Harimau Buntung
Cerpen: Johan Arda
Jam Gadang membusung di hadapanku. Setiap hari. Jika malam, banyak gerobak kacang rebus berasap berkeliaran hingga subuh. Namun, siangnya penjual karupuak leak tidak kalah lebih banyak memadati pelataran Jam Gadang. Pelancong-pelancong yang bisa kuketahui asalnya melalui logat bicara dan pakaiannya memang cenderung menuju Jam Gadang lebih dahulu seturunnya dari mobil, lalu akan masuk ke Pasa Ateh membeli baju, kain, atau apa saja. Di belakangku.
Sekarang, pemandangan seperti itu tidak pernah lagi kulihat sejak enam tahun lalu. Pasa Ateh di belakangku tiba-tiba dijilat api kala itu. Semua panik mengeluarkan barang dagangannya yang lebih banyak kain. Ada juga yang menonton dari jauh. Yang hanya bisa kulakukan diam dan mematung. Untungnya ludah api tak sempat mengenaiku.
Beberapa hari pasca kebakaran, aku digendong, dipindahkan ke arah utara, ke jantung pasar. Aku ditempatkan di tengah-tengah Janjang Minang. Sebenarnya, aku punya seekor teman yang menemaniku saat di depan Pasa Ateh, tapi aku tidak tahu dia dipindahkan ke mana.
Kami adalah simbol dari berani dan gagahnya kota Bukittinggi. Maka dari itu kami selalu menampakkan taring dan mengaum. Aku hanya sendiri dan lebih sedikit melihat orang lalu lalang ketimbang dulu.
Kini, seorang pria lusuh serba hitam–pudar–berdiri di hadapanku. Kaliang berkacak pinggang di hadapanku. Sesekali membuat persegi dari jempol dan telunjuk kedua tangannya bak kamera. Pria lusuh kurus itu mulai mengelilingiku perlahan. Meraba perut, rahang, kepala, kaki, dan bokongku.
“Mau dibilang apa Bukittinggi jika kau begini. Ompong, pudar, kusam, buntung. Akan kudandani kau malam ini. Kau akan gagah, Nyiak!”
Kaliang masih rutin menemuiku saat malam semakin dingin. Dia akan berceloteh sendiri, besenandung dengan lagu ciptaannya, sebelum akhirnya ngorok keras di depan ruko. Hingga tidak ada yang sadar kalau Kaliang teronggok di sana. Di cahaya ruko yang gelap, apalagi Kaliang juga hitam.
Suara berisik datang dari arah atas jenjang, “Oi, Kaliang. Pesta kita lah!”
Aku mengenali itu Ipan Gapuak yang menyahut. Dia bersama Camaik. Aku tahu dari irama genjrengan ukulele benang nilonnya yang lebih seperti botol plastik yang ditendang-tendang.
“Inyiak malam ini harus gagah.”
“Mau kamu apakan dia, Kaliang? Bentuknya sudah tidak karuan. Ekornya buntung,” sahut Ipan Gapuak.
Kaliang mulai berani mengusap-usap bokongku. Memang benar ujar Ipan Gapuak. Ekorku putus setelah dipakai bergelantungan oleh bocah para turis. Mereka berlari meninggalkanku begitu saja setelah membuat ekorku putus. Tanpa tanggung jawab.
Camaik duduk bersandar di pintu ruko, lantas melucuti kresek hitam di genggamannya, hingga menyembul sebotol tuak. Dia menuangkan airnya ke gelas plastik minuman mineral bekas yang sudah dibuang penutupnya. Hanya mengamati perdebatan kedua temannya sembari minum perlahan.
“Baiklah. Kalau kau ingin membuat dia gagah. Kau yakin dia jantan? Kelaminnya saja datar.”
Aku merasakan Ipan Gapuak mengusap-usap selangkanganku. Aku merasa canggung. Tapi, apakah benar yang dikatakannya? Aku juga tidak tahu apa jenis kelaminku.
“Tapi Inyiak mengaum, dan bertaring. Hewan paling berani di hutan belantara. Dari dia, orang-orang akan menganggap kota ini kota yang paling kuat dan disegani, dan ….” Kaliang mulai goyah pendiriannya, “harimau tetaplah gagah di mata orang.”
