Selasa, 03/6/25 | 07:31 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI KREATIKA

Puisi-puisi Ubai Dillah Al Anshori dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Minggu, 03/12/23 | 08:37 WIB

Puisi-puisi Ubai Dillah Al Anshori

 

 

Inangguru

 

BACAJUGA

Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Minggu, 01/6/25 | 06:46 WIB
Cerpen “Seberkas Titik yang Masih Tertinggal” Karya Arifah Prima Satrianingrum dan Ulasannya oleh Azwar

Cerpen “Seberkas Titik yang Masih Tertinggal” Karya Arifah Prima Satrianingrum dan Ulasannya oleh Azwar

Minggu, 25/5/25 | 09:15 WIB

di tanah kami, ingatan hanya tentang kelahiran

masa silam umpama petaka

airmata yang jatuh, sementara pendatang masih

ingin mencuri angka-angka dan kepala mejan telah dibalut luka

kemana nangguru tinggal?

 

penjaga kampung telah kandas, musim

hanya menyimpan kesepian,

“kepala mejan hilang, tubuhnya menyimpan duka”

 

di tanah kami, cemas tak pernah tiba

dan anak-anak bermain seperti biasa

sedang nangguru menyuarakan kehilangan

 

kampung terasa aneh, daun- daun gugur

kicau burung dan angin mendesir

“petanda apa”, “petanda apa”

suara itu terbawa ke tubuh mejan

tubuh penuh duka

 

2023

 

 

 

Hari Ini Tak Ada Daun Mati, Kasihku

 

angin tak lagi rimbun, suasana pun bukan memerah

kita sebagai pohon

saling dekap, saling genggam

tulang-tulang musim telah berganti

 

tak ada kematian daun, karena tumbuh cinta

bersilang dalam ranting

kasih pada akar,

dan di cabang-cabang telah ada

bahagia

 

lalu, apa yang akan kita bincangkan selain keturunan

anak-anak daun mulai tumbuh

semakin dewasa dan menguning

 

tak ada kematian daun, kasihku

segala hanya ada dalam kita

 

2022

 

 

Airmata Sungai

 

di sana pula airmata tumpah

setelah berangkat

dinyalakan, anak-anak menanti,

dari pintu-pintu dan tubuh jendela sepi

kembali melangkah

sedang jarak begitu jauh

suara burung dan mesin samar terdengar

lalu, ketika sungai hanya menyimpan

airmata, dan anak-anak berhenti

menanti.

kemana piyau akan ditambatkan?

”ke sana-ke sana akan kita tambatkan, jika

musim telah digerus

atau bilamana pulang tak lagi ke tepian”

maka, airmata tak pula airmata

sungai tak pula jadi sungai

anak-anak tak pula anak-anak

 

segala telah lenyap pada

riak kehampaan.

 

2023

 

Ubai Dillah Al Anshori lahir di Pematangsiatar. Menulis puisi dan esai, karya-karyanya terbit di media cetak lokal dan nasional. Telah menerbitkan dua buku kumpulan puisi “Setungkul Benang (2018), dan “Tangan-Tangan Kisah (2022). Mengikuti berbagai  kegiatan sastra di Indonesia seperti Temu Penyair Kopi Dunia, Takengon 2016, Hari Puisi Indonesia, Riau 2018, dan Payakumbuh Literary Festival, 2018, Payakumbuh Poetry Festival, 2022. Ketua Pelaksana Temu Penyair Nusantara, Pematangsiantar 2018, dan Ketua Pelaksana Temu Penyair Asia Tenggara II, Padang Panjang, 2022. Aktif di beberapa komunitas seperti: Fokus Medan, Akar Kata, Komunitas Seni Intro, Komunitas Tanah Rawa, dan saat ini menjadi Pimpinan Ranah Kreatif.


Luka dan Bahagia dalam Kita

Oleh Ragdi F. Daye

(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)

 

tak ada kematian daun, karena tumbuh cinta
bersilang dalam ranting
kasih pada akar,
dan di cabang-cabang telah ada
bahagia     

 

Waluyo (1991:25), menyatakan puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Struktur fisik puisi terdiri atas baris-baris puisi yang sama membangun baris-baris puisi (diksi, pengimajian, kata konkret, majas, verifikasi dan tipografi). Sedangkan struktur batin puisi terdiri atas tema, nada, perasaan dan amanat.

