Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengunjungi Kota Sawahlunto. Awalnya, kunjungan ini hanya untuk menghadiri acara lamaran salah satu anggota keluarga. Namun, di tengah perjalanan, saya merasa ada yang kurang jika tidak sekaligus mengeksplorasi objek wisata tambang batu bara yang terkenal di kota ini.
Saya pun mengusulkan kepada rombongan agar kita mampir ke beberapa destinasi bersejarah yang tak hanya menawarkan pemandangan indah, tetapi juga menyimpan cerita panjang tentang perjuangan dan kejayaan tambang batu bara di masa lalu.
Awalnya, tidak semua anggota keluarga menyambut usulan saya dengan antusias. Namun, setelah mendengar cerita tentang betapa menariknya sejarah tambang batu bara di Sawahlunto, rasa penasaran mereka mulai tumbuh.
Akhirnya, tanpa perlu banyak bujukan, semua setuju untuk mengunjungi beberapa museum yang ada di kota ini. Perjalanan yang tadinya hanya untuk satu acara pun berubah menjadi petualangan bersejarah yang tak terlupakan.
Perjalanan dimulai dari Museum Kereta Api Sawahlunto, tempat yang menjadi saksi bisu pentingnya peran transportasi dalam sejarah tambang batu bara. Lokomotif tua dan barang-barang peninggalan zaman kolonial di museum ini mengingatkan kita akan peran vital kereta api dalam menghubungkan tambang di pedalaman dengan pelabuhan di pesisir.
Patung Dr. Jan Willem Ijzerman, insinyur Belanda yang mendesain jalur kereta api ini, melambangkan inovasi dan kolaborasi antara teknologi dan sumber daya alam.
Selanjutnya, kita menuju Lubang Tambang Mbah Soero, tambang tua yang penuh dengan kisah perjuangan pekerja paksa di era kolonial. Lubang ini dinamai dari sosok Mbah Soero, mandor tambang yang dihormati karena kebijaksanaannya.
Sebelum memasuki lubang tambang, kita mengenakan perlengkapan keselamatan, mengingatkan kita akan kerasnya kondisi kerja di masa lalu. Di akhir perjalanan, kita mengunjungi Museum Goedang Ransoem, yang dulunya adalah dapur umum bagi pekerja tambang.
Di sinilah ribuan perut pekerja tambang dipertahankan hidupnya lewat sepiring nasi dan lauk sederhana. Rasanya, tanpa dapur raksasa ini, kerja keras di tambang mungkin akan menjadi misi mustahil. Saat melihat peralatan masak raksasa yang lebih mirip dengan wajan ukuran kolam renang, saya sempat berpikir, “Kalau di zaman sekarang, mungkin ini bisa jadi konten mukbang terbesar sepanjang masa!”
Dengan begitu, perjalanan kami di Sawahlunto pun berakhir. Kunjungan yang awalnya hanya untuk menghadiri lamaran keluarga, justru meninggalkan pelajaran tentang sejarah dan perjuangan. Siapa sangka, tambang tua dan dapur besar bisa membuat kita pulang dengan kepala penuh kisah dan hati yang hangat.