Ketika menikmati sarapan pagi dalam kegiatan Kongres Bahasa Indonesia XII pada 25—28 Oktober 2023, saya mendengar seseorang menceritakan pengalamannya dalam diplomasi budaya melalui kuliner. Salah satu kuliner yang dipilih sebagai diplomasi budaya adalah rendang. Rendang dipakai sebagai media untuk mengembangkan kerja sama antara Indonesia dan negara asing.
Mendengar rendang dijadikan diplomasi budaya, tentu sebagai penutur asli bahasa Minangkabau, saya bangga. Saya pun jadi ingat ketika mengajar mahasiswa asing di Universitas Andalas, khususnya ketika saya mengajar mahasiswa Korea dalam program musim panas, serta mengajar mahasiswa asing lainnya dari Inggris, Iran, dan Madagaskar dalam program darmasiswa. Salah satu program BIPA Universitas Andalas adalah mengenalkan kuliner Minangkabau. Mahasiswa dikenalkan dengan bahan baku dan bumbu yang dipakai untuk membuat makanan. Ada rendang dan onde-onde yang diperkenalkan kepada mahasiswa saat itu.
Mahasiswa asing tersebut sangat senang dan suka ketika dikenalkan makanan Indonesia. Mereka memang sangat tertarik. Makanan-makanan lokal merupakan selera baru yang harus mereka cicipi. Meskipun awalnya ada yang tidak suka dengan rasa dan bau makanan, intensitas mencicipi makanan dapat membuat mereka semakin mengenal dan kemudian menyukai makanan tradisional tersebut. Saya masih ingat dengan salah seorang mahasiswa Korea. Waktu pertama kali datang ke Indonesia, dia sangat tidak suka dengan bau durian yang sangat menyengat. Namun, setelah mencicipi berulang kali, akhirnya dia menikmati dan kemudian merindukan durian ketika kembali ke negaranya. Kosakata durian pun menjadi kosakata yang paling disukainya.
Dalam pengajaran bahasa Indonesia, kuliner Indonesia dapat menjadi materi pembelajaran. Kala itu saya mengajarkan mereka mata kuliah menulis. Pada pertemuan awal, saya menanyakan kepada mereka sudah mencicipi makanan apa saja di ranah Minang? Hampir semua mahasiswa berkata bahwa mereka sudah makan rendang.
Agar pengalamannya mereka melekat terhadap makanan tersebut, saya pun meminta mencari bahan baku dan cara memasak rendang untuk dipresentasikan pada minggu berikutnya. Benar saja, mereka ternyata menemukan kosakata baru dan memiliki pertanyaan kepada saya.
“Ibu, apakah rendang hanya daging sapi?”
Kala pertanyaan itu muncul, saya pun menjelaskan bahwa rendang juga bisa dibuat dari bahan baku selain daging sapi, seperti daging ayam dan kerang. Selain daging-dagingan, telur juga dapat menjadi bahan baku membuat rendang. Di Minangkabau, rendang telur sudah dijadikan sebagai oleh-oleh. Selain bahan baku tersebut, saya juga menceritakan kalau ada bahan baku lain yang dapat diolah menjadi rendang, seperti jengkol dan sayur pakis. Sebagai pelengkap rendang, dikenalkan juga kacang merah, kentang, dan ubi yang sering dimasak bersama bahan baku tersebut.
Mendengar kosakata tersebut, seperti daging sapi, ayam, kerang, telur, jengkol, pakis, kentang, dan kacang merah, mereka seperti mendapat wawasan baru tentang bahan baku makanan. Ketika saya bertanya kepada mereka, apakah bahan baku tersebut juga ada di negara mereka? Ternyata tidak. Ketika mereka tidak mengenal sama sekali, saya menunjukkan melalui gambar atau video yang terdapat di Youtube.
Berbeda dengan bahan baku, ketika diminta menjelaskan bumbu rendang, mereka menjelaskan dengan cukup fasih dan mampu menceritakan bagaimana bumbu tersebut juga dipakai di negara mereka. Meskipun demikian, tetap ada saja bumbu yang tidak mereka ketahui.
“Ibu, apa itu pala?”
Ketika mereka menanyakan hal tersebut, saya pun dengan senang menjelaskan bagaimana Indonesia dikenal sebagai negara pemasok kebutuhan pala terbesar dunia. Dengan menunjukkan gambar dan video, saya jelaskan pala menjadi bumbu yang banyak dipakai untuk bahan masakan di ranah Minang. Saya juga menunjukkan beberapa makanan yang ditambahkan pala dalam makanan, seperti sup daging dan kuah soto padang. Saya pun bertanya kembali, apakah mereka sudah mencobanya?
“Sudah, Ibu,” ujar sebagian dari mahasiswa tersebut dan “Belum, Ibu,” ujar yang lain.
Mereka yang sudah mencicipi saya minta menceritakan kepada temannya, sedangkan yang belum mencicipi saya rekomendasikan soto padang dan sup daging yang cukup enak di sekitar kampus Universitas Andalas.
Terkait kuliner Nusantara ini, di daerah lain, seperti Jawa, Sunda, Aceh, Bali, dan Ambon, makanan dari daerah mereka masing-masing pasti juga menjadi materi untuk dikenalkan kepada mahasiswa asing. Dalam proses pembelajaran ini, sebenarnya bukan hanya nama makanan, kosakata yang berkenaan dengan bahan baku dan bumbu masakan, serta bagaimana cara mengolahnya, mahasiswa sebenarnya diajarkan bagaimana melahirkan kalimat bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan menggunakan kosakata tersebut. Dengan demikian, kemampuan berbahasa Indonesia mereka pun semakin bertambah, baik dari segi kosakata maupun kalimat.
Saya berterima kasih kepada pengajar BIPA yang mengenalkan rendang sebagai kuliner khas Indonesia. Rendang sebenarnya hanya menjadi salah satu penghubung komunikasi antara penutur bahasa Indonesia dengan penutur bahasa asing. Mengenalkan bahasa Indonesia melalui makanan merupakan strategi paling cepat, apalagi jika mereka disuguhkan makanannya, diajak mencicipi ke pasar-pasar tradisional, dan diajak memasak bersama.
Pengalaman mereka dalam mengenal kosakata bahasa Indonesia melalui makanan membuka peluang bagi mereka untuk menjadi duta bahasa Indonesia di negara asal. Saya pernah menanyakan kepada beberapa mahasiswa. Ada sebagian mahasiswