Puisi-puisi Ubai Dillah Al Anshori
Inangguru
di tanah kami, ingatan hanya tentang kelahiran
masa silam umpama petaka
airmata yang jatuh, sementara pendatang masih
ingin mencuri angka-angka dan kepala mejan telah dibalut luka
kemana nangguru tinggal?
penjaga kampung telah kandas, musim
hanya menyimpan kesepian,
“kepala mejan hilang, tubuhnya menyimpan duka”
di tanah kami, cemas tak pernah tiba
dan anak-anak bermain seperti biasa
sedang nangguru menyuarakan kehilangan
kampung terasa aneh, daun- daun gugur
kicau burung dan angin mendesir
“petanda apa”, “petanda apa”
suara itu terbawa ke tubuh mejan
tubuh penuh duka
2023
Hari Ini Tak Ada Daun Mati, Kasihku
angin tak lagi rimbun, suasana pun bukan memerah
kita sebagai pohon
saling dekap, saling genggam
tulang-tulang musim telah berganti
tak ada kematian daun, karena tumbuh cinta
bersilang dalam ranting
kasih pada akar,
dan di cabang-cabang telah ada
bahagia
lalu, apa yang akan kita bincangkan selain keturunan
anak-anak daun mulai tumbuh
semakin dewasa dan menguning
tak ada kematian daun, kasihku
segala hanya ada dalam kita
2022
Airmata Sungai
di sana pula airmata tumpah
setelah berangkat
dinyalakan, anak-anak menanti,
dari pintu-pintu dan tubuh jendela sepi
kembali melangkah
sedang jarak begitu jauh
suara burung dan mesin samar terdengar
lalu, ketika sungai hanya menyimpan
airmata, dan anak-anak berhenti
menanti.
kemana piyau akan ditambatkan?
”ke sana-ke sana akan kita tambatkan, jika
musim telah digerus
atau bilamana pulang tak lagi ke tepian”
maka, airmata tak pula airmata
sungai tak pula jadi sungai
anak-anak tak pula anak-anak
segala telah lenyap pada
riak kehampaan.
2023
Ubai Dillah Al Anshori lahir di Pematangsiatar. Menulis puisi dan esai, karya-karyanya terbit di media cetak lokal dan nasional. Telah menerbitkan dua buku kumpulan puisi “Setungkul Benang (2018), dan “Tangan-Tangan Kisah (2022). Mengikuti berbagai kegiatan sastra di Indonesia seperti Temu Penyair Kopi Dunia, Takengon 2016, Hari Puisi Indonesia, Riau 2018, dan Payakumbuh Literary Festival, 2018, Payakumbuh Poetry Festival, 2022. Ketua Pelaksana Temu Penyair Nusantara, Pematangsiantar 2018, dan Ketua Pelaksana Temu Penyair Asia Tenggara II, Padang Panjang, 2022. Aktif di beberapa komunitas seperti: Fokus Medan, Akar Kata, Komunitas Seni Intro, Komunitas Tanah Rawa, dan saat ini menjadi Pimpinan Ranah Kreatif.
Luka dan Bahagia dalam Kita
Oleh Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
tak ada kematian daun, karena tumbuh cinta
bersilang dalam ranting
kasih pada akar,
dan di cabang-cabang telah ada
bahagia
Waluyo (1991:25), menyatakan puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Struktur fisik puisi terdiri atas baris-baris puisi yang sama membangun baris-baris puisi (diksi, pengimajian, kata konkret, majas, verifikasi dan tipografi). Sedangkan struktur batin puisi terdiri atas tema, nada, perasaan dan amanat.
Pada dasarnya, menulis puisi adalah mengekspresikan pengalaman batin dengan media kata-kata. Pengalaman yang diekspresikannya itu bisa berupa pengalaman hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, atau hubungan manusia dengan alam. Menulis puisi merupakan sebuah kegiatan ruhani, yang mengekspresikan hubungan manusia dengan segala hal, baik secara fisik maupun metafisik (Maulana, 2012).
Untuk dapat mengekspresikan pengalaman tersebut, lebih lanjut Maulana mengungkapkan bahwa penulis harus mampu mengkreasi bahasa ungkap melalui kosa kata yang dipilih dan dipahaminya secara sungguh-sungguh dengan bahasa yang dikuasainya pula. Selain itu, menulis puisi tidak bisa dengan menuliskan sesuatu yang tidak kita alami secara fisik maupun metafisik. Jika hal itu dipaksakan, maka hasilnya adalah sebuah puisi hampa makna dan bahkan hampa rasa karena tidak mengandung penghayatan atas obyek yang ditulis. Secara sederhana, menulis puisi merupakan pekerjaan mengonkretkan sesuatu yang abstrak dengan menggunakan sarana bahasa.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi karya penyair Ubai Dillah Al Anshori. Ketiga puisi tersebut berjudul “Inangguru”, “Hari Ini Tak Ada Daun Mati, Kasihku”, dan “Airmata Sungai”.
