Oleh: Ria Febrina
(Dosen Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Siang itu saya dan seorang teman ingin menikmati Yogyakarta lagi. Jalan-jalan ke mana ya? Yang dekat-dekat saja, tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta. Kami sudah mengitari daerah dekat Malioboro hingga ke arah utara, ke Tugu Yogyakarta. Kalau dipikir, sudah tak terhitung lagi berapa kali.
Rumah saya tak jauh dari Malioboro. Pada masa pandemi, hampir setiap hari saya dan keluarga ke sini. Bukan untuk berwisata, melainkan untuk berbelanja di sebuah pasar yang selalu ingin dikunjungi orang setiap kali ke Yogyakarta. Pasar Beringharjo. Kadang kami ke sana hanya untuk membeli baju gagrak yang harus dipakai anak ke sekolah. Baju gagrak ini wajib dipakai oleh anak-anak Yogyakarta setiap Kamis pahing. Pada hari lainnya, kami belanja sayur-mayur dan aneka lauk di bagian timur Pasar Beringharjo. Kalau tidak, setiap satu bulan sekali, kami kadang duduk-duduk santai sore hari di kawasan ini.
Jalan-jalan kali ini pun seperti meneroka. Saya dan teman saya ingin menemukan tempat wisata baru agar bisa direkomendasikan kepada teman atau keluarga yang datang dari Pulau Sumatera. Wilayah sekitar Malioboro memang selalu jadi incaran bagi teman dan keluarga yang baru datang atau sudah berkali-kali datang ke Yogyakarta. Di tempat ini mereka bisa jalan-jalan sambil belanja dalam satu hari. Kalau lokasi lain, seperti ke Kaliurang, Gunung Kidul, atau Bantul, butuh waktu dan juga butuh transportasi.
Kami mencoba mendata tempat wisata ke arah selatan Malioboro. Ada Keraton Yogyakarta, Taman Sari, dan Alun-alun Kidul. Hampir semua orang yang datang ke Yogyakarta pernah berkunjung ke lokasi itu. Namun, saat melirik beberapa patung prajurit keraton Yogyakarta di Jalan Pangurakan, kami pun memutuskan ke sini saja.
Di belakang patung prajurit keraton yang didesain mirip tokoh komik ini, terdapat sebuah museum yang pernah dibom pada tahun 1945. Kala itu pesawat tempur Belanda menjatuhkan bom ke beberapa bangunan penting di Yogyakarta. Ada RRI (Gedung BNI 46 sekarang), Balai Mataram, dan juga Museum Sonobudoyo. Setelah direnovasi, museum ini pernah dikunjungi oleh Presiden Soekarno pada tahun 1955. Museum ini merupakan museum sejarah dan kebudayaan Jawa. Arsitektur bangunannya didesain sebagai arsitektur klasik Jawa dan menyimpan koleksi budaya dan sejarah Jawa yang paling lengkap setelah Museum Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Dengan kisah-kisah itu, saya dan teman saya memutuskan masuk ke musem ini.
Seperti biasa, museum ini selalu ramai. Kami antre di loket pembelian tiket bersama orang-orang yang datang dari luar kota. Setelah antre sekitar setengah jam, kami pun masuk dari pintu selatan. Kami masuk ke Museum Sonobudoyo Unit I. Tepatnya dari pintu selatan, kita akan langsung disuguhkan koleksi budaya Jawa di bawah sebuah pendopo. Ada gamelan dan gong, baik di panggung sisi kiri dan panggung sisi kanan. Dulu pada salah satu sisi, terdapat tulisan gamelan slendro yang di bawah tulisan tertanda Sri Sultan Hamengku Bowono VI. Di sekitar tulisan itu, kita bisa menyaksikan alat musik tradisional Jawa ini secara detail, tetapi tak boleh menyentuhnya sama sekali.
Kami tidak berlama-lama di sini. Setelah berfoto sembari bergaya seperti penari di depan patung penari Jawa, kami pun melanjutkan perjalanan ke bagian dalam. Satu bagian yang membuat kami tertarik adalah sebuah kasur kuno dengan dipan, bantal, dan guling kerajaan yang di depannya terdapat tempat memuja Dewi Shri, dewi kesuburan atau Dewi Padi. Di depan pemujaan tersebut, diberi pagar rantai yang membatasi area dengan pengunjung. Di bawah cahaya yang temaram, kami sempatkan berfoto di sini.