Pada dasarnya, menulis puisi adalah mengekspresikan pengalaman batin dengan media kata-kata. Pengalaman yang diekspresikannya itu bisa berupa pengalaman hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, atau hubungan manusia  dengan alam. Menulis puisi merupakan sebuah kegiatan ruhani, yang mengekspresikan  hubungan manusia dengan segala hal, baik secara fisik maupun metafisik (Maulana, 2012).

Untuk dapat mengekspresikan pengalaman tersebut, lebih lanjut Maulana  mengungkapkan bahwa penulis harus mampu mengkreasi bahasa ungkap melalui kosa kata yang dipilih dan dipahaminya secara sungguh-sungguh dengan bahasa yang dikuasainya pula. Selain itu, menulis puisi tidak bisa dengan menuliskan sesuatu yang tidak kita alami secara fisik maupun metafisik. Jika hal itu dipaksakan, maka hasilnya adalah sebuah puisi hampa makna dan bahkan hampa rasa karena tidak mengandung penghayatan atas obyek yang ditulis. Secara sederhana, menulis puisi merupakan pekerjaan mengonkretkan sesuatu yang abstrak dengan menggunakan sarana bahasa.

Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi karya penyair Ubai Dillah Al Anshori. Ketiga puisi tersebut berjudul “Inangguru”, “Hari Ini Tak Ada Daun Mati, Kasihku”, dan “Airmata Sungai”.

Menulis puisi mengungkapkan pengalaman hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, atau hubungan manusia  dengan alam, hubungan manusia dengan segala hal, baik secara fisik maupun metafisik. Pada puisi Ubai yang pertama relasi yang diekspresikan penyair adalah hubungan manusia dengan negerinya. Hal ini muncul melalui diksi ‘tanah kami’ dan ‘kampung’. Gagasan mengenai negeri tersebut juga menyangkut kepada ‘inangguru’. Beberapa diksi mengarah pada kemuraman, seperti ‘petaka’, ‘air mata’, ‘mejan’, ‘luka’, ‘kandas’, ‘kesepian’, ‘duka’, ‘cemas’, ‘kehilangan’, ‘aneh’, dan ‘gugur’ membangun suasana tidak menyenangkan. Puisi ini menyuarakan rasa sakit dengan segala macam penyebabnya tentang kampung halaman yang menyimpan duka dan kecemasan, khususnya berkenaan dengan sosok yang dipanggil ‘inangguru’.

Kampung halaman bagi sebagian orang mempunyai ingatan yang paradoks; menyimpan detail-detail kenangan yang memercikkan rasa bahagia sekaligus terikat pada pengalaman pedih yang seinginnya dilupakan, namun tetap mengikut sepanjang usia seperti hantu menakutkan. Dua bulan terakhir, kisah kampung halaman yang begitu tragis muncul dalam bentuk kabar penjajahan atas rakyat Palestina yang sangat terancam dalam gempuran kekejaman genosida zionis. Realitas penjajahan disertai foto-video jenazah bayi-bayi dan anak-anak yang tewas dibunuh tentu mencabik-cabik hati nurani. Pedih dan geram membuncah dalam dada merespons ‘tubuh penuh duka’ tersebut.

Puisi kedua menggunakan metafora alam untuk mengungkapkan kehidupan dua orang manusia yang hadir melalui larik ‘kita’ dan ‘kasihku’. Suasana indah damai terpancing oleh diksi ‘daun’ yang dapat mendatangkan imaji tentang kesejukan dan harapan. Apabila puisi pertama mengekspresikan kampung tanah kelahiran, puisi kedua yang menyebut kata daun seperti berusaha melawan kemurungan yang ada pada kata ‘kematian’. Penyair sangat bersemangat menunjukkan optimisme lewat larik ’kita sebagai pohon/ saling dekap, saling genggam’, dan ‘tumbuh cinta/ bersilang dalam ranting/ kasih pada akar,/ dan di cabang-cabang telah ada/ bahagia’. Kematian daun yang dapat dimaknai sebagai pupusnya harapan ditepis dengan adanya kekuatan bersama dalam wujud tetap saling memberi dukungan dan berusaha menumbuhkan harapan-harapan baru karena spirit itu ‘ada dalam kita’. Masalah dan hambatan adalah hal yang lumrah di dalam perjalanan kehidupan, tinggal bagaimana cara menyikapinya.

