Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
“Bayangkan jika sisa makanan dan minuman itu bisa bicara dan menuntutmu di pengadilan! Sebutir nasi yang ditinggalkan akan menangis sambil berkata, ‘Kenapa aku tidak dimakan?’ dan seteguk minuman yang tidak dihabiskan akan marah, ‘Aku juga bagian yang harus diselesaikan!” Itulah yang nenek katakan, dan meskipun terdengar dramatis, siapa yang tidak suka “bumbu” dalam cerita? Kalau bukan karena cerita dramatis itu, mungkin sebagai bocah, saya tidak akan mendengarkan nasihat nenek.
Cerita itu masih berlanjut. “Tahukah kamu? Di balik sebutir nasi itu ada perjuangan hebat”. Sambung nenek dengan suara lembut penuh makna. “Bayangkan para petani yang bangun sebelum matahari terbit, bekerja keras di bawah terik matahari dengan penuh kasih sayang dan ikhlas. Mereka menanam padi dengan harapan setiap butirnya sampai ke meja makan. ‘Untuk sampai ke sini, nasi itu melalui proses panjang dan penuh pengorbanan”.
Saya tidak ingat kenapa nenek bercerita, atau waktu itu saya sedang tidak menghabiskan makanan. Sebagai bocah tentu hal itu lazim terjadi. Tapi satu hal yang pasti, saya serius mendegar cerita beliau, seakan merasakan setiap kata seperti aliran hangat yang menyentuh. Mata saya saat itu hampir berkaca-kaca, menyadari betapa berharganya setiap butir nasi yang ada di piring. Kenangan ini sulit untuk dilupakan, dan saya kira sangat relevan dengan gaya kehidupan sekarang.
Namun, seiring waktu, saya menyadari bahwa nasihat nenek sering kali terlupakan di tengah kesibukan dan kemudahan hidup saat ini. Kebiasaan untuk tidak menghabiskan makanan atau membelinya saat belum lapar menjadi hal yang “terbiasakan”. Nenek menyebutnya ‘lapar mata’, keinginan yang melampaui kebutuhan. Saat makan di luar, saya sering memesan lebih banyak dari porsi biasa hanya karna tampilan menggoda atau promo harga.
Saat menyisakan makanan, kenangan tentang cerita nenek menyentuh hati dengan lembut. Melihat sisa makanan, rasa bersalah mulai merayapi jiwa. Seperti aliran air yang tenang, nasihat nenek kembali mengalir dalam ingatan, mengingatkan betapa berharganya setiap suapan yang dimiliki. Dalam setiap sisa, terbayanglah cinta dan kebijaksanaan yang mengajarkan tentang rasa syukur.
Tidak ada kata terlambat, begitu kata orang bijak. Memulai membiasakan untuk menghargai setiap suapan, memastikan porsi sesuai dengan kebutuhan, harus diterapkan. Bila diberikan kelebihan rezeki, maka tidak ada salahnya untuk berbagi. Karena, pada akhirnya, kebahagiaan itu tidak hanya terletak pada makanan di piring, tetapi saat dapat menikmatinya dengan bersama.
Discussion about this post