Puisi-puisi Eza Safitri
Saturnus
Rindu kian menyeruak tiap sudut hati
Saat menjadikanmu pengisi sanubari
Biar saja seperti ini
Engkau juga akan tetap menjadi ilusi
Membentuk tatanan kisi-kisi
Untuk kujadikan sajak puisi
Meski yang kutulis kini
Bukan lagi perihal jatuh hati
Hanya keping patahan hati
Biar rasa ini saja yang abadi
Dalam setiap sajak yang terpatri
Pena rinduku yang menjadi saksi
Serdang Bedagai, Maret 2024
Bunga Matahari
Kau mungkin telah pergi
Namun hadirmu tidak luput dalam imaji
Bayangmu juga tak henti menyambangiku dalam mimpi
Walau penantian ini bisa saja bertukar menjadi ilusi
Namun kau perlu sadari bahwa penantian ini sungguh sepenuh hati
Jangan menjadi belati
Seenaknya menyayati
Lalu menanggung karatnya seorang diri
Serdang Bedagai, Maret 2024
Melodi Hati
Aku bersenandung pada tiap lembar kertas
Menumpahkan segala keresahan yang tidak mampu kuretas
Berdamai dengan masalah yang menolak untuk habis
Penaku menari menyamakan dengan melodi hati
Lagi-lagi penaku menjadi saksi
Tentang keresahan yang tak mampu kuatasi
Menggoreskan kisah hidup penuh arti
Menumpahkan segala emosi
Ketika harapan tak kunjung membawa pasti
Hingga diri tidak lagi merasa berarti
Serdang Bedagai, Maret 2024
Eza Safitri, saat ini bersekolah di SMK Negeri 1 Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara. Penulis termasuk penulis pemula asuhan tim inovasi WAPER Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Serdang Bedagai.
Mematri Kata Menstabilkan Emosi
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Jangan menjadi belati
Seenaknya menyayati
Lalu menanggung karatnya seorang diri
Reeves (dalam Waluyo, 2010) menyatakan puisi adalah karya sastra yang bahasanya bersifat konotatif karena banyak menggunakan makna kias dan makna lambang atau majas. Puisi lebih bersifat konotatif, dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain. Bahasanya lebih memiliki banyak kemungkinan makna. Hal ini disebabkan karena pemadatan kekuatan bahasa di dalam puisi selalui diksi atau pilihan kata yang sangat selektif. Struktur fisik dan struktur batin puisi juga padat. Keduanya bersenyawa secara terpadu membentuk kesatuan yang estetis.
Puisi sebagai karya sastra mempunyai fungsi estetika, yakni fungsi keindahan. Keindahan dalam puisi yang mencakupi unsur diksi (pilihan kata), gaya bahasa, irama, dan persajakan. Unsur-unsur estetika tersebut sangat dominan dalam puisi. Menurut Wellek & Austin Warren (1990:36) fungsi estetika atau fungsi keindahan bagi puisi merupakan fungsi yang utama. Menulis atau membuat puisi merupakan aktivitas pemadatan. Dalam puisi yang ditulis hanya sari-sarinya atau intinya. Kata-kata dalam baris tiap baitnya, dipadatkan. Bahkan untuk kepentingan pemadatan, penyair dalam menggunakan kata-kata hanya menulis inti dasarnya, gagasan utama yang menjadi makna kata. Dalam pemakaian kata-kata, penyair tidak menulis secara lengkap misalnya dengan awalan, akhiran atau imbuhan.
Bahasa yang digunakan oleh seorang penyair manakala menyampaikan tujuan dan gagasannya dalam puisi menjadi ciri khas tersendiri bagi dirinya. Hasanuddin (2002: 80) menyatakan bahwa ”Bahasa puisi adalah bahasa hasil kristalisasi pengalaman, perasaan, dan pikiran yang menyatu erat menjadi suatu obsesi. Dikonkretkan oleh penyair dengan bahasanya sendiri”. Maksud pernyataan di atas, bahwa pengucapan dalam puisi sangat tergantung pada penyairnya. Hal ini berakibat munculnya perbedaan pola pengucapan antara satu puisi dengan puisi yang lain.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi karya Eza Safitri. Ketiga puisi tersebut berjudul “Saturnus”, “Bunga Matahari”, dan “Melodi Hati”.
Puisi pertama, “Saturnus” mengundang rasa penasaran karena memakai nama salah satu planet di tata surya sebagai judul. Di dalam ilmu astronomi, Saturnus diidentifikasi sebagai planet yang memiliki sistem cincin spektakuler yang terbuat dari bongkahan es, debu karbon, serta terbuat dari batu. Cincin Planet Saturnus juga merupakan cincin terluas yang ada di tata surya. Cincinnya membentang di lebih dari 120.700 kilometer dari planet ini. Selain itu Planet Saturnus memiliki waktu rotasi yang sangat cepat. Sehari di Planet Saturnus hanya 10 jam 34 menit. Sementara itu, waktu yang akan dihabiskannya untuk mengelilingi Matahari (revolusi) dalam 1 kali sangatlah lambat, setahun di Saturnus sama dengan 29,4 tahun Bumi. Fakta ini menjadi dasar Saturnus dijadikan lambang penuaan dan waktu.
