Oleh: Ronidin
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Dari jendela pesawat Garuda Indonesia yang membelah langit Sumatera, mata saya terpaku tak beranjak memandangi kawasan Mandeh yang memesona. Sebagai anak negeri yang kala itu baru pulang dari Korea Selatan, ingatan saya langsung tertuju pada kawasan di sepanjang pantai timur Korea, termasuk kawasan Pantai Haeundae di Busan. Bila kawasan pantai di sepanjang Semenanjung Korea “dibuat” menjadi indah, kawasan Mandeh di Pesisir Barat Sumatera Barat menyajikan keindahan yang murni diberikan alam. “Maka nikmat Tuhanmu mana lagikah yang kamu dustakan”. Kawasan Mandeh yang belum diapa-apakan saja sudah begitu memesona, apatah lagi bila pesona itu disentuh teknologi pariwisata. Amazing! Mandeh seperti beradik-berkakak dengan Wakatobi, surga di ujung tenggara Sulawesi atau dengan kawasan Raja Ampat di Papua Barat.
Sebelum akses jalan ke kawasan Mandeh dibuka, untuk menikmati kawasan tersebut para petualang wisata menggunakan boat dari pelabuhan Bungus menyusuri gugusan pulau-pulau emas di sepanjang Bungus Teluk Kabung ke selatan. Ketika akses jalan selesai dan dibuka tahun 2019, kawasan Mandeh tercelak. Jalan baru dengan latar yang eksotis yang menghubungkan kawasan Teluk Kabung-Sungai Pisang-Sungai Nyalo-Mandeh-Carocok di Tarusan sepanjang lebih kurang 41 km membuka mata dunia bahwa kawasan itu memang seperti surga yang dianugerahkan Tuhan untuk Sumatera Barat. Kawasan Mandeh yang sebelumnya bagi banyak orang hanya bisa disebut-sebut saja keindahannya, kini bisa dinikmati dengan nyata. Kawasan yang terdiri dari perpaduan antara bukit dan teluk serta pulau-pulau kecil di bagian tengah teluk disebut-sebut sebagai yang terindah di Pantai Barat Sumatera.
Pasca jalan dibuka untuk umum, berduyun-duyun orang melawat ke sana. Penulis dan keluarga pun mencobanya. Kami menyusuri jalan baru itu mulai dari ujung selatan Bungus Teluk Kabung hingga ke Carocok Tarusan. Wah, jalannya ngeri. Mendaki dan menurun seperti roller coaster. Jika sopir tak ahli dan kendaraan tak oke, bisa-bisa kendaraannya mogok di sana sini. Untungnya jalannya mulus disertai dengan suguhan pesona bahari yang luar biasa. Jalan mendaki dan menurun itu hanya kuat dilalui oleh mini bus. Bus besar dengan jumlah penumpang yang banyak tidak ada yang berani menyusuri jalanan tersebut. Bus besar mendahului ke Carocok Tarusan yang lebih landai. Dari sana penumpangnya ke Mandeh dengan moda transportasi lain yang tersedia di sana. Jika memaksakan mendaki dan menurun di sepanjang jalan baru di kawasan Mandeh, bisa-bisa keinginan menikmati surga di sepanjang kawasan itu berubah menjadi petaka.
Cerita ini pengalaman ke Mandeh yang mungkin bisa menjadi evaluasi bagi pelaku dan penikmat wisata lain di daerah ini atau mungkin juga bagi pemerintah yang mengelola kawasan tersebut. Kawasan Mandeh yang ibarat surga di Pantai Barat Sumatera Barat itu seperti orang yang sedang baru bangun tidur. Semua menggeliat di sana. Ada yang menggeliat ke arah yang positif, tetapi ada juga yang tidak. Akses ke Mandeh yang terbuka membuka peluang bagi banyak orang untuk menggerakkan ekonomi mereka. Hanya saja kebiasaan buruk dari masyarakat di sekitar tetap ada menyertai itu. Ini pengalaman kami, entahlah dengan yang lain.
Ketika kami melewati jalan baru di kawasan Mandeh, di sepanjang jalan yang eksostis itu banyak anak-anak muda di beberapa titik yang menengadahkan kotak atau kardus meminta uang dari setiap kendaraan yang lewat. Juga ada beberapa oknum yang memaksa pengunjung untuk menggunakan jasa mereka. Harus bayar ini-itu yang tidak wajar. Termasuk pula oknum-oknum yang main pakuak. Ini mengganggu kenyamanan pengunjung. Ketika mereka sedang duduk-duduk menikmati apa yang mereka cari atau sedang berfoto-foto mengabadikan momen-momen yang mereka lewati, ada saja orang-orang yang mengganggu mereka, misalnya tukang foto yang menawarkan jasa foto kilat, tukang asongan yang menawarkan dagangan mereka, tukang kedai yang menawarkan produk mereka sambil memaksa karena si pengunjung duduk di sekitar area mereka, atau tukang parkir dadakan yang memungut biaya parkir setengah memaksa.
