Puisi-puisi Bambang Kariyawan Ys.
Episode Rintik di Bulang Linggi
Angin …
Tapak ini masih goyah kala berdiri
Di tepian dermaga Bulang Linggi
Hembusanmu mengirimkan berita ketidakpastian
Menyajikan rintik dengan segala tanya
Awan …
Secawan ragu hati ini akan dilema
Menaiki kapal ke seberang pulau meninggalkan kenangan
atau tetap tinggal di dermaga melanjutkan kenangan
Rintik ini semakin kerap bersama siluet awan entah berbentuk apa
Hujan …
Rintik ini semakin deras
Memaksa diri untuk segera meninggalkan atau ditinggalkan
Akan frasa-frasa rasa yang telah membiru
Bulang Linggi …
Rintik ini telah dihembus angin
Digulung awan dan diriuhkan hujan.
Pekanbaru, 19/10/2023
Batam Kala Itu
Deru itu selalu meraung
Kita pandangi lintas warna-warni seperti bertarung
Larik-larik cahaya memancar di antara deru di Nagoya
Tanpa sunyi dan tanpa lelap
Warna-warni lampu Dataran Engku Hamidah meninggalkan kisah-kisah agung
Di perempatan lampu merah,
aku selalu mendengar suara dan tingkah sehimpun umat
Keluh, resah, dan secawan harap
Kala senja yang retak
Segala sisi perempatan menderu akan kejaran waktu
Kedai-kedai kopi kala temaram tak kenal jeda
Tempat bersua dengan bincang segala tema
Bertemankan sepiring mi lendir dan teh tarik
Bincang biasa hingga luar biasa kita gulirkan
Sampai detik itu meski dihentikan
Hingga meninggalkan Hang Nadim
Batam selalu dirindu
Semua perindu.
Batam, 31/12/ 2023
Tak Ada Lagi Pada Suatu Hari
Pada suatu hari saat sayat-sayat sunyi telah menjadi sabda luka
Aku terbuang bersama petaka
Mengucilkanku dalam labirin sunyi
Sebenar sendiri
Pada suatu hari
Ada sepasang mata yang menjaring cinta
Berteman tembang lawas lewat gelombang radio
Aku benar-benar terpana
Pada suatu hari
Dengung layang-layang cinta mengudara di langit-langit rumah
Menggetarkan sisi ruang batin akan insan yang mendamba
Dia penawar cinta
Pada suatu hari
Penantian atas waktu terus bergulung
Dalam spasi bernama antar pulau
Kita saling memendam rasa
Kita rawat dalam kendi bernama setia
Pada suatu hari
Angin salah sangka memberi aroma bara
Kita hanya sekejap menikmati bahagia
Hari berikutnya dipenuhi sayatan luka
Aku tak tahu bumi mana yang membenamkan rasa
Pada suatu hari
Kunikmati sebenar luka
Dalam irisan air mata yang tak kuasa kusimpan
Hanya langkah sunyi menyayat waktu
Aku kalah
Tak ada lagi pada suatu hari
Setelah aku tahu sumber bara
Aku luahkan amarah pada pemula petaka
Meski aku tersayat kalah
Aku menjadi tahu tentang makna setia
Aku yang terluka telah berkumpul bersama yang sebelumnya telah teramat luka
Tak ada lagi pada suatu hari …
Pekanbaru, 22/1/22
Tentang Penulis:
Bambang Kariyawan Ys., saat ini diamanahi sebagai Kepala SMA Cendana Pekanbaru. Aktif berproses dalam Forum Lingkar Pena. Buku puisi terbarunya “Serimbun Puisi: Membaca Laut Pada Kampung yang Hilang”. Alihwahana dan visualisasi karya sastra di bawah BKA Motion Pictures. Penyelenggara BK Award sejak tahun 2021 sebagai ajang kompetisi alihwahana sastra digital. FB/IG/Youtube: Bambang Kariyawan.
Sembunyi dalam Terang
Oleh Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Rintik ini semakin deras
Memaksa diri untuk segera meninggalkan atau ditinggalkan
Akan frasa-frasa rasa yang telah membiru
Pada dasarnya, menulis puisi adalah mengekspresikan pengalaman batin dengan media kata-kata. Pengalaman yang diekspresikan itu bisa berupa pengalaman hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, atau hubungan manusia dengan alam. Menulis puisi merupakan sebuah kegiatan ruhani, yang mengekspresikan hubungan manusia dengan segala hal, baik secara fisik maupun metafisik (Maulana, 2012).
