Kita Akan Kemana Ayah?
Oleh Afrizal Jasmann
“Silahkan duduk dulu, Pak. Biar saya panggilkan wali kelasnya Intan.” Ucap perempuan muda yang sepertinya guru magang tersebut.
“Ya, terima kasih,” jawab Safri sembari duduk di kursi besi panjang yang ada di lorong itu. Kendatipun demikian pandangannya tidak pernah lepas dari suasana halaman sekolah yang dipenuhi keriuhan anak-anak sekolah yang sedang bermain bola.
Tidak berapa lama, dari arah samping muncul seorang guru perempuan. Raut wajahnya berkarakter, penuh rona riasan. Seketika Syafri berdiri dan bertegur salam. Guru yang bernama Norma itu mengajak Safri masuk ke ruangannya. Safri berjalan dengan gugup di antara meja-meja yang tersusun rapi. Di sana sudah ada beberapa orang guru. Laki-laki dan perempuan.
“Ya, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” Tanya Bu Guru Norma ketika mereka telah sampai di tujuan.
“Ini, soal Intan, Bu Guru…,” jawab Safri pelan.
Seorang guru lain yang duduk di sebelah Bu Norma mendelik pada Safri. Hal itu membuat lelaki awal empat puluh tahunan itu merasa terawasi.
“Bagaimana soal Intan, Pak?” tanya Bu Norma lagi merasa tidak ada gangguan apa-apa.
Safri terdiam sejenak. “Mmm…bukankah kemaren Bu Guru yang mengirim surat ini agar saya datang menghadap?” tanya Safri sembari memperlihatkan selembar surat.
“Surat?” tanya Bu Norma pula sembari menerima surat itu, lalu membacanya. “Oohh, Intan Permata Safri?” tanggap guru perempuan itu kemudian. “Saya kira Intan Nur’aini.”
“Bukan.”
“Bu Tika! Ada Bu Tika?” Sorak Bu Norma pada seisi ruang guru itu.
“Pergi ke Musola sepertinya, Bu. Mungkin solat duha,” jawab seseorang
“Tolong sampaikan, ada orang tua muridnya mau ketemu!” Sorak Bu Norma lagi pada seseorang itu.
Berselang beberapa saat, Bu Tika muncul dan segera menemui Safri. Wajahnya terlihat bersih dan terkesan lebih muda dari usia yang sebenarnya.
“Maaf, Pak sudah menunggu,”
Safri hanya mengangguk maklum. Bu Tika membuka buku catatan kerjanya. Pada halaman agak ke tengah, ia menemukan catatan tentang Intan. Ada beberapa poin yang ia garis bawahi disana. Sepertinya penting.
“Pak, dari catatan kami, dalam sebulan ini Intan sudah tujuh kali tidak masuk sekolah karena sakit. Ada apa dengan Intan, Pak?”
“Ya, Bu Guru. Intan memang sering sakit akhir-akhir ini. Tiba-tiba saja pada tengah malam badannya panas dan kemudian demam seharian.”
“Apa sudah dibawa kedokter supaya tahu sakitnya apa dan kenapa?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Obat warung saja sudah cukup baginya, Bu Guru.”
“Tapi kita jadi tidak pernah tahu sakitnya apa. Hanya sembuh, besoknya demam lagi. Mungkin saja ada…”
“Tidak apa-apa,” potong Safri cepat.
Sesaat suasana hening. “Apa ada hal lain, Pak?” Tanya Bu Tika kemudian seperti hendak mengakhiri pertemuan siang itu.
“Tidak ada.”
“Baiklah,” ringkas Bu Tika sembari berdiri dan menemani Safri pergi ke luar ruangan.
Sesampai di luar, ketika hendak pamit. “Bu Tika, apa Intan pernah bicara tentang ibunya belakangan ini?”
Guru perempuan itu diam sejenak. “Tidak,” ucapnya kemudian. “Kenapa?”
“Akhir-akhir ini dia sering menggigau.”
“Kenapa bisa begitu, Pak?”
“Entahlah. Ia selalu menyebut-nyebut ibunya, lalu menangis.”
“Mungkin ia rindu, Pak,” tanggap Bu Tika.
“Entahlah, tapi saat ditanya ia hanya diam. Seakan sedang bermimpi. Lalu badannya panas dan demam,” jawab Safri.
“Apa Pak Safri sudah menghubungi ibunya?” tanya Bu Tika.
Safri hanya diam. Seperti ada sesuatu yang tidak dapat ia ungkap dan hanya berputar-putar di dalam dada.
“Coba hubungi dan biarkan mereka bicara. Siapa tahu rindunya akan terobati,” saran Bu Tika kemudian.
Safri menghela nafas sesaat. “Beberapa hari lalu Ibunya nelpon, katanya ia akan pulang sebentar. Lalu…” Safri terdiam seketika. Bu Tika menahan nafas, menunggu kelanjutan kata-kata yang terputus itu.
