Meli juga tidur, lebih tepatnya berusaha tidur karena hatinya masih belum setuju kalau ia akan dinikahkan dengan lelaki seberang, padahal ia masih ingin sekolah tinggi agar bisa mewujudkan mimpi Abak. Langit di luar terlihat jelas dengan ratusan konstelasi yang terlihat memukau. Para penduduk tak tampak lagi di luar rumah, mereka sudah beristirahat karena esok harus bangun pagi-pagi buta untuk pergi ke ladang. Ribuan kerlip dari konstelasi tersebut makin indah dengan purnama yang menemani.
Matahari dan bulan kian berputar membuat hari pun kian berganti, hingga tibalah hari dimana penerimaan raport akhir semester Meli yang artinya ia sudah lulus SMA. Betapa riang wajah Meli saat rapor sudah berpindah ke tangannya. Ia memperoleh peringkat pertama dan tentunya dengan nilai sempurna, ia pikul keranjang jagung rebus dengan wajah riang bak mentari yang baru terbit menghangatkan pinggang Gunung Talamau.
Wajah riangnya itu seketika berubah saat melihat rumahnya yang ramai dengan orang-orang yang tak ia kenal. Meli di sambut dengan senyuman ramah saat memijakkan kaki di rumah itu. Meli berusaha menyembunyikan wajah tidak sukanya karena seisi rumah menatapnya dengan wajah berbinar.
“Duduak lah Meli,” Ucap amak dengan wajah riang yang sudah lama tidak Meli lihat sejak kepergian abak dua tahun yang lalu.
“Iko anak ambo yang tadi ambo kecean, namonyo Meli. Meli ko anaknyo rajin dan bertanggung jawab, cocok lah jo anak uni,” ucap amak memperkenalkan Meli pada seorang ibu-ibu duduk berhadapan dengan amak.
“Kameknyo lai, iyo ndak, Ril,” ucap ibu-ibu itu pada seorang pemuda di sampingnya. Pemuda itu tersenyum mengangguk.
“Kalaulah lai satuju niniak mamak disiko untuak manikahan Meli jo anak ambo, iyo sanang bana hati kini ko,” ucap pria tua di samping pemuda itu sambil mengangguk takzim.
“Lai satuju, Meli,” tanya Mamak Safi selaku adik amak untuk menjadi wali.
Meli tak mengangguk maupun menggeleng. Hening.
Discussion about this post