Dari sisi ini, kami beranjak ke kanan atau ke sisi timur. Kami kemudian dibawa ke ruangan yang menunjukkan jejak prasejarah. Koleksi di ruangan ini persis dengan banyak museum yang pernah kami kunjungi di Sumatera Barat. Kami melihat koleksi-koleksi kuno, seperti perkakas dan perburuan pada masa lampau, kubur batu beserta lantai kaca yang di bawahnya terdapat tengkorak manusia, serta naskah lontar yang menjadi salah satu media tulis zaman Jawa Kuno.
Entah dari mana, kami menemukan bunyi gemuruh dari satu sisi. Setelah saya periksa, ternyata ada simulasi keris Jawa yang memancarkan cahaya yang dilengkapi dengan keterangan nama dan sejarah dibalik keris tersebut. Bagi saya, teknologi yang dipadankan dengan koleksi benda kuno ini sangat istimewa. Barangkali di banyak museum yang pernah saya kunjungi, Yogyakarta merupakan kota yang mampu menyuguhkan hal baru dalam pengalaman ke museum. Saya mampu mengubah pandangan museum sebagai ruang kuno yang penuh mistis menjadi ruangan seni yang sangat nyaman dikunjungi.
Setelah puas menyaksikan kembali jejak prasejarah, kami kemudian memasuki ruang koleksi batik. Batik-batik Nusantara dengan motif yang sangat cantik dipajang di dinding. Ada yang dipajang dengan kain utuh terhampar, ada yang dipajang dalam figura, ada juga yang dipajang dalam sebuah gantungan tradisional yang terbuat dari kayu terbaik Indonesia. Di ruangan batik ini, naluri perempuan saya tergelitik. Rasanya saya ingin mengoleksi batik-batik itu. Sejak mengenal batik, saya melihat selalu ada yang berbeda. Saya menemukan keindahan dan khazanah budaya Indonesia dalam setiap motif yang dituliskan. Motif batik yang dipajang di museum ini justru menunjukkan salah satu yang sangat berbeda dan begitu indah. Sepertinya, koleksi yang dipajang merupakan koleksi terbaik Yogyakarta.
Setelah berpuas menyaksikan koleksi batik, kami beralih ke ruangan lain. Ruang pameran wayang. Saat berpindah ruangan, di sisi sebelah kanan, terdapat sebuah layar yang menampilkan pertunjukan wayang beserta ceritanya. Saya sempat duduk sejenak menyaksikan pertunjukan tersebut. Namun, saya tidak bisa berlama-lama karena orang-orang berlalu-lalang dan suara pertunjukan juga tidak terlalu jelas.
Saya pun melanjutkan perjalanan dengan keliling ruangan ini. Aneka wayang dipajang dengan apik. Satu wayang dengan wayang lain itu berbeda. Ada wayang kulit, ada wayang golek. Saya mengagumi setiap detailnya. Meskipun tidak paham jenisnya, saya melihat betapa hebat seniman Indonesia menciptakan wayang-wayang tersebut. Dulu saya hanya menilai wayang dari gambar dan tangkainya. Sekarang saya bisa melihat dengan cermat, betapa sebuah wayang menampilkan ukiran yang indah—padahal begitu rumit diciptakan—dengan motif yang mencerminkan khazanah budaya Indonesia. Barangkali di ruang pameran wayang Musuem Sonobudoyo ini, saya jatuh cinta kepada wayang.
Menutup perjalanan di Museum Sonobudoyo Unit I, kami menemukan ruangan yang memamerkan koleksi patung dan barang kerajinan asal Bali dan Lombok. Di ruangan ini dipajang koleksi yang menceritakan aktivitas kebudayaan Pulau Dewata, seperti upacara keagamaan dan koleksi pelengkap ritual tradisional Bali. Namun, kami tidak berlama-lama di sini karena saya mendengar koleksi terbaik Museum Sonobudoyo terdapat di Unit II.