“Opp, sepertinya itu katamu saja. Harimaumu sudah tidak gagah. Giginya banyak yang copot. Banyak turis yang akan tertawa alih-alih segan dengan harimaumu ”
Ipan Gapuak menang telak. Para anak punk itu tidak membuat-buat. Memang begitu aku adanya. Keadaanku sudah tidak segagah dulu. Belangku sudah pudar dan keropos karena hujan panas yang kuterima saban hari.
“Kita cat kulitnya, tambal gigi dan ekornya, dan nanti Inyiak akan segar bugar lagi.” Kaliang masih bersikukuh agar aku gagah.
“Halah! Uang dari mana untuk mendandani Inyiakmu itu? Biarlah itu urusan pemerentah saja. Kalau kau nekat, malapetaka yang akan datang. Kau dianggap merusak dan mengubah aset kota.” Ipan Gapuak meludah. Menambah kesan tidak setujunya.
Camaik mulai berdiri dan berdiri di sebelah Kaliang, “Inyiak ini sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Sudah rusak. Urusan kita hanya ngamen, memalak parkir, menggoda uni-uni turis, berhantam, dan mabuk tuak,” Camaik menghisap merokok sebentar, lalu kembali melanjutkan, “kalau iya, kurasa harimau tidak cocok untuk simbol kota yang sudah loyo ini, kan?”
“Iya iya. Aku setuju walau kau sepertinya mabuk.” Ipan Gapuak mengangguk-angguk. Tangannya di dagu.
“Bagaimana kalau kerbau? Cocok dengan Minang. Nantinya, dia akan melambangkan adat-adat kita pada wisatawan.”
Mereka bertiga seketika diam. Memikirkan apakah ide Camaik bisa disetujui. Hanya angin dingin menusuk bersiur. Hanya perdebatan mereka yang riuh di sana, akan hening jika mereka diam. Lorong-lorong terkesan kusam dan menakutkan, seolah dihuni hantu, bukan pedagang.
Kaliang menaikkan alisnya. Tanda dia punya pendapat lain.
“Kerbau tidak cocok menggantikan Inyiak Harimau sebagai simbol kota ini. Aku tetap mau harimau. Kerbau sangat buruk.”
“Bagaimana kau bisa berbicara seperti itu? Sejauh ini, kerbau digadang-gadangkan simbol Minangkabau. Pekerja keras.” Camaik menyela.
“Kau yakin? Sekarang kerbau hanya bermalas-malasan di kubangan. Walau Inyiak jelek. Dia tetap lebih lincah,” timpal Kaliang.
“Kerbau tetaplah hewan nenek moyang kita yang menjadi cikal-bakal lahirnya nama Minangkabau, Liang! Ingat yang diajarkan saat SD dulu? Seekor kerbau kecil yang bisa mengalahkan kerbau besar dari Jawa hanya dengan sekali tanduk. Itu artinya, kerbau mengartikan orang kita yang cerdik.”
“Lihat di sawah! Kerbau hanya bisa menurut disuruh mondar-mandir. Menjadi pembantu.”
“Itu tandanya dia pekerja keras! Orang kita pekerja keras!”
“Eitss, aku belum selesai. Itu hanya sebentar, selepas tanggung jawabnya, dia akan lebih banyak menghabiskan waktu bermalas-malasan di kubangan. Kau mau orang kita dianggap pemalas, Camaik?”
Aku merasa terharu. Kaliang ternyata sangat menyayangiku. Dia membelaku sehabis-habis akalnya. Seandainya aku bisa menangis.
“Tapi kerbau tidak memangsa sesama hewan.” Camaik meyakinkan. Dia masih tidak terima idenya dipatahkan. Apalagi dikatakan kerbau pemalas. Tampaknya pria punk yang badannya paling kecil itu mulai serius dengan pemikirannya. Suasana memanas karena memperdebatkan penggantiku.
“Tanduk kerbau kuat!”
“Taring harimau lebih tajam.”
“Kerbau sahabat manusia, bukan seperti harimau yang selalu ditakuti dan menjadi ancaman.”
“Kerbau tidak memakan sesama hewan!” Camaik membela diri.
“Tapi dia pancirik! Suka berak sembarangan. Emangnya kamu pernah melihat tai harimau di jalan? Tidak, kan? Paling banyak kerbau, lalu kambing dan kuda.”
