Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Setelah 15 tahun, putra saya kembali ke Yogyakarta. Kenangannya di kota gudeg kembali terbuka ketika ia mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah singgah dalam hidupnya. Lima belas tahun yang lalu ia bersama saya, ibu, dan adiknya tinggal di Yogyakarta. Terakhir sebelum pulang ke Padang, ia telah menamatkan pendidikan prasekolah (TK) di Yogyakarta.
Pada usia balitanya di Yogyakarta, putra saya belajar mengenal lingkungan sebagaimana adanya. Sebelum pulang ke Padang selesai TK, ia sudah bisa berbicara dengan bahasa Jawa. Hal itu karena setiap hari ia berinteraksi dengan kawan-kawannya dan masyarakat lokal yang menggunakan bahasa Jawa. Sebelum pulang ke Padang, ia pun sudah menyimpan dalam memorinya destinasi-destinasi utama di Yogyakarta. Tidak heran, ketika 15 tahun kemudian ia kembali ke Yogyakarta, kenangan itu kembali berpendar dalam memorinya walaupun ia harus bekerja keras memutar ulang memorinya itu karena sudah terpendam cukup lama dan juga karena sudah banyak yang berubah di Yogyakarta.
Ketika ia ke Yogyakarta akhir Agustus 2024 yang lalu, saya ajak ia menyusuri kembali destinasi-destinasi yang dulu pernah ia kunjungi. Kenangan 15 tahun yang lalu kembali hadir di hadapan matanya. Ia masih ingat ketika saya ajak ke sekolah TK-nya di kawasan Tegalrejo, Kota Yogyakarta. TK itu tidak berubah, masih seperti 15 tahun yang lalu, katanya. Sayang ia tidak dapat bertemu guru-guru TK-nya karena kami datang pada siang hari ketika sekolah sudah tutup. Ia antara ingat dan tidak ketika melewati Rumah Sakit Sakina Idaman yang lokasinya tidak begitu jauh dari sekolahnya bahwa dulu ia pernah akan melempar batu para perawat di sana karena menginfus adiknya yang terkena muntaber.
Ketika saya bawa ke tempat kos kami di kawasan Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan, ia terkenang bahwa dulu pernah belajar ngaji di TPA Masjid As-Salam yang ada di sana, pernah bermain di gang-gang sempit yang ada di sana, pernah hampir hanyut di Kali Code yang ada di dekat kosan kami. Ia juga masih ingat dengan jembatan kuning atau Jembatan Sarjito di mana dulu ia sering bermain di bawah jembatan itu dan juga pernah melewati jembatan itu seorang diri ketika kabur dari Mirota Kampus saat berbelanja dengan ibunya (lihat Destinasi Scientia 04/03/2023).
Ketika kami ke Monjali (Monumen Jogja Kembali), ingatannya terbuka (lagi) tentang tempat itu. Monjali bagi putra saya berkesan karena dulu kami sering ke sini karena tidak jauh dari tempat tinggal kami. Ia dan adiknya suka ke sini untuk menikmati wahana-wahana bermain yang tersedia di depan gedung utama (museum). Saya juga mau menemani mereka sambil mencari suasana baru setelah mumet dengan urusan akademik.
Sambil menikmati suasana di Monjali, saya berbagi cerita kepada anak-anak tentang perang kemerdekaan di Jogja yang sering dikenal dengan istilah 6 jam di Jogja atau serangan umum 1 Maret 1949. Saya ceritakan juga bahwa Monjali adalah museum perang itu. Di sini disimpan bukti-bukti perlawanan tentara Indonesia bersama rakyat menentang Belanda sepanjang tahun 1948-1949. Dari Monjali ini, 15 tahun yang lalu anak-anak kami enggan untuk pulang ke rumah karena merasa kerasan menikmati berbagai wahana yang ada, termasuk wahana air.
Setelah memarkir kendaraan di tempat parkir, sambil berjalan ke lokasi utama Monjali, saya mengatakan kepada putra saya bahwa dulu ia pernah berfoto di atas kendaraan lapis baja peninggalan Belanda yang dipajang di tempat itu. Foto kenangan itu sebelumnya sudah saya perlihatkan kepadanya sebagaimana juga saya perlihatkan kepada Dunsanak pembaca seperti di bawah ini.
Saya bersama putra saya mencari kendaraan itu dan menemukannya masih seperti dulu. Hanya posisinya yang sedikit bergeser. Bila dulu ada di sebelah timur, kini bergeser ke arah barat. Kendaraannya masih itu juga. Setelah mengelilingi kendaraan itu, kembali putra saya berfoto di sana seperti 15 belas tahun yang lalu. Fotonya seperti di bawah ini.