Lain lagi tentang kesadaran kita terhadap sampah. Kawasan yang indah itu kalau sampahnya tidak dikelola dengan baik, lama kelamaan akan menjadi tidak menarik. Sepanjang perjalanan kami, saya menyaksikan orang-orang yang membuang sampah sembarang di jalan dan di tempat-tempat mereka singgah. Lagi pula di sana juga tidak tersedia tempat-tempat sampah yang cukup. Botol-botol bekas minum dibuang sembarangan. Bekas bungkus makanan atau nasi ditinggalkan saja setelah isinya dimakan. Lalu dikorek-korek oleh binatang yang juga mencari makan. Tisu dibuang sembarangan. Bahkan dari mobil-mobil milik orang berkelas pun tisu dan botol meloncat melalui jendela kaca mobilnya. Para pedagang yang ada di berbagai tempat juga membuang sampah mereka dengan seenak mereka. Di banyak tempat sampah-sampah itu menumpuk dan menggunung membentuk pemandangan baru yang tidak menyedapkan mata.
Mengenai tumpukan sampah seperti itu saya ingatan saya dibawa ke beberapa tempat di sepanjang gugusan pantai Barat Sumatera Barat, misalnya ke kawasan Bukit Siti Nurbaya di Gunung Padang. Di sana di balik batu besar di puncak bukit yang indah untuk menyaksikan laut lepas dan kota Padang itu, entah siapa yang membuang sampah hingga bertumpuk-tumpuk dan sudah melumut. Keindahan yang seharusnya dinikmati dari sekitar tempat itu jadi berkurang akibat tangan-tangan yang cenderung main praktis saja, tak memikirkan dampak jangka panjangnya. Mungkin saja sampah-sampah itu adalah bekas makan dan minum dari orang-orang yang datang ke sana yang silih berganti, atau bisa juga dari oknum-oknum yang lain. Entahlah. Yang jelas saya melihat di sana ada sampah. Saya melihat di sana belum ada kesadaran untuk menjaga dari apa yang sudah ada. Bila hujan deras datang mengguyur kota Padang dan sekitarnya, kawasan Pantai Padang akan disuguhi berbagai sampah yang dihempaskan laut.
Tentang perilaku buruk ini saya teringat Korea. Di tempat-tempat wisata di sepanjang Korea hampir tidak ditemukan tumpukan sampah. Pantainya bersih. Dari mobil tidak ada orang membuang tisu atau yang lain. Bekas bungkus makanan dimasukkan ke dalam kantong atau tas untuk kemudian dibuang di tempat sampah. Di Korea pula saya tidak menemukan tukang palak. Tidak ada orang yang memaksa-maksa. Semua dimanajemen dengan baik. Mungkin ada yang mengatakan, Korea kan negara kecil, jadi orang-orangnya bisa diatur dengan baik, sementara kita negara besar, orang-orangnya beragam perangainya. Tidak demikian adanya. Bagi orang Korea kesadaran untuk menjaga dan menikmati apa yang diberikan Tuhan itu sudah menjadi kesadaran dasar mereka, sementara pada kita belum. Di Korea anak-anak sekolah diajari cara untuk menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya. Jika mereka makan sesuatu yang menyisakan bungkus, maka bungkus itu mereka kantongi. Ada pun pada kita ajaran itu belum membekas, hanya sebatas ajaran saja.
Begitulah, perjalanan kami ke Mandeh menjadi terganggu oleh ulah yang tidak baik itu. Sangat terasa bila saya membanding-bandingkan dengan apa yang pernah saya rasakan di Korea. Tetapi sudahlah, ini negeri kita. Tanggung jawab untuk menjaga dan memperbaiki yang sudah diberikan Tuhan untuk kita ada di pundak kita masing-masing. Mulailah dari dirimu sendiri dan mulailah dari sekarang, kata AA Gym.
Tulisan ini merupakan catatan perjalanan saya ketika kali pertama melewati jalan baru ke kawasan Mandeh pada suatu waktu tidak berapa lama setelah saya kembali dari Korea. Semoga surga di kawasan Mandeh yang dianugerahkan Tuhan untuk kita bisa dijaga sebagaimana orang Korea menjaga alam mereka dengan baik. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post