“Seenaknya kau bilang kabau pancirik! Dia itu Minang!”
Aku yakin mereka sudah benar-benar berseteru. Tuak akan membuat emosi mereka cepat naik. Namun, untungnya Ipan Gapuak yang belum minum tuak masih sadar. Dia melerai kedua temannya yang hampir baku hantam.
“Lah lah. Kalian ini, bisa-bisanya bertengkar soal harimau atau kerbau.”
Ipan Gapuak menarik kedua temannya untuk duduk di depan ruko. Mereka sudah duduk bertiga. Ipan terlihat yang paling besar dan tua karna perut gendut dan kumis tebalnya. Dia menuangkan tuak ke gelas plastik Camaik, lantas diminum oleh si penerima. Emosi Camaik mulai reda.
Namun, Kaliang masih saja berceloteh sendiri menyampaikan imajinasinya akan aku. Entah aku harus dibelikan gigi baru, diberikan baju belang, dipasangkan mahkota emas, intinya dia tetap ingin aku tampak gagah.
Sebelum Camaik sempat melayangkan tinju kecilnya ke pipi Kaliang, Ipan Gapuak yang duduk di tengah sigap menahannya.
“Sudahlah! Jangan buat keributan. Aku tidak mau besok ada berita ‘seekor’, eh maksudnya ‘seorang anak punk mati di emperan ruko Jam Gadang’. Nanti Satpol PP menangkap aku dan Kaliang yang dituduh sebagai pembunuh.”
Camaik mengurungkan pukulannya. Sepertinya dia lebih memilih mengalah, karena sudah tahu kalah ukuran badan dengan Kaliang yang hitam tinggi kekar. Dia berbalik badan membelakangi teman-temannya, menghabiskan isi gelasnya, dan membuangnya ke arahku.
Demi agar Kaliang yang menyayangiku tidak dipukul atau terlibat perkelahian, sebenarnya aku rela digantikan posisi oleh kerbau, atau pun hewan apa saja. Namun, apa boleh buat yang kubisa hanya mematung.
Mereka bertigalah yang masih menghiraukanku
***
Ketika matahari sudah muncul dari Timur, mereka bertiga masih tergeletak mendengkur di depan ruko. Mereka akan bangun saat diusir pemilik toko pas jam buka. Rata-rata sepagi ini hanya kedai lontong dan sarapan pagi yang buka.
Orang-orang mulai ramai hilir-mudik, naik turun Janjang Minang. Kebanyakan mereka adalah pedagang ruko, penjual makanan keliling, dan manusia berseragam kerja mencari sarapan.
Irama syahdu sapuan tukang sapu membuat pagi ini semakin mesra. Tukang sapu membersihkan sampah-sampah pengunjung sembari merokok. Sampah di jenjang, sampah di taman, sampah di dalam tong sampah, bahkan sampah yang teronggok di samping tong sampah yang padahal kosong.
Bisik-bisik pejalan kaki menarik perhatianku. Sepertinya banyak yang membicarakannya pagi ini, seperti ada isu yang hangat. Ada yang serius menanggapinya dan ada juga yang tertawa menganggap berita tersebut adalah hal yang lucu.
“Lucu ya, sekarang ada dua patung beruk bertengger di Pasa Ateh.”
“Di mana?”
“Depan Jam Gadang.”
Mereka cekikikan. Mulutku semakin menganga.
Padang, 10 Juli 2023
Johan Arda, Emerging Writers di Balige Writers Festival 2023. Kumpulan ceritanya yang akan terbit “Ritual Malam Minggu”.
Representasi Kritik Sosial Dalam Cerpen “Harimau Buntung” Karya Johan Arda
Oleh: Azwar
(Dewan Penasihat Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Barat)
Representasi secara harfiah adalah perbuatan atau keadaan yang mewakili suatu gagasan, emosi atau sebuah fakta tertentu. Secara umum representasi dikenal sebagai sebuah proses memaknai realitas yang terjadi. Representasi secara teoritis banyak digunakan untuk melihat makna dari sebuah sistem penanda.
