Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Budaya adalah seni yang diangkat menjadi seperangkat keyakinan.”
– Thomas Wolfe (American Novelist)
Tradisi menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari suatu masyarakat. Walaupun, banyak tradisi yang sudah berda pada posisi marjinal karena proses perkembangan zaman. Namun, pada saat ini tradisi kembali disorot sebagai sesuatu yang menarik dan unik sehingga dengan menyuarakan tradisi kepada orang di luar pengguna tradisi tersebut menjadi sebuah ketertarikan untuk objek penelitian, pariwisata, dan keingintahuan lainnya. Dengan demikian, tradisi dikemas dalam berbagai bentuk visual, baik sebagai objek wisata, karya sastra dalam bentuk novel atau cerpen, bahkan film.
Film yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan adalah film yang berjudul Saranjana: Kota Ghaib. Film yang disutradarai oleh Johansyah Jumberan dan diproduksi oleh Darihati Films sudah tayang di bioskop seluruh Indonesia semenjak tanggal 26 Oktober 2023. Dalam 17 hari tayang film ini sudah tembus 1 juta penonton. Adinda Azani, Luthfi Aulia, Irzan Faiq, Ajeng Fauziah, Betari Ayu, adalah beberapa pemain yang ada pada film dengan durasi 98 menit dengan latar tradisi dan budaya masyarakat Kalimantan.
Kepercayaan masyarakat Kalimantan terkait kota ghaib yang maju menjadi latar belakang kemunculan film yang dipasarkan oleh DHF Entertaiment. Keyakinan tersebut tentu saja tidak hadir begitu saja, tetapi memang sudah banyak terjadi dalam masyarakat, misalnya ada di antara mereka yang hilang, lalu kembali dengan berbagai cerita menakjubkan dan terkadang mereka mengira baru pergi sebentar, tetapi ketika berada di dunia nyata yang kita tempati mereka sudah pergi berhari-hari. Bahkan, ada juga orang-orang yang tidak kembali lagi setelah hilang. Dalam film digambarkan ada seorang anak yang sudah hilang tujuh tahun. Peristiwa seperti ini tidak hanya terjadi di Kalimantan, tetapi juga di berbagai daerah sehingga masyarakat percaya bahwa orang yang hilang tiba-tiba dianggap dilarikan ke daerah lain di luar dunia yang kita tempati saat ini. Mereka yang hilang tersebut adalah orang-orang terpilih serta tidak sembarang orang juga bisa berkunjung ke kota itu.
Film ini dimulai dari Adinda Azani yang berperan sebagai Shita dalam kondisi pikiran yang kurang baik dan tiba-tiba menghilang diajak orang yang tidak dikenal, tetapi menggunakan pakaian adat. Dari pembukaan film sudah digambarkan bagaimana tradisi yang ada di dalam masyarakat Kalimantan. Setelah kejadian ini, banyak hal-hal yang berkaitan dengan tradisi masyarakat yang digambarkan dalam film dengan genre horor petualangan ini. Namun, seperti tanggapan generasi muda terkait dengan tradisi yang menjadi suatu hal mistis dan ketinggalan zaman juga digambarkan di dalam film, misalnya Rendi yang tidak percaya dengan ucapan Event Organizernya bahwa kemungkinan Shita menjadi orang terpilih yang dibawa ke “kota sebelah”.
