggun Nan Tongga.
Walau godaan untuk memborong semuanya begitu besar, dua buku ini sudah terasa seperti pencapaian tersendiri. Selain sebagai koleksi, keduanya juga menjadi bahan penting untuk penelitian skripsi saya. Sambil melangkah meninggalkan toko buku itu, diam-diam saya berharap tak ada pembeli lain yang akan membawa pergi sisa buku-buku kaba tersebut—setidaknya, tidak sampai saya punya cukup uang untuk kembali lagi dan melengkapi koleksi kecil ini.
Beberapa waktu kemudian, saya mulai merambah media sosial untuk berburu buku-buku langka dan lama. Facebook menjadi ladang baru pencarian saya, tempat di mana buku-buku antik bersembunyi di balik unggahan para penjual. Dari sinilah saya mulai mengenal beberapa penjual spesialis buku-buku lama, yang menawarkan koleksi menarik dengan kisah masing-masing.
Saya menyadari bahwa mengoleksi buku-buku langka lebih dari sekadar menghimpun karya sastra. Ini adalah tentang merangkai kisah dan pengalaman yang tak ternilai. Setiap buku adalah saksi bisu perjalanan waktu, menyimpan nuansa dan cerita yang menggugah. Di era digital, buku-buku ini mengingatkan kita akan pentingnya menjalin hubungan dengan sejarah dan budaya. Setiap halaman yang dibuka menawarkan kesempatan untuk merasakan denyut nadi kehidupan masa lalu. Melalui pencarian ini, saya menemukan bahwa cinta terhadap literasi adalah petualangan tanpa akhir.