Untuk dapat mengekspresikan pengalaman tersebut, lebih lanjut Maulana mengungkapkan bahwa penulis harus mampu mengkreasi bahasa ungkap melalui kosa kata yang dipilih dan dipahaminya secara sungguh-sungguh dengan bahasa yang dikuasainya pula. Selain itu, menulis puisi tidak bisa dengan menuliskan sesuatu yang tidak kita alami secara fisik maupun metafisik. Jika hal itu dipaksakan, maka hasilnya adalah sebuah puisi hampa makna dan bahkan hampa rasa karena tidak mengandung penghayatan atas obyek yang ditulis. Secara sederhana, menulis puisi merupakan pekerjaan mengonkretkan sesuatu yang abstrak dengan menggunakan sarana bahasa.
Puisi adalah karya sastra yang sangat bermanfaat sebagai sarana ekspresi diri. Melalui puisi, seseorang dapat mencurahkan perasaan atau pemikirannya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menghasilkan suatu pemikiran yang mendalam. Pendapat ini diperkuat oleh kritikus sastra dan analis puisi Rachmat Djoko Pradopo dalam buku Pengkajian Puisi. Pradopo mengatakan bahwa sesuatu dalam karya sastra dapat dikatakan bersifat puitis jika hal itu dapat membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan (2009:13).
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilkan tiga buah puisi karya Bambang Kariyawan Ys. Ketiga puisi karya penulis yang juga berprofesi sebagai guru ini berjudul “Episode Rintik di Bulang Linggi”, “Batam Kala Itu”, dan “Tak Ada Lagi Pada Suatu Hari”.
Puisi pertama, “Episode Rintik di Bulang Linggi” mengungkapkan keraguan seseorang untuk melakukan perjalanan. Suasana galau tersebut digambarkan melalui klausa kehadiran angin yang ‘mengirimkan berita ketidakpastian’, awan bersama rintik hujan yang menciptakan ‘secawan ragu hati ini akan dilema’, dan hujan yang ‘memaksa diri untuk segera meninggalkan atau ditinggalkan’.
Imaji dermaga, di dalam puisi ini disebutkan Dermaga Bulang Linggi, sangat identik dengan suasana haru yang disebabkan oleh momen pertemuan (kedatangan) dan perpisahan (keberangkatan) yang melibatkan wilayah air sebagai faktor pemisah. Orang-orang yang bertemu dengan orang yang ditunggu dalam sebuah momen kedatangan atau kepulangan akan didekap oleh perasaan bahagia dan sukacita karena dapat berkumpul kembali bersama orang-orang terkasih dalam keadaan selamat. Sementara, orang yang berada di posisi pergi meninggalkan bisa saja dipiuh oleh sesaknya kesedihan karena harus berpisah dan meninggalkan sejuta kenangan.
Dermaga bukanlah tempat tinggal. Ia hanya memberi kesempatan untuk transit, berhenti sebentar, untuk segera meneruskan perjalanan ke tempat tujuan dengan moda transportasi yang baru. Kalaupun ada orang yang berlama-lama di dermaga, itu hanya menjadi tamasya sambil menata riak perasaan di dalam jiwa. Penyair Bambang mengakhiri puisinya dengan simpul yang cukup larut: ‘Bulang Linggi…/ Rintik ini telah dihembus angin/ Digulung awan dan diriuhkan hujan. Angin, awan, rintik, dan hujan telah buncah menjadi satu ekspresi kegelisahan.
Puisi kedua, “Batam Kala Itu” menawarkan suasana yang tak kalah resah. Apabila pada puisi pertama, keresahan terbit karena momen pertemuan-perpisahan dan meninggalkan-ditinggalkan, pada puisi “Batam Kala Itu”, keresahan terbit karena ’segala…. menderu akan kejaran waktu’. Klausa ini diperkuat dengan larik-larik berikut, ‘Di perempatan lampu merah, / aku selalu mendengar suara dan tingkah sehimpun umat/ Keluh, resah, dan secawan harap/ Kala senja yang retak/ Segala sisi perempatan menderu akan kejaran waktu/ Kedai-kedai kopi kala temaram tak kenal jeda/ Tempat bersua dengan bincang segala tema/ Bertemankan sepiring mi lendir dan teh tarik/ Bincang biasa hingga luar biasa kita gulirkan/ Sampai detik itu meski dihentikan’. Teks ini mengungkapkan realitas sosial perkotaan yang sibuk, beraktivitas padat seolah waktu tidak mengenal istirahat. Dari sudut pandang religiositas, kondisi ini menunjukkan fenomena terlenanya masyarakat urban dengan kehidupan duniawi sehingga lupa waktu.
