Oleh: Hardisman
(Guru Besar Fakultas Kedokteran & Ketua LPM Universitas Andalas)
Anak bukan dewasa kecil. Anak tidaklah seperti miniatur dan bukan pula sekadar dewasa dalam ukuran dimensi fisik yang berbeda. Secara fisik dan psikologis segala sesuatunya berbeda pada anak dibandingkan dengan dewasa. Antara anak yang berbeda kelompok usia juga banyak perbedaan dalam perkembangan fisik dan pikologis.
Perbedaan Cara Pandang
Perbedaan fisik dan psikologis antara anak dan dewasa menimbukan cara pandang yang berbeda terhadap persoalan. Pola pikir anak dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan juga akan berbeda sehingga berdasarkan cara pandang dewasa. Orang tua melihat cara berpikir anak tidak matang meskipun tidak selamanya cara pandang orang tua itu benar.
Perbedaan cara pandang tidak hanya karena usia kronologis waktu yang lebih singkat, tetapi juga didukung oleh pengalaman hidup yang berbeda. Pengelaman atau apa yang sudah dilalui oleh orang tua tentu jauh lebih banyak sehingga dalam melihat persoalan mereka akan mempertimbangkan banyak hal. Berbeda dengan anak-anak, pengalaman hidup yang singkat dan pengetahuan yang belum banyak menjadikan mereka melihat suatu persoalan dan memutuskan solusinya tentu berdasarkan alur pikir sendiri dengan mempertimbangkan apa yang pernah dialami, dirasakan, dan dilihat.
Belum lagi kemudahan dan kesulitan hidup yang berbeda dan kondisi kemajuan zaman yang sudah sangat berbeda, semuanya juga berberan dalam dalam menyikapi pesoalan. Kondisi sosial ekonomi kehidupan keluarga yang lebih sulit zaman orang tuanya namun sudah mulai berkecukupan pada masa anak-anaknya tentunya juga berperan dalam menyikapi persoalan kehidupan.
Tidak jarang perbedaan cara pandang tersebut melahirkan konflik komunikasi terjadi antargenerasi. Termasuk konflik yang terjadi dalam keluarga antara anak dan orang tua, terutama Ketika anak sudah mulai memasuki usia remaja. Orang tua yang tidak bisa bersikap arif dan bijaksana akan menambah keretakan komunikasi tersebut sehingga mengakibatkan pola asuh pendidikan yang seharusnya diberikan orang tua menemukan titik buntu.
Ketika kondisi sosial ekonomi keluarga sudah jauh lebih baik dari zaman orang tuanya di masa kecil, tentu pengalaman hidup anak lebih baik pula. Segala kebutuhannya didapatkannya dengan mudah sejak kecil. Jika pola asuh orang tua tidak menanamkan dengan baik cara menyikapi hidup, anak-anak akan menggangap semuanya serba mudah. Mereka bisa menjadi anak-anak yang tidak tangguh jika tidak ada tempaan, tidak ada arahan, dan pendidikan yang ditanamkan oleh orang tua. Tatkala menghadapi kesulitan sedikit saja, anak merasa itu adalah sebuah petaka besar. Lalu bagaimanakah pendekatan mendidik dalam keluarga yang dapat dilakukan?
Madrasah Keluarga
Peran orang tua sejak dini semakin sangat dibutuhkan untuk menyiapkan generasi yang kuat, Tangguh, dan sekaligus menyiapkan mereka dari segala bahaya lingkungan. Mereka disiapkan untuk tangguh dalam kehidupan dan berkarya sesuai dengan zaman.
Kita sering berharap pada institusi pendidikan, baik pada sekolah ataupun madrasah tempat mengaji untuk mendidik anak, termasuk dalam pembentukan karakter anak. Harapan itu memang tidak salah karena di sana orang tua menitipkan anak-anak untuk belajar dan untuk dididik. Akan tetapi, sejatinya pendidikan formal di sekolah ataupun nonformal di tempat mengaji sore hanyalah bantuan bagi ibu dan ayah dalam mendidik karakter anak-anak. Rumah adalah madrasah pertama dan selalu yang utama untuk pendidikan anak-anak hingga mencapai usia dewasa. Baik dalam perspektif pendidikan modern dan juga dalam agama. Islam menempatkan bahwa orang tua yang diperintahkan dan bertanggung jawab atas keselamatan anak-anaknya (QS At-Tahrim [66]:4 dan An-Nisa [4]:9).
Orang tua harus mampu memberikan rambu-rambu bagi anaknya mana yang akan menyelamatkan dan mana yang akan menghancurkan. Hal ini dimulai dengan sejak awal. Orang tua mampu mengawasi dan mengarahkan anak sejak dini serta membentuk nilai-nilai kedisiplinan dan ketangguhan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan usia. Ada ketegasan yang ditanamkan sejak dini (qaulan syadidan) (QS An-Nisa, [4]:9).
Keteladanan dan Kebersamaan
Mengajak pada kebaikan harus dilakukan dengan hikmah dan keteladanan (An-Nahl [16]:125). Begitu juga dengan penerapannya. Agar pendidikan dalam keluarga dapat mengena, keteladanan dalam cara berkomunikasi, menyikapi persoalan, penggunaan gadget dan teknologi juga harus dibimbing oleh kedua orang tua. Ayah dan ibu harus menunjukkan terlebih dulu kematangan dalam bersikap dan kedewasaan dalam bertindak. Satu contoh dan keteladanan jauh lebih bermakna dalam mendidik dan mendisiplinkan daripada seribu kata-kata.
Pada saat yang bersamaan, ada kasih sayang yang terpancar dan terlihat dari orang tua kepada anaknya. Ada kehangatan dalam keluarga. Kedua orang tua adalah tempat kembali dan tempat berbagi bagi anak-anak untuk memecahkan semua persoalan. Pertemuan dalam rumah adalah pertemuan yang menyenangkan bagi anak dan bercahaya dalam zahir dan batin sehingga pendidikan menanamkan ketangguhan, kedisiplinan, dan membentengi anak-anak dari kejahatan yang tidak kasat mata dapat dilakukan.
Tidak selamanya cara pandang orang tua yang terbaik untuk kondisi saat ini. Pola pikir dan cara padang tua mungkin yang terbaik sesuai dengan zamannya. Namun, untuk zaman anaknya, boleh jadi pendekatan dan cara orang tua perlu disesuaikan karena mungkin tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Orang tua juga harus bisa mendengarkan dan memahami cara pandang anak dengan reasoning mereka. Boleh jadi alasan yang diberikan anak dan pengetahuan mereka tentang perkembangan informasi terbaru lebih banyak daripada orang tuanya. Orang tua harus siap mendengar dan berdiskusi dengan anak-anak hingga mampu mengarahkan mereka sesuai dengan tujuan kebaikan.
Orang tua harus berpikir terbuka dan bisa berkomunikasi dengan anak-anak dengan baik, mendengarkan sambil menggarahkan, dan bukan mendoktrin, memerintahkan, dan mengakimi sehingga ayah dan ibu satu-satunya tempat bagi mereka untuk kembali. Semoga.