Menulis puisi mengungkapkan pengalaman hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, atau hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan segala hal, baik secara fisik maupun metafisik. Pada puisi Ubai yang pertama relasi yang diekspresikan penyair adalah hubungan manusia dengan negerinya. Hal ini muncul melalui diksi ‘tanah kami’ dan ‘kampung’. Gagasan mengenai negeri tersebut juga menyangkut kepada ‘inangguru’. Beberapa diksi mengarah pada kemuraman, seperti ‘petaka’, ‘air mata’, ‘mejan’, ‘luka’, ‘kandas’, ‘kesepian’, ‘duka’, ‘cemas’, ‘kehilangan’, ‘aneh’, dan ‘gugur’ membangun suasana tidak menyenangkan. Puisi ini menyuarakan rasa sakit dengan segala macam penyebabnya tentang kampung halaman yang menyimpan duka dan kecemasan, khususnya berkenaan dengan sosok yang dipanggil ‘inangguru’.
Kampung halaman bagi sebagian orang mempunyai ingatan yang paradoks; menyimpan detail-detail kenangan yang memercikkan rasa bahagia sekaligus terikat pada pengalaman pedih yang seinginnya dilupakan, namun tetap mengikut sepanjang usia seperti hantu menakutkan. Dua bulan terakhir, kisah kampung halaman yang begitu tragis muncul dalam bentuk kabar penjajahan atas rakyat Palestina yang sangat terancam dalam gempuran kekejaman genosida zionis. Realitas penjajahan disertai foto-video jenazah bayi-bayi dan anak-anak yang tewas dibunuh tentu mencabik-cabik hati nurani. Pedih dan geram membuncah dalam dada merespons ‘tubuh penuh duka’ tersebut.
Puisi kedua menggunakan metafora alam untuk mengungkapkan kehidupan dua orang manusia yang hadir melalui larik ‘kita’ dan ‘kasihku’. Suasana indah damai terpancing oleh diksi ‘daun’ yang dapat mendatangkan imaji tentang kesejukan dan harapan. Apabila puisi pertama mengekspresikan kampung tanah kelahiran, puisi kedua yang menyebut kata daun seperti berusaha melawan kemurungan yang ada pada kata ‘kematian’. Penyair sangat bersemangat menunjukkan optimisme lewat larik ’kita sebagai pohon/ saling dekap, saling genggam’, dan ‘tumbuh cinta/ bersilang dalam ranting/ kasih pada akar,/ dan di cabang-cabang telah ada/ bahagia’. Kematian daun yang dapat dimaknai sebagai pupusnya harapan ditepis dengan adanya kekuatan bersama dalam wujud tetap saling memberi dukungan dan berusaha menumbuhkan harapan-harapan baru karena spirit itu ‘ada dalam kita’. Masalah dan hambatan adalah hal yang lumrah di dalam perjalanan kehidupan, tinggal bagaimana cara menyikapinya.
Puisi ketiga masih memanfaatkan alam untuk menggambarkan dinamika kehidupan manusia. Kali ini sungai yang dirangkai dengan diksi air mata. Peradaban manusia sangat dengat dengan keberadaan sungai-sungai, seperti sungai Batang Hari, Ombilin, Mahakam, Eufrat Tigris, Nil, dan Amazon. Sungai dimanfaatkan manusia sebagai sarana transportasi dari satu wilayah ke wilayah lain dengan berbagai objek penyertanya, seperti perahu-kapal, perompak, tepian mandi, dermaga, jembatan, banjir, mineral, pasar, agama, dan politik. Kata sungai memunculkan imaji bocah-bocah mandi berenang berkecimpung melompat salto, perahu-perahu membawa hasil bumi, air kuning tambang timah, jembatan gantung yang putus dihantam banjir, adu pacu lajur, atau pasar terapung kaum ibu berjualan makanan, buah-buahan dan perabot diatas perahu yang berseliweran di permukaan sungai beriak tenang.
Sungai pada puisi ketiga ini mengalirkan ‘kehampaan’. Mulai baris awal Ubai telah menulis ‘airmata’ yang disambung dengan ‘sepi’. Mengapa realitas sungai membuat orang menangis? Ubai menjawab dengan pertanyaan, ‘kemana piyau akan ditambatkan?’ Piyau atau perahu sepertinya telah kehilangan dermaga dalam pandangan Ubai sehingga tidak bisa lagi bertambat. Atau tak hanya kehilangan dermaga, perahu juga telah kehilangan sungai untuk diarungi. Sungguh ironis tentu, namun itulah fenomena mengerikan yang tengah terjadi.
Menulis merupakan pekerjaan mengonkretkan sesuatu yang abstrak, Ubai telah melakukannya: mengonkretkan luka dan bahagia kita.[]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post