Sepertinya simbol penuaan dan waktu inilah yang menjadi gagasan dari puisi pertama Eza. Larik-larik ini ‘Rindu kian menyeruak tiap sudut hati/ Saat menjadikanmu pengisi sanubari/ Biar saja seperti ini’ menyiratkan waktu yang dari satu sisi seperti melambat, berlalu pelan tanpa desakan, namun di sisi lain bisa terkesan singkat. Nama Saturnus yang diambil dari mitologi dewa Yunani memang seperti imajinasi belaka, khayalan, atau ilusi, ‘Engkau juga akan tetap menjadi ilusi/ Membentuk tatanan kisi-kisi/ Untuk kujadikan sajak puisi’. Fakta ilmiah menyebut permukaan planet Saturnus yang tidak bisa dipijak sebagaimana permukaan bumi karena terdiri atas gas-gas menjadi lambang yang pas untuk ilusi. Didukung pula oleh pengalaman visual planet ini terlihat sebagai benda langit yang cukup terang terlihat dari bumi.
Puisi kedua, “Bunga Matahari”, sama seperti puisi pertama tidak menyebutkan kata yang menjadi judulnya di dalam baris-baris puisi. Judul dan isi puisi dihubungkan oleh semacam penanda atas perasaan yang hendak diungkapkan penyair melalui puisi. Puisi ini bernuansa romantisme, yakni aliran yang berprinsip bahwa karya sastra merupakan cerminan kehidupan manusia yang berliku-liku dengan menggunakan bahasa yang indah sehingga dapat menyentuh emosi pembaca (Endraswara, 2003).
Emosi yang diekspresikan puisi ini adalah kesedihan akibat pengalaman kehilangan. Eza mengggambarkan kehilangan tersebut, ‘Kau mungkin telah pergi/ Namun hadirmu tidak luput dalam imaji/ Bayangmu juga tak henti menyambangiku dalam mimpi/ Walau penantian ini bisa saja bertukar menjadi ilusi/ Namun kau perlu sadari bahwa penantian ini sungguh sepenuh hati’. Kehilangan karena ditinggalkan seseorang yang dikagumi membutuhkan waktu lama untuk dapat kembali ke keadaan normal. Oleh karena itu, meskipun harapannya kecil, menunggu untuk bertemu kembali tetap dipilih, seperti harapan bersemi kembalinya bunga yang sudah gugur.
Meski dengan pasrah si aku lirik berjanji akan menanti sepenuh hati, ia tak dapat menyangkal rasa kecewa dan marah. Kemarahan itu dilepaskan secara lembut namun berhasil menyampaikan pesan yang tajam: ‘Jangan menjadi belati/ Seenaknya menyayati/ Lalu menanggung karatnya seorang diri’. Ungkapan belati yang seenaknya melukai mempunyai bunyi nada yang indah tapi mengandung arti yang sebaliknya, keindahan yang menyebabkan luka. Penulis sangat menjaga aspek bunyi akhir larik-larik puisi ini. Seluruh larik diberi akhiran –i. Bunyi ini berpengaruh pada impresi puisi, beban tema kehilangan menjadi tidak terlalu suram menekan perasaan.
Puisi ketiga, “Melodi Hati” sangat dekat dengan aktivitas literasi, khususnya menulis untuk mengekspresikan perasaan dan gagasan, ‘Aku bersenandung pada tiap lembar kertas/ Menumpahkan segala keresahan yang tidak mampu kuretas’. Penulis menggunakan majas sinestesia, yaitu metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain. Kata bersenandung yang berhubungan dengan suara yang ditangkap alat indra pendengaran disilangkan ke tangkapan indra penglihatan, yakni lembar kertas. Senandung perasaan aku lirik direalisasikan ke dalam bentuk tulisan di lembaran kertas.
Jika disederhanakan, puisi ketiga ini akan terbaca sebagai berikut: seseorang sedang menggoreskan pena di atas lembaran kertas untuk menumpahkan segala kegelisahan emosinya atas permasalahan hidup yang tidak mampu diatasinya. Aktivitas mengeluarkan keresahan hati dan pikiran ke dalam tulisan merupakan tindakan yang bagus untuk meredakan tekanan batin.
Menurut Intermountain Healthcare, menulis dapat membantu mengekspresikan emosi melalui kata-kata sehingga dapat membantu penyembuhan. Menulis bisa menjadi salah satu cara mengatur dan mengurangi stres. Menulis selama 15-20 menit setiap 3-5 hari dalam 4 bulan bisa menurunkan tekanan darah dan meningkatkan fungsi hati. Menulis bisa menjadi kebiasaan meditasi sebelum tidur yang membantu melepas dan menghilangkan stres.
Supaya permasalahan hidup tidak menjadi karat yang merusak dan menghancurkan diri, menulis bisa dijadikan solusi. Melalui puisi yang ditulis, Eza sedang menstabilkan entakan emosinya, sekaligus juga mematri pengalaman berharga di dalam perjalanan hidupnya menjadi dokumen abadi. []
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post