Puisi ketiga masih memanfaatkan alam untuk menggambarkan dinamika kehidupan manusia. Kali ini sungai yang dirangkai dengan diksi air mata. Peradaban manusia sangat dengat dengan keberadaan sungai-sungai, seperti sungai Batang Hari, Ombilin, Mahakam, Eufrat Tigris, Nil, dan Amazon. Sungai dimanfaatkan manusia sebagai sarana transportasi dari satu wilayah ke wilayah lain dengan berbagai objek penyertanya, seperti perahu-kapal, perompak, tepian mandi, dermaga, jembatan, banjir, mineral, pasar, agama, dan politik. Kata sungai memunculkan imaji bocah-bocah mandi berenang berkecimpung melompat salto, perahu-perahu membawa hasil bumi, air kuning tambang timah, jembatan gantung yang putus dihantam banjir, adu pacu lajur, atau pasar terapung kaum ibu berjualan makanan, buah-buahan dan perabot diatas perahu yang berseliweran di permukaan sungai beriak tenang.

Sungai pada puisi ketiga ini mengalirkan ‘kehampaan’. Mulai baris awal Ubai telah menulis ‘airmata’ yang disambung dengan ‘sepi’. Mengapa realitas sungai membuat orang menangis? Ubai menjawab dengan pertanyaan, ‘kemana piyau akan ditambatkan?’ Piyau atau perahu sepertinya telah kehilangan dermaga dalam pandangan Ubai sehingga tidak bisa lagi bertambat. Atau tak hanya kehilangan dermaga, perahu juga telah kehilangan sungai untuk diarungi. Sungguh ironis tentu, namun itulah fenomena mengerikan yang tengah terjadi.

Menulis merupakan pekerjaan mengonkretkan sesuatu yang abstrak, Ubai telah melakukannya: mengonkretkan luka dan bahagia kita.[]

 

 

Catatan:

Logo FLP

Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.

Tags: #Ragdi F. DayeFLP SumbarKreatikaUbai Dillah Al Anshori
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan (2)

Berita Sesudah

Jejak Cita Rasa dan Kebersamaan di Kedai Mamak

Berita Terkait

Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Minggu, 01/6/25 | 06:46 WIB

Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra Gambar Diri Ini gambar diri. Aku yang berjalan tak selalu lurus, kadang tersandung bayangan sendiri, cerobohku...

Cerpen “Seberkas Titik yang Masih Tertinggal” Karya Arifah Prima Satrianingrum dan Ulasannya oleh Azwar

Cerpen “Seberkas Titik yang Masih Tertinggal” Karya Arifah Prima Satrianingrum dan Ulasannya oleh Azwar

Minggu, 25/5/25 | 09:15 WIB

Seberkas Titik yang Masih Tertinggal Cerpen Oleh: Arifah Prima Satrianingrum   Siang itu, matahari dengan terik mengambang di Padang. Ruas-ruas...

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Minggu, 11/5/25 | 07:10 WIB

Puisi-puisi Farha Nabila   Kanak-Kanak dalam Diri Tatkala kutemukan diriku dalam relung kesepian Yang disana takkan kutemukan dengungan sumpah serapah...

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Minggu, 04/5/25 | 08:40 WIB

Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat Karya: Balqin Adzra   “Silahkan mampir! Kami mempunyai mochi varian baru!” teriak sang penjual...

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Minggu, 27/4/25 | 16:31 WIB

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra   Merindu Nagari Nan Jauh Tiap langkah yang menapak Meninggalkan rindu yang menjejak Risau nan gulandah memenuhi...

Cerpen “Rantau Nan Jauh” Karya Salman Luthfi Al Fayyadh dan Ulasannya Oleh Azwar

Cerpen “Rantau Nan Jauh” Karya Salman Luthfi Al Fayyadh dan Ulasannya Oleh Azwar

Minggu, 20/4/25 | 20:36 WIB

Rantau Nan Jauh Cerpen Karya: Salman Luthfi Al Fayyadh   Kalian tidak akan percaya jika kuceritakan matahari yang mendaki Singgalang...

Berita Sesudah
Jejak Cita Rasa dan Kebersamaan di Kedai Mamak

Jejak Cita Rasa dan Kebersamaan di Kedai Mamak

Discussion about this post

POPULER

  • Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

    Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kualitas Aspal Jalan di Kecamatan IV Koto Agam Dipertanyakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puluhan Sopir Pengganti TBS PT DL Koto Baru Dharmasraya Terancam Hilang Pekerjaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Libur Panjang 29 Mei – 1 Juni 2025, Ini Rekomendasi Wisata Seru di Kota Padang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Cerita dari Balik Busa dan Bilasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024