“…ia akan membawanya ke sana.”
Bu Tika menghembuskan sehelai nafas yang tadi sempat tertahan.
“Katanya saya tidak becus mengurus anak hingga sakit-sakitan,” sambung Safri.
“Darimana ia tahu Intan sakit-sakitan?”
“Sejak awal ia punya banyak mata dan telinga di sekitar kami,” jelas Safri.
“Apa Intan tahu kalau ibunya akan pulang dan mau membawanya pergi?”
“Ya. Ia duduk di samping saya ketika itu dan mendengar semuanya,” jawab Safri.
“Apa katanya?”
“Intan ingin saya juga ikut kesana. Hehh.., suatu yang tidak mungkin,” jawab Safri sembari tersenyum ketus.
“Mungkin Intan ingin Pak Safri bersatu lagi dengan Ibunya,” ucap Bu Tika sembari tersenyum tipis.
“Sudahlah, Tika jangan katakan itu.” potong Safri tanpa menyebut kata ‘Bu’ lagi pada wali kelas anaknya itu. Mengapa ia jadi begitu lencang? Apa karena sudah sangat marah ketika diingatakan lagi tentang mantan istrinya itu?
Bukan, tapi mereka memang telah berteman sebelumnya dan pada masanya dulu pernah bersekolah di sekolah menegah yang sama. Walau tidak sekelas, tapi pernah terlibat dalam kegiatan ektrakuler bersama. Panggilan Bapak dan Ibu itu hanyalah sebagai sebutan formalitas semata.
“Ayaaaaah!” Tiba-tiba Intan muncul dari suatu arah dan berlari kencang ke arah Safri. Lelaki itu menyambutnya dan memeluk erat seakan mereka sudah lama tidak bertemu. “Ayah, lihat ada Ibu,” ucap Intan kemudian.
“Mana?!” Tanya Safri kaget. Begitu juga dengan Bu Tika yang masih berdiri tidak jauh dari mereka.
“Disana!” Tunjuk Intan ke arah gerbang sekolah yang berjarak sekitar lima puluh meter dari mereka.
Menanggapi keadaan itu, seketika Safri menggendong Intan dan membawanya segera menyusuri lorong ke arah halaman belakang sekolah. “Sssttt…” ucapnya pada Bu Tika dan berlalu.
“Kita mau kemana, Yah?” Tanya Intan bingung sembari kembali menoleh kearah gerbang sekolah.
“Ke rumah Nenek,” jawab Safri singkat.
“Apa Nenek sudah pulang dari pasar? Apa Ayah punya kunci rumah? Bukannya kunci Ayah masih hilang?” tanya Intan bejibun.
“Diamlah,” pangkas Safri. Sesaat mereka telah sampai dipintu kecil pagar halaman belakang sekolah. Berikutnya Safri memilih jalan berliku melewati gang-gang pemukiman yang ada di sana.
“Kita mau kemana, Ayah?” Tanya Intan sekali lagi. “Ini bukan jalan ke rumah Nenek.” Sambungnya. “Kenapa kita tidak ketemu Ibu saja? Ibu pasti senang melihat kita.”
Sebuah angkutan umum berhenti tepat di depan mereka. “Ayo naik.” Ucap Safri pada anak perempuannya itu. Dengan nafas terengah, ditolehnya ke arah belakang. Benar saja, di sana terlihat Dahlia, Ibunya Intan dengan seorang laki-laki sedang berusaha mengejar mereka.
“Ayo jalan, Pir!” Ucap Safri pada sopir angkutan umum itu. Seorang perempuan tua yang duduk tidak jauh dari mereka menatapnya curiga. Safri menatapnya balik hingga perempuan itu mengalihkan pandangannya. Namun tidak hanya perempuan itu saja yang ada diangkutan umum tersebut. Ada beberapa orang lagi yang sepertinya juga penuh curiga.
“Ayah, kita mau kemana? Tas dan buku Intan masih di kelas,” ucap Intan lagi. Kali ini disertai suara serak dan mata yang mulai basah.
“Diamlah, Nak. Nanti kita ambil bukunya. Sekarang kita ke rumah Nenek dulu. Mungkin sekarang Nenek sudah sudah ada di rumah,” jawab Safri berusaha menenangkan perasaan anak perempuannya itu.
“Tapi ini bukan jalan ke rumah Nenak..” rengek Intan kemudian.
