Kembali ke persoalan kata magrib yang mengalami peyorasi di media sosial, ternyata juga muncul satu kata tandingan yang viral dalam waktu yang hampir bersamaan. Kata itu adalah gila. Kata gila di dalam KBBI memiliki makna ‘1. Gangguan jiwa; sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal); 2. Tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk akal); 3. cak terlalu; kurang ajar (dipakai sebagai kata seru, kata afektif); 4. cak ungkapan kagum (hebat); 5. terlanda perasaan sangat suka (gemar, asyik, cinta, kasih sayang); 6. tidak masuk akal’.
Dari enam makna kata gila di atas, kata gila lebih banyak bermakna negatif. Di kalangan pengguna media sosial Indonesia, kata ini menjadi keterangan untuk kata orang dengan tuturan “orang gila mana yang …”. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaannya di kalangan pemilik akun media sosial Indonesia.
- Orang gila mana yang masih berharap dengan orang yang sudah meninggalkannya.
- Orang gila mana yang selalu membuat rencana jalan-jalan ke Eropa tapi nggak pernah terjadi.
- Orang gila mana yang jalan kaki sejauh ini untuk bertemu kekasihnya.
- Orang gila mana yang dasternya sudah bolong tapi masih dipakai.
Dari empat contoh tuturan tersebut, kita bisa menarik kesimpulan konteks atau tujuan dari konten, yaitu:
- Para pembuat konten ingin menceritakan hal unik yang sudah dilakukannya tetapi jarang atau tidak mungkin dilakukan oleh orang lain.
- Para pembuat konten ingin menyampaikan bahwa dia melakukan kegiatan berkali-kali yang sudah diketahui tidak akan ada hasilnya.
- Para konten kreator berlomba-lomba menampilkan keunikan kepribadian diri dan kehidupannya.
Segala keunikan tersebut dianggap sebagai “hal gila”. Untuk itu, kita kembali ke KBBI. Salah satu maknanya adalah ‘Tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk akal)’. Akan tetapi, ini bernuansa negatif. Kita bisa melihat contoh pemakaian lazimnya:
- Kurasa di sudah gila duduk di sana selama dua hari tanpa tidur.
- Sepertinya dia sudah gila karena teriak-teriak sepanjang jalan.
Predikat gila biasanya dinilai atau diberikan seseorang kepada orang lain yang tingkahnya tidak lazim (tetapi dalam konteks negatif karena di dalam KBBI diberi keterangan “yang bukan-bukan”). Akan tetapi, di media sosial, pembuat kontenlah yang memberi predikat gila itu kepada dirinya sendiri. Pembuat konten sudah mengklasifikasikan perbuatan mereka itu gila dan melabeli dirinya “orang gila”. Tentu saja hal ini tidak dilakukan untuk mencela dirinya sendiri tetapi untuk memfokuskan keunikan kepribadiannya atau sesuatu yang telah dilakukannya. Dengan demikian frasa orang gila berubah berkonteks menjadi positif. Hal ini berbeda dengan makna leksikalnya. Oleh sebab itu, kita bisa menyebutkan bahwa saat ini kata gila mengalami perubahan makna ameliorasi yang sangat berbeda dengan persoalan kata magrib.
Dua istilah ini, magrib dan orang gila, sangat banyak beredar di kalangan pengguna media sosial Indonesia. Kita tentu saja berharap tingginya tingkat kreativitas bahasa di media sosial tidak mengubah hal yang sesuai dengan kodratnya, seperti sesuatu yang mulia menjadi lebih rendah. Semoga tulisan ini bisa membuka wawasan dan kepekaan kita terhadap perubahan makna kata dalam bahasa Indonesia.
Discussion about this post