Irvanti Auliana (2024) menyampaikan bahwa representasi adalah proses pemaknaan terhadap sesuatu berdasarkan objek maupun realitas yang ditampilkan. Representasi juga termasuk hasil dari makna yang didapatkan. Representasi dapat dilakukan dengan menganalisa tanda-tanda realitas yang ada. Representasi dilakukan tentunya untuk mendapatkan sebuah pesan, maksud, maupun arti dari sebuah tanda yang diartikan. Tanda-tanda yang diartikan biasanya merupakan bentuk realitas yang disamarkan sehingga disajikan dalam bentuk pengodean. Terkadang juga terdapat tanda yang menyajikan secara terang-terangan apa yang dimaksudkan.
Sementara itu Putri dan Wahyuningratna (2021) menyampaikan bahwa representasi adalah ide yang digunakan dalam interaksi sosial yang melibatkan pemberian makna melalui berbagai sistem penanda yang tersedia, seperti percakapan, tulisan, video, film, dan fotografi. Representasi bisa merujuk kepada proses atau hasil dari pemberian makna suatu simbol. Dalam konteks ini, representasi mencakup bagaimana berbagai jenis media, terutama media massa, mengonstruksi berbagai aspek realitas atau kenyataan, termasuk masyarakat, objek, peristiwa, dan bahkan identitas budaya.
Proses penandaan untuk representasi diadopsi dari realitas yang ada, bukan hanya semata-mata membuat rumor baru saja. Proses pemberian makna dapat dipengaruhi berbagai aspek mulai dari aspek internal pemberi makna hingga aspek eksternal seperti pengetahuan, pengalaman, dan kebudayaan yang dimiliki oleh pemberi makna.
Marhaeni (2019) menjelaskan bahwa cara objek atau realitas yang ditampilkan merupakan masalah utama dalam representasi. Pertama, representasi dapat didefinisikan sebagai representasi yang akurat atau representasi yang menyimpang dari kenyataan. Kedua, representasi tidak hanya berarti “menampilkan”, “menggambarkan”, atau “menyampaikan”. Gagasan representasi didefinisikan oleh kedua konsep ini sehingga representasi merupakan sebuah cara untuk memaknai sesuatu yang digambarkan. Gagasan makna yang didapatkan dari representasi tidak hanya bisa diambil dari makna yang diberikan melainkan juga dari arti sebenarnya sebuah objek yang digambarkan.
Hakim (2019) juga menyampaikan bahwa penghadiran kembali sesuatu melalui media yang dapat dilihat, seperti film atau video, disebut representasi. Representasi akan menghasilkan makna melalui bahasa. Istilah ‘makna’ mengacu pada cara kita menggunakan bahasa untuk menggambarkan atau mencerminkan sesuatu dalam pikiran orang dengan menggambarkan dan memasukkan analogi ke dalam pikiran seseorang. Menyimbolkan, mewakili, atau mencontohkan pengganti juga merupakan arti dari representasi. Penanda yang dihadirkan kembali memerlukan suatu media yang dapat dilihat dan didengarkan sehingga dapat melalui proses representasi itu sendiri.
Stuart Hall (1997) menyatakan terdapat tiga jenis pendekatan pada representasi. Pertama, pendekatan reflektif yang menganggap bahwa bahasa memiliki fungsi sebagai kaca sehingga menunjukkan arti sebetulnya dari realitas yang ada. Arti makna realitas seperti objek, orang, ide, atau kejadian memiliki korelasi peristiwa yang sebenarnya. Sebagai contoh, film yang menceritakan peretasan menunjukkan peretasan yang sebenarnya terjadi.
Kedua, pendekatan intensional, dalam pendekatan ini pengirim pesan tidak menampilkan makna pada benda atau objek. Pembaca diminta untuk memahami pesan yang disampaikan oleh pengirim. Seperti contoh, sebuah film eksperimental yang maknanya hanya diketahui oleh pembuatnya sendiri.
Ketiga, pendekatan konstruktif berarti bahasa dipakai untuk merangkai suatu makna. Pendekatan-pendakatan yang ada dapat dibentuk sesuai dengan bagaimana proses pemaknaan akan dilakukan.