Fenomena ini dapat dilihat contohnya pada masyarakat perkotaan Jepang yang banyak menderita depresi karena tekanan pekerjaan. Lazim ditemukan pemandangan pekerja yang histeris di pinggir jalan, mabuk-mabukan hinga pingsan atau tertidur di tempat umum, atau mengalami depresi karena terlalu mengikuti ritme kehidupan yang padat. Orang Jepang memang sudah dikenal dengan produktivitas, inovasi, dan kualitas hidupnya yang tinggi. Namun, di balik layar, ada sisi gelap dari etos kerja Jepang yang telah merenggut nyawa banyak pekerja, yakni budaya karoshi. Budaya karoshi, secara harfiah berarti “kematian karena terlalu banyak bekerja”.
Puisi ketiga, “Tak Ada Lagi Pada Suatu Hari” terasa cukup intens menggali persoalan ‘sebenar luka’ yang dialami aku lirik dan seseorang ‘yang sebelumnya telah teramat luka’. Luka adalah bahan bakar para penyair dan seniman untuk membuat karya yang menggetarkan hati. Dari luka berlahiran karya-karya yang mengguncang dunia, seperti lagu “Tear of Heaven” karya Eric Clapton karena kematian putranya, Taj Mahal dibangun Kaisar Mughal Shāh Jahān sebagai mausoleum untuk istrinya, Arjumand Banu Begum, atau “Senja di Pelabuhan Kecil” ditulis Chairil Anwar karena patah hati pada Sri Ajati.
Puisi ini diawali dengan bait yang getir, ‘Pada suatu hari saat sayat-sayat sunyi telah menjadi sabda luka/ Aku terbuang bersama petaka/ Mengucilkanku dalam labirin sunyi/ Sebenar sendiri’. Bait ini menggambarkan keadaan seseorang yang tersisih ke dalam situasi buruk yang tidak menyenangkan. Dia dicampakkan dan dibiarkan sendirian tanpa keberadaan orang lain yang memberi perhatian atau kepedulian. Situasi yang terkucil seperti jenazah di liang lahat.
Bait-bait berikutnya secara simultan mengungkapkan perubahan suasana yang dibangun dengan repetisi frasa ‘pada suatu hari’. Mulanya pertemuan yang menyenangkan, ‘Ada sepasang mata yang menjaring cinta/ Berteman tembang lawas lewat gelombang radio/ Aku benar-benar terpana’. Pertemuan ini berlanjut menjadi hubungan yang lebih dalam, ‘Dengung layang-layang cinta mengudara di langit-langit rumah/ Menggetarkan sisi ruang batin akan insan yang mendamba/ Dia penawar cinta’.
Kata rumah dapat dimaknai sebagai pernikahan. Namun ada jarak yang memisahkan ‘Dalam spasi bernama antar pulau/ Kita saling memendam rasa/ Kita rawat dalam kendi bernama setia’ sehingga mereka harus berhubungan jarak jauh. Lalu kemelut pun datang, ‘Angin salah sangka memberi aroma bara/ Kita hanya sekejap menikmati bahagia/Hari berikutnya dipenuhi sayatan luka’. Seperti cuaca yang tidak selalu cerah, keadaan pun memburuk, ‘Kunikmati sebenar luka/ Dalam irisan air mata yang tak kuasa kusimpan’. Hingga sampai pada klimaksnya, ‘Setelah aku tahu sumber bara/ Aku luahkan amarah pada pemula petaka/ Meski aku tersayat kalah’.
Klausa ‘tak ada lagi pada suatu hari’ yang mengakhiri puisi ini seperti menyudahi perjalanan romantika sosok aku lirik dan seseorang ‘yang sebelumnya telah teramat luka’. Perjalanan yang menyerupai kurva naik tinggi kemudian meluncur kandas. Akhir yang getir seperti di bait awal puisi.
Ketiga puisi penyair Bambang ini menunjukkan kemahiran di dalam mengeksplorasi gagasan menjadi puisi yang menarik dan mengandung romantika kehidupan. []
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan bagi penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post