Safri memeluk Intan erat dan berkata pelan penuh intonasi. “Intan lihat laki-laki yang bersama Ibu tadi? Ayah tidak mengenalnya. Mungkin dia orang jahat dan akan membawa Intan pergi jauh. Setelah itu Intan tidak akan pernah bertemu Ayah lagi. Intan mau seperti itu?” Anak perempuan itu menggeleng pelan dalam pelukan Ayahnya. “Maka diamlah. Intan satu-satunya harta Ayah. Ayah tidak ingin kehilangan Intan.” Sambung Safri. Setetes dua tetes air mata jatuh mengalir di kedua pipinya. Seisi angkutan umum yang mendengar perkataan itu kini beralih menatapnya hiba. Hilang sudah rasa curiga yang sempat mereka sematkan.
Angkutan umum itu terus melaju. Kemanapun arahnya, Safri hanya mengikut saja. Yang utama saat ini ia bisa lepas dari kejaran Dahlia, sang mantan istri yang akan merenggut anak semata wayangnya itu.
“Ayah, Intan lapar,” ucap anak perempuan itu lirih.
Safri merogoh kantongnya dalam. Tidak sesuatu apapun yang dapat ia temukan di sana. Perempuan tua yang tadi sempat menatapnya curiga, kali ini kembali menatapnya dalam. Seketika Safri teringat dengan Nek Risma.
Orang tua angkatnya itu mungkin sekarang sudah menyiapkan makan siang untuk mereka sembari bertanya-tanya kenapa mereka belum kembali. Sekali lagi tetesan air mata jatuh di kedua pipi Safri. Gemuruh di dadanya bergelora begitu hebat. Intan yang berada dalam pelukannya dapat merasakan itu dan memeluknya semakin erat. Sementara laju kendaraan tumpangan semakin jauh berjalan dan entah kemana. (*)
Tentang Penulis
Afrizal Jasman merupakan nama pena dari Afrizal S.Sn. Pria kelahiran Toboh Sikaladi Sintoga pada 15 April 1982. Saat ini tinggal di Kabun Bungo Pasang, Ulakan Tapakis, Padang Pariaman. Afrizal memiliki sanggar yang berada di tanah kelahirannya Toboh Sikaladi, Sintoga Padang Pariaman. Ia dapat dihubungi pada email: afrizaljasmann737@gmail.com. Fb: Afrizal Jasmann (Ajiw) dan Ig: afrizaljasmann2022.
Soal Cerita Pendek dengan Akhir Terbuka
(Analisis Cerita Pendek “Kita Akan Kemana, Ayah?” Karya Afrizal Jasmann)
Oleh: Azwar
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat)
Open Ending adalah jenis akhir cerita yang tidak memiliki resolusi yang jelas. Penulis bisa mengakhiri kisah cerpennya dengan pertanyaan atau tantangan yang belum terjawab, sehingga membuat pembaca terus berpikir tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Beginilah cerita pendek berjudul “Kita Akan Kemana, Ayah?” ini diakhiri.
Saya membenci akhir cerita ini. Afrizal Jasmann (AJ) pada beberapa Cerita Pendeknya akhir-akhir ini selalu ingin mempermainkan perasaan pembacanya. Ia urai sebuah cerita dengan begitu menyentuh perasaan pembaca. Ketika pembaca sudah hanyut dalam ceritanya, ketika pembaca sudah memiliki ekspektasi akan cerita ia hempaskan pembaca pada situasi tak terduga “penuh tanda tanya”.
Begitulah AJ menulis cerita yang ditayangkan Kreatika edisi ini yang berjudul “Kita Akan Kemana, Ayah?”. Cerita ini menceritakan seorang laki-laki 40 tahunan bernama Safri. Duda beranak satu yang berusaha mempertahankan anaknya dari mantan istrinya. Sebenarnya bukan dari istrinya tapi dari lelaki yang sudah merebut istrinya dan sekarang akan merebut anaknya. Hal ini dapat terlihat dalam dialog Safri berikut ini.
“Intan lihat laki-laki yang bersama Ibu tadi? Ayah tidak mengenalnya. Mungkin dia orang jahat dan akan membawa Intan pergi jauh. Setelah itu Intan tidak akan pernah bertemu Ayah lagi. Intan mau seperti itu?” (Jasmann, 2024).
Kutipan itu menjadi inti cerita pendek ini, tentang seorang Ayah yang tidak ingin kehilangan anaknya setelah ia kehilangan istrinya. Cerita sederhana tetapi cukup menguras emosi pembaca. Jika dilihat bagaimana sebuah cerita pendek yang baik, berdasarkan teori-teori ada beberapa hal yang harus dia penuhi. Cerita pendek yang baik memiliki beberapa elemen penting yang saling berinteraksi untuk menciptakan pengalaman membaca yang memikat dan memuaskan.
Contoh cerita pendek yang baik sering kali bisa ditemukan dalam karya-karya klasik seperti cerita pendek karya Anton Chekhov, Edgar Allan Poe, atau dalam literatur modern seperti karya-karya Haruki Murakami. Cerita-cerita ini menunjukkan bagaimana elemen-elemen di atas dapat digabungkan untuk menciptakan narasi yang kuat dan memikat.