Tidak hanya hal di atas, tetapi juga ada kepercayaan masyarakat terkait “orang pintar” yang bisa menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan hal gaib, bahkan ia sudah bisa tahu jika akan ada orang yang datang mengunjunginya untuk bertanya hal-hal yang bersifat magis. Hal lain yang menggambarkan kekentalan tradisi dalam film ini, seperti kepercayaan seorang istri “orang pintar” atau dukun terkait dengan jika dia keluar dari kelambu, musuh-musuh suaminya akan menyantetnya. Penggambaran dialog ini cukup detail karena sebelumnya si istri meludah ke dalam sebuah mangkok dan yang keluar ternyata adalah ludahan darah setelah air dalam mangkok tersebut dibuang oleh orang yang membantu keluarga itu
Penggambaran tradisi yang lain banyak terlihat dalam proses pencarian Shita, misalnya ketika teman-teman disuruh untuk mencari mandau (senjata berbentuk parang, tetapi berbungkus seperti keris) dan pohon halau-halau yang berada di tengah hutan. Mereka harus menempuh perjalanan dua hari dengan cara berjalan kaki. Selain itu, juga ada penyampaian bahwa jika mandau yang sudah dikuburkan bersama yang punya tersebut diambil, akan terjadi bala atau musibah. Hal ini terlihat dari adanya tiga orang teman-teman pencari Shita yang meninggal dengan cara yang berbeda-beda. Pertama karena dadanya dimakan tuyul, kedua karena ikut menari topeng Kalimantan karena orang yang ikut menari ini tidak akan berhenti sampai ia meninggal, dan ketiga karena tertusuk mandau. Kepercayaan yang ada di masyarakat tidak boleh dilanggar karena mereka yang melanggar akan dianggap terkena bala atau musibah sehingga banyak masyarakat yang masih mempercayai tradisi yang mereka miliki dan berupaya tidak melanggar aturan-aturan yang telah dibuat oleh nenek moyang mereka.
Penceritaan film yang menggambarkan kepercayaan masyarakat terhadap Kota Saranjana semakin kuat karena adanya peta zaman dulu yang memang mencantumkan adanya kota tersebut. Hal ini akhirnya menarik perhatian banyak pihak, bahkan di media tiktok banyak content creator yang menelusuri Kalimantan secara langsung, di antaranya adalah Gusti Gina yang memberi judul videonya Penampakan Kota Ghaib Saranjana dan sudah ditonton 4.4 juta dengan 289 ribu suka. Dalam penelurusannya Gina menjelaskan bahwa ia mulai mencari cerita di Desa Oka-oka, Kecamatan Pulau Laut, Kota Banjar Baru. Kemudian, ia mewawancarai juri kunci Kota Ghaib Saranjana yang bernama Pua Bella. Wawancara denga Pua Bella juga harus disetujui oleh penghuni Kota Saranjana, Menurut beliau orang yang ke Saranjana adalah orang yang sudah meninggal karena dulunya kota itu dihuni oleh manusia atau sering disebut dengan desa mati dan orang yang masih hidup pun juga bisa ke sana.
Tidak hanya penelusuran yang dilakukan oleh content creator di tiktok, tetapi jika dilakukan pencari di google juga banyak ditemukan tulisan-tulisan yang terkait dengan Kota Saranjana. Tulisan tersebut bisa ditemukan di detik.com, kompas, liputan6, republika online, dan lain-lain. Salah satu judul tulisan yang ada di detik.com adalah “Kisah Saranjana dan Kaitannya dengan Gunung Sebatung” atau tulisan yang ada di Kompas dengan judul “Menelusuri Kota Ghaib Saranjana, lokasi, penamaan, hingga sejarahnya”.
Hal di atas membuktikan bahwa kepercayaan yang ada di masyarakat ketika dikemas dengan cara berbeda, dapat menimbulkan daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Setiap masyarakat pada hakikatnya memiliki kepercayaannya masing-masing terkait dengan orang hilang. Jika di Saranjana ada anggapan bahwa orang hilang bisa mereka temukan dengan mandau dan melewati pohon halau-halau, di Sumatera Barat ada orang yang dilarikan oleh hantu aru-aru maka harus dicari dengan cara diteriakan namanya sambil memukul piring besi atau lebih dikenal dengan piriang kanso. Oleh sebab itu, memahami tradisi dan budaya yang di dalam sebuah masyarakat jadi menarik karena kasus yang sama bisa diselesaikan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan tradisi masing-masing daerah.
Discussion about this post