Kami keluar gedung Unit I, lalu menyeberang dan masuk ke gedung Unit II. Kita akan merasakan suasana yang berbeda antara kedua gedung. Unit I seperti memberikan pengalaman berada di museum kuno dengan suasana mistis yang sangat kuat. Mungkin karena koleksi yang dipajang juga koleksi lama, yang bagi siapa pun, percaya atau tidak, setiap koleksi seperti menyimpan energi gaib. Sebaliknya, di Unit II, kita seperti masuk ke dunia modern dengan arsitektur gedung yang sangat megah.
Ketika kami masuk ke dalam, di sebelah kanan kami disuguhkan teknologi meja rijstafel yang merupakan meja yang menampilkan jamuan makan dari Belanda. Jamuan makan ini berada di atas meja panjang dengan delapan kursi lengkap dengan peralatan makan dan minum. Dengan teknologi audio visual, kita akan menyaksikan lampu-lampu cantik menyajikan aneka motif taplak meja yang pernah ada di Indonesia. Dengan permainan lampu ini, kita juga akan melihat sajian makanan Nusantara di atas piring-piring tersebut. Padahal, jika lampu dimatikan, hanya ada taplak kain putih polos dan aneka piring, gelas, dan sendok pilihan yang terbuat dari kaca, besi, dan perak.
Di dinding sebelah meja panjang, ada layar sentuh yang juga menyajikan teknologi audio visual yang menampilkan live cooking yang menyajikan proses penyajian makanan mulai dari memasak hingga sampai ke meja makan secara digital. Kita akan disajikan layar sentuh ke menu rumahan, menu hotel, dan menu keraton. Kita akan mendengarkan penjelasan melalui audio visual yang tersedia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sungguh memukau.
Teknologi dalam perjamuan dan perhelatan ini membuka perjalanan panjang kita pada berbagai koleksi Museum Sonobudoyo yang kekinian. Di banyak tempat kita akan menyaksikan video mapping yang memanfaatkan proyektor untuk memberikan efek visual pada koleksi museum. Koleksi museum yang ditampilkan juga lebih modern dibandingkan koleksi sebelumnya.
Kita akan menyaksikan koleksi patung, topeng, keris, wayang, dan batik beserta patung senimannya yang estetis. Misalnya, kita akan menemukan batik-batik yang dipajang dalam ruang kaca. Saya belajar banyak dari batik dan maknanya di sini. Misalnya, saya menemukan batik sido luhur yang ternyata dipakai untuk Upacara Tumbuk Ageng atau upacara perayaan panjang umur. Maknanya agar si pemakai mendapatkan keluhuran budi hingga akhir hayat. Ada juga kain batik slobog yang dipakai pada upacara kematian. Batik ini dipakai oleh keluarga atau pelayat agar jiwa dari orang yang meninggal dapat dengan tenang di kehidupan setelah kematian.
Koleksi-koleksi tersebut membuat saya percaya bahwa museum yang dulu dikenal sebagai ruang sepi bisa dijadikan ruang belajar dan ruang wisata yang nyaman. Selama melihat koleksi tersebut, berkali-kali saya berkata kepada teman saya, andaikan semua museum didesain seperti ini, khususnya museum di kampung saya, pasti banyak orang yang benar-benar jatuh cinta dengan museum. Tulisan ini setidaknya ingin mengetuk hati banyak pihak agar bisa menciptakan ruang-ruang museum dengan teknologi kekinian.
Di akhir kunjungan ini, kami melihat sebuah layar dengan kamera. Di dalam layar, kami tampak sedang berada dalam ruangan museum. Bukan hanya kami, tetapi ada sepasang pramusapa berpakaian adat Jawa di sebelah kami. Kami diminta bergaya untuk berfoto bersama mereka. Setelah itu, kami mengescan hasil foto dan sebuah foto terkirim ke galeri kami. Nah, emang boleh seasyik dan semenarik ini berkunjung ke smart museum?
Kalau teman-teman ke Yogyakarta, jangan lupa luangkan waktu ke Museum Sonobudoyo ya. Jika waktu yang dimiliki terbatas, teman-teman bisa fokus ke Museum Sonobudoyo Unit II. Sebuah museum yang didesain sebagai smart museum di Yogyakarta.
Discussion about this post