Kreatika edisi ini menayangkan sebuah cerpen berjudul “Harimau Buntung” karya Johan Arda, seorang penulis yang sudah menerbitkan kumpulan cerita yang berjudul Ritual Malam Minggu. Ahda mengangkat cerita dengan latar fenomena sosial di Bukittinggi, Sumatera Barat. Latar itu sangat jelas digambarkan oleh Ahda dengan mendeskripsikan suasana di sekitar Jam Gadang, Pasa Ateh, Janjang Minang, dan berbagai tempat yang menunjukkan latar Bukittinggi lainnya.
Tokoh dalam cerita pendek ini adalah Kaliang, pria setengah gila dan teman-temannya Ipan Gapuak dan Camaik anak Punk yang menghuni lorong-lorong pasar di Bukittinggi. Tokoh-tokoh itu diceritakan dalam sudut pandang sebuah patung Harimau yang dulunya menjadi landmark Pasa Ateh, Bukittinggi. Sebelum komplek pertokoan itu terbakar, ada dua buah patung Harimau berada di sisi tangga menuju Pasa Ateh tersebut. Setelah kebakaran hebat melanda komplek pertokoan itu, dua patung Harimau itu dipindahkan, ke Janjang Minang, tidak jauh dari Pasa Ateh itu.
Pada mula cerita, patung Harimau yang sudah kehilangan ekornya itu menceritakan kehadiran Kaliang di tengah kota Bukittinggi ketika menjelang malam. Kaliang, seorang pria lusuh serba hitam–pudar memberikan makna pada patung Harimau yang menjadi landmark kota Bukittinggi itu. Ia memaknai patung Harimau itu sebagaimana hal yang ditulis oleh penulis berikut ini: “Mau dibilang apa Bukittinggi jika kau begini. Ompong, pudar, kusam, buntung. Akan kudandani kau malam ini. Kau akan gagah, Nyiak!” (Arda, 2024).
Secara denotatif, patung itu benar sebuah patung Harimau yang dulu pernah menjadi simbol kegagahan kota Bukittinggi. Secara konotatif ia adalah simbol dari berani dan gagahnya kota yang pernah menjadi Ibu Kota Republik pada zaman perjuangan dulu. Maka dari itu Harimau itu selalu menampakkan taring dan mengaum.
Mitos yang dibangun masyarakat tentang Harimau sebenarnya adalah bahwa Harimau bisa bermakna benar-benar binatang Raja Rimba namun secara mitos Harimau disebutkan sebagai makhluk reingkarnasi dari nenek moyang masyarakat Minangkabau yang sakti. Oleh sebab itu Harimau disebut oleh Masyarakat Minangkabau dengan panggilan “Inyiak” sebuah panggilan penghormatan untuk para tetua di Minangkabau.
Begitulah Kaliang, tokoh utama dalam cerita ini memanggil patung Harimau yang sudah bunting itu dengan panggilan Inyiak. Melalui Kaliang penulis menyampaikan berbagai kritik sosial terhadap fenomena yang terjadi di Bukittinggi. Kehadiran Kaliang, gelandangan di Kota Wisata itu saja sudah menjadi kritik sosial terhadap situasi Kota Bukittinggi saat ini. Idealnya, Kaliang dan teman-temannya seperti pengemis, gelandangan, dan anak Punk tidak akan hadir dalam kota yang menjadi jantungnya Minangkabau ini.
Tanah Minang yang menjunjung tinggi adat dan syarak sangat percaya bahwa sistem ini akan menjamin kehidupan masyarakatnya. Sejatinya tidak akan ada masyarakat yang tidak memiliki rumah, terlantar di tengah kota menjadi gelandangan, namun cerpen ini menyajikan realitas bahwa di Ranah Minang itu juga sudah banyak orang-orang terlantar seperti Kaliang dan kawan-kawannya itu.
Hal yang lebih menarik dalam cerita ini adalah tentang kritik sosial yang disajikan tokoh-tokoh dalam cerita ini. Secara fiktif penulis menyebutkan bahwa patung Harimau buntung menjadi saksi percakapan Kaliang dengan Camaik dan Ipan Gapuak. Awal percakapan Ipan Gapuak mulai menyerang Kaliang dengan pernyataan yang meragukan kegagahan Harimau yang dikagumi Kaliang.
