“Kau karajo mulai bisuak, latak barang kau di biliak yang itu, dih. Mamak nak mancaliak lapau sabanta,” ucap Mamak Safi membiarkan Meli membereskan barang bawaannya. Setelah selesai, Meli merebahkan badannya, ia teringat pesan amak.
“Ambo harus lulus kuliah,” ucapnya menyemangati diri.
Meli memulai hari barunya dengan menjadi karyawan di toko baju juga grosiran milik Mamak Safi. Mamak Safi sudah memberitahu bahwa Meli boleh bekerja di salah satu toko, tapi Meli dengan semangatnya ingin bekerja di dua toko sekaligus. Di grosiran saat pagi, dan toko baju saat sore.
Setiap harinya Meli selalu bekerja keras untuk uang sekolahnya. Selama ia tinggal di rumah Mamak Safi, ia sempat beberapa kali meminjam peralatan dapur untuk membuat kue yang kemudian ia jual di warung dekat SD. Bentala terus berputar tak peduli dengan sekitarnya membuat hari kian berganti, tak terasa hampir satu tahun Meli bekerja di tempat Mak Safi, dan sebentar lagi penerimaan mahasiswa baru akan dibuka.
“Bilo kau nak mendaftar sakola tu, Mel,” tanya anak pertama Mak Safi.
“Tigo pakan lai, Ni,” jawab Meli dengan semangat. Setelah Meli hitung dengan baik, sekitaran minggu depan uangnya sudah cukup untuk biaya pendaftaran hingga membayar uang satu semester ke depan. Tiba-tiba Mamak Safi datang dengan tergesa-gesa ke toko grosiran dengan wajah panik.
“Mel, amak kau sakik. Capek naiak ka oto.” Ucap Mamak Safi dengan terburu-buru. Mendengar kabar itu, tanpa menunggu lama Meli langsung pergi ke mobil bak terbuka milik Mamak Safi. Selama di perjalanan, Meli terus merapalkan doa untuk amak. Akhirnya mobil Mamak Safi berhenti di halaman parkir rumah sakit daerah.
“Amak,” ucapnya menatap wanita yang paling ia cintai yang kini terbaring lemah di kasur.
“Baa ndak ado dokter di sinan, Da,” tanya Meli pada kakak ke tiganya.
“Ndak bisa do, Mel. Pitih untuak mambaia rumah sakik ndak cukuik,” ucap kakaknya dengan raut sedih.
Meli meremas kuat jemarinya, dan tanpa berlama-lama ia telah membulatkan pilihan. “Pakai se lah pitih Meli, Da.” Ucapan Meli membuat kakak-kakak nya juga Mamak Safi terkejut, karena mereka tau bahwa uang itu akan digunakan untuk kuliah yang tak lama lagi akan membuka pendaftaran.
“Jan lai, itu pitih kau untuak sakola,” tolak kakaknya.
“Ndak baa, Da. Bialah Meli ndak jadi sakola dari pado harus mancaliak amak sakik.” Meli menyerahkan uang yang sudah ia kumpulkan selama hampir setahun itu untuk biaya kuliahnya. Meli tersenyum, dan senyuman itu bagai mentari yang menghangatkan Gunung Talamau di tiap paginya. Kakak keduanya menerima uang yang diberikan Meli, berusaha mencegah air yang akan keluar dari pelupuk matanya.
“Ko pitih untuak manambah,” ucap Mamak Safi menyerahkan uang pada kakak ketiga Meli.
Discussion about this post