Sesudah dari Monjali yang berkesan itu, besoknya perjalanan kami lanjutkan ke destinasi lain yang dulu pernah dikunjunginya. Ia tidak hendak ke Malioboro karena dulu pernah punya pengalaman tidak menyenangkan di sana. Ia yang ketika itu masih TK merasa kesakitan ketika harus menahan pipis karena kebelet dan tidak menemukan toilet umum di sekitar itu. Lokasinya dekat Halte Malioboro 3 di depan gedung istana atau di seberang Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Kami hanya lewat di Malioboro yang sudah banyak berubah itu.
Kami terus ke Taman Pintar di timur Benteng Vredeburg. Di sana kami juga tidak lama, hanya mengenang saja bahwa 15 tahun yang lalu ia sering ke taman itu bukan untuk belajar ini itu, tetapi untuk bermain sesuai usia kanak-kanaknya. Ketika itu kami sering ke Taman Pintar karena saya tiap sebentar harus ke Shopping Centre (kedai buku) di samping Taman Pintar itu untuk mencari buku yang diperlukan dalam studi. Terakhir ketika ke Shopping Centre, saya mengamati suasana menyedihkan di sana. Banyak kedai buku yang sudah tutup karena orang tidak lagi membeli buku. Irvan, seorang perantau Minang yang berjualan di sana mengaku omsetnya setiap hari tidak lagi mencukupi untuk hidup.
Dari Taman Pintar kami ke alun-alun. Di sana kami juga tidak lama karena tempat itu tidak lagi seperti dulu. Lapangan alun-alun yang luas yang dulu merupakan tempat bermain, kini tidak lagi bisa dinikmati. Tempat itu ditimbun pasir putih dan ditutup. Tidak bisa lagi bermain di sana. Di sepanjang alun-alun bermunculan tempat-tempat makan minum kekinian. Kunjungan kami ke alun-alun Yogyakarta untuk membuka kembali memori 15 tahun lalu putra saya di sana berakhir di Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta. Lokasinya persis di sebelah barat alun-alun utara Yogyakarta. Kami salat Zuhur dan rehat siang di masjid yang masih mempertahankan arsitektur Kesultanan Yogyakarta tersebut.
Destinasi berikutnya yang kami lewati adalah Stasiun Lempuyengan. Lima belas tahun yang lalu, di bawah jembatan layang dekat stasiun itu kami sering bersantai menunggu senja dan kereta lewat sambil menikmati aneka kuliner yang dijajakan di sana. Anak-anak kalau ke sana akan minta naik odong-odong yang memang setiap hari mangkal di situ. Menikmati kereta yang datang dan pergi dari ujung stasiun itu menjadi kebahagian tersendiri bagi kami empat beranak sebelum magrib menjelang. Putra saya tidak begitu ingat dengan apa yang sering dia lakukan di stasiun itu, yaitu menggangu adiknya mewarnai gambar seusai naik odong-odong.
Dari Stasiun Lempuyangan, kami ke Stadion Mandala Krida. Stadion dekat kantor walikota Yogyakarta ini menyimpan kenangan bagi putra-putri kami. Kami sering ke sini untuk mencari lontong padang dan es durian yang dijual di dekat situ. Juga untuk menikmati pertandingan bola. Waktu itu stadion Mandala Krida masih belum sebagus sekarang. Sekarang sudah bagus selesai direnovasi.
Tidak banyak yang diingat putra saya di Mandala Krida karena tampilan barunya yang benar-benar berbeda. Dari Mandala Krida kami ke stadion lain di Yogyakarta, yaitu stadion Waguwoharjo di Sleman. Kami punya kenangan di stadion ini ketika tahun 2010 Yogyakarya dilanda musibah Gunung Merapi meletus. Ketika kami ke stadion ini untuk melihat-lihat warga yang mengungsi, anak kami turut serta antre untuk mendapatkan mie gelas. Ketika mie didapat dengan lahap mereka menyantapnya. Ibunya pun turut serta. Ketika saya dan putra saya ke Maguwoharjo, stadion ini sedang direnovasi. Kami tidak bisa masuk. Hanya bisa memfoto dari jauh.
Begitulah, destinasi-destinasi yang 15 tahun lalu pernah ada di memori putra saya dibangkitkan lagi ketika ia mengunjungi Yogyakarta di akhir Agustus 2024 yang lalu. Ada banyak yang berubah dan ada yang tetap. Putra saya tidak lupa bahwa ia pernah tinggal di negeri yang menjadi impian banyak orang untuk mengunjunginya. Bersyukurlah bagi siapa yang pernah tinggal atau pernah singgah di kota yang berhati nyaman ini. Wallahualam bissawab.