Kaliang membela Harimau itu (Kaliang menyebutnya dengan Inyiak sebagai penghormatan pada mitos Harimau di daerah tersebut) ia menyatakan: “Tapi Inyiak mengaum, dan bertaring. Hewan paling berani di hutan belantara. Dari dia, orang-orang akan menganggap kota ini kota yang paling kuat dan disegani, dan ….” Kaliang mulai goyah pendiriannya, “harimau tetaplah gagah di mata orang.” (Arda, 2024).
Ucapan Kaliang itu merepresentasikan kehebatan kota itu. Kota yang hebat dan kuat, kota beradab yang menjadi tempat tumbuhnya anak-anak Minang yang hebat. Namun Ipan Gapuak membantah mitos yang dijunjung tinggi Kaliang itu, ia menyatakan bahwa “Opp, sepertinya itu katamu saja. Harimaumu sudah tidak gagah. Giginya banyak yang copot. Banyak turis yang akan tertawa alih-alih segan dengan harimaumu.” (Arda, 2024).
Kaliang masih membela Harimau buntung itu, ia menyampaikan “Kita cat kulitnya, tambal gigi dan ekornya, dan nanti Inyiak akan segar bugar lagi.” (Arda 2024). Kalimat itu menyiratkan keinginan Kaliang untuk memperbaiki keadaan patung Harimau itu, namun Ipan Gapuak masih mematahkan gagasan Kaliang dengan mengatakan: “Halah! Uang dari mana untuk mendandani Inyiakmu itu? Biarlah itu urusan pemerentah saja. Kalau kau nekat, malapetaka yang akan datang. Kau dianggap merusak dan mengubah aset kota.” (Arda, 2024).
Tokoh lain, Camaik pun mulai berpendapat: “Inyiak ini sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Sudah rusak. Urusan kita hanya ngamen, memalak parkir, menggoda uni-uni turis, berhantam, dan mabuk tuak,” Camaik menghisap merokok sebentar, lalu kembali melanjutkan, “kalau iya, kurasa harimau tidak cocok untuk simbol kota yang sudah loyo ini, kan?” (Arda, 2024).
Begitulah perdebatan itu mengisi malam-malam di Bukittinggi yang semakin larut itu. Perdebatan orang-orang “tidak berguna” yang ingin mempertahankan jati diri Kota Bukittinggi yang mereka cintai. Bahkan sampai pada ide agar simbol kota seekor Harimau yang memiliki ikatan kuat dengan masyarakat Bukittinggi ingin diganti dengan Kerbau. Tapi Kaliang tidak mau karena Kerbau menurut Kaliang adalah binatang pemalas dan tidak beradab karena suka buang hajat sembarangan.
Bahkan yang paling menyakitkan adalah realitas fiktif dalam cerita ini yang menyebutkan bahwa di ending cerita orang-orang heboh membicarakan simbol kota itu sudah diganti dengan Baruak. Baruak yang melambangkan keserakahan, binatang yang namanya menjadi umpatan bagi orang-orang Bukittinggi untuk menyebutkan situasi terburuk yang dialami.
Cerita ini merupakan sebuah kritis sosial atas kondisi Kota Bukittingi yang menurut pandangan tokoh-tokoh dalam cerita ini sudah tidak berwibawa seperti dulu lagi. Kota ini bukan lagi kota yang menghasilkan tokoh-tokoh besar seperti Bung Hatta, tapi kota ini sekarang hanya melahirkan Kaliang, Ipan Gapuak, dan Camaik para gelandangan yang dianggap sampah Masyarakat.
Tapi begitulah, hanya gelandangan yang dianggap sampah masyarakat inilah yang masih peduli dengan Bukittinggi. Sementara orang-orang yang dianggap “orang” di Kota Wisata penuh sejarah ini dianggap tidak peduli dengan situasi kota yang semakin merosot peradabannya ini. Johan Ahda sebagai penulis menitipkan kritikannya terhadap situasi sosial yang terjadi di kota itu. Ia ingin memperbaiki situasinya, tapi seperti ingin memperbaiki benang kusut, ia tidak tahu akan memulaiinya dari mana.
Sebagai pengarang ia mulai memperbaiki situasi kota itu dengan menuangkan gagasan-gagasannya melalui karya sastra. Hal ini tentu sudah lebih baik daripada hanya para gelandangan yang memikirkan masa depan kota ini. Hal ini tentu lebih baik daripada hanya sampah Masyarakat yang peduli pada nasib peradaban tanah ini. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post