Atar Semi dalam bukunya Anatomi Sastra (1988) menyampaikan bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Cerita pendek yang menarik memiliki plot yang kuat dan jelas. Pada bagian pendahuluan cerpen akan memperkenalkan setting, karakter utama, dan situasi dasar. Dari situ kita bisa melihat bahwa cerita ini latarnya adalah sebuah sekolah di sebuah kota kecil yang tidak disebutkan AJ dengan jelas dimana kotanya. Karakter utamanya tentu saja Safri, duda yang memiliki anak bernama Intan. Kemudian situasinya adalah ia sedang berusaha mempertahankan anaknya untuk tidak diambil orang mantan istrinya.
Cerita pendek seharusnya memiliki konflik, yaitu memperkenalkan masalah atau tantangan yang dihadapi karakter. Selain itu juga memuat klimaks atau titik puncak cerita di mana ketegangan mencapai puncaknya dan juga resolusi menyelesaikan konflik dan memberikan kesimpulan bagi cerita.
Cerpen yang menarik juga memilik karakter yang menarik dan kompleks. pengembangan karakter kan terlihat meskipun cerita pendek memiliki ruang terbatas, karakter harus terasa hidup dan nyata. Selain itu juga harus memuat motivasi yaitu karakter harus memiliki tujuan atau motivasi yang jelas yang menggerakkan tindakan mereka. Oleh sebab itu dapat dilihat bagaimana Safri ingin mempertahankan anaknya. Cerita juga harus memuat pertumbuhan, beberapa cerita pendek menampilkan perubahan atau perkembangan dalam karakter utama.
Hal lain yang penting untuk sebuah cerita pendek adalah setting yang hidup. Deskripsi yang detail tentang latar, hal ini bisa dibuat dengan menggunakan deskripsi yang kaya untuk menghidupkan latar cerita. Selain itu tentu harus memiliki atmosfer atau setting harus mendukung suasana dan tema cerita.
Cerita pendek yang baik juga memiliki tema yang kuat. Pesan atau ide utama cerita pendek sering kali menyampaikan satu tema atau pesan utama yang jelas. Tema yang menarik bisa merupakan refleksi sosial atau emosional. Tema sering kali mencerminkan isu-isu sosial, moral, atau emosional yang relevan.
Gaya penulisan yang efektif juga perlu diperhatikan untuk membuat cerita yang baik. Hal ini terkait bahasa yang tepat bahasa yang sesuai dengan tone dan suasana cerita. Trik tambahan lain adalah penggunaan detail. Detail kecil sering kali membuat cerita lebih hidup dan nyata. Dialog yang alami juga harus sesuai dengan karakter.
Cerita yang baik bisa juga ditambahkan dengan akhir yang memuaskan. Hal ini tentu tidak selalu harus seperti ini. Ada juga akhir-akhir cerita yang tragis dan berakhir sedih. Tapi khusus untuk cerita pendek AJ ini emosi pembaca sudah sangat terkuras karena ending cerita yang terbuka ini. Pembaca tidak disuguhkan ending yang memuaskan untuk pembaca.
Selain itu AJ menyisakan sebuah plot yang tidak tergarap, contohnya bagaimana hubungan Safri dengan Tika. Kutipan ini menunjukkan ada harapan terhadap hubungan Safri dan Tika ini.
““Sudahlah, Tika jangan katakan itu,” potong Safri tanpa menyebut kata ‘Bu’ lagi pada wali kelas anaknya itu. Mengapa ia jadi begitu lencang? Apa karena sudah sangat marah ketika diingatakan lagi tentang mantan istrinya itu? Bukan, tapi mereka memang telah berteman sebelumnya dan pada masanya dulu pernah bersekolah di sekolah menegah yang sama. Walau tidak sekelas, tapi pernah terlibat dalam kegiatan ektrakuler bersama. Panggilan Bapak dan Ibu itu hanyalah sebagai sebutan formalitas semata.” (Jasmann, 2024).
Kutipan di atas menunjukkan seolah-olah Bu Tika yang merupakan guru sekolah anak Safri memiliki hubungan yang penting dalam cerita ini. Pada bagian ini pembaca menduga-duga apakah Tika calon pengganti ibu Intan? Atau apakah Tika orang ketiga di keluarga Safri dulunya? Atau justru ada kisah lainnya yang tidak terbaca?
Bagian ini seperti cabang cerita yang gagal tumbuh. Pembaca pada awalnya menduga ada hubungan jalinan cerita Safri yang panjang ini dengan Tika. Bahkan saya menduga apakah mungkin Tika adalah Ibunya Intan atau mantan istri Safri. Tapi tokoh Tika ternyata hadir tanpa memberikan arti dalam cerita ini. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post