Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Beberapa waktu lalu saya dan beberapa rekan berkunjung ke Malaysia. Perjalanan itu memang saya niatkan untuk liburan sambil “melihat-lihat” beberapa kampus untuk rencana studi S3. Namun begitu, kunjungan beberapa minggu tersebut juga membuat saya terperangkap dalam serangkaian pengalaman unik dan memikat. Keajaiban alam dan kekayaan budaya menyajikan pelajaran mendalam, memperkaya pengetahuan dan meninggalkan kesan tak terlupakan.
Sama seperti kunjungan ke tempat-tempat baru sebelumnya, hal yang paling saya prioritaskan adalah kulinernya. Saya beruntung saat itu menginap di kawasan yang di kelilingi banyak tempat makan dengan berbagai menunya. Dari jajanan kaki lima hingga hidangan khas restoran, setiap gigitan adalah petualangan rasa yang tak terlupakan. Keberagaman kuliner ini tidak hanya memuaskan lidah, tetapi juga membuka pintu wawasan terhadap kekayaan budaya dan tradisi kulinernya.
Hal paling berkesan bagi saya dari berbagai menu yang dicicipi adalah makanan khas restoran (kedai) Mamak. Kedai Mamak, sebuah warisan kuliner yang merajut sejarah dan cita rasa di Malaysia. Dalam beberapa artikel yang saya baca, kedai mamak berakar dari tradisi India-Muslim dan telah menjadi landmark gastronomi Malaysia yang tak terpisahkan.
Bermacam menu yang disediakan, beberapa yang saya ingat yaitu aneka roti seperti roti canai, roti telur, sarang burung, roti bawang, naan tandoori ayam, nasi lemak, dan nasi kandar. Menu-menu yang pernah saya coba itu memiliki cita rasa kaya rempah dan kehangatan budaya bersatu dalam hidangan yang menggoda selera.
Hal unik lainnya di kedai Mamak ini adalah tentang kecakapan koki dalam memasak. Pada beberapa kedai Mamak yang kami kunjungi (di Kuala Lumpur dan Selangor) tempat masaknya dapat dilihat oleh pengunjung. Kami menyaksikan para koki Mamak dengan keahlian warisan mereka memadukan bumbu eksotis dengan teknik memasak yang unik, menghasilkan hidangan ikonik seperti roti canai dan teh tarik.
Saya kira kedai Mamak bukan sekadar tempat menyantap makanan lezat, tapi juga menjadi “panggung” pertemuan sosial, menambah sentuhan keakraban dalam setiap suapannya. Hampir setiap pagi, saya merajut kebersamaan dengan setiap suap sarapan di sana, menjadikannya ritual harian yang melibatkan seluruh indera. Dalam kesempatan itu pula, saya dihadapkan oleh pemandangan berbagai etnis dan warga asing bersatu dalam satu ruang, menyatu dengan kelezatan hidangan dan kehangatan percakapan.
Dari catatan dan pengalaman yang singkat ini, saya melihat bahwa kedai Mamak bukan sekadar destinasi kuliner; ia adalah panggung pertemuan sosial yang menyatukan berbagai etnis dan warga asing dalam kebersamaan makan. Seperti keajaiban kuliner yang terus mengalir, pengalaman di kedai Mamak Malaysia telah meninggalkan jejak tak terhapuskan dalam perjalanan penemuan budaya dan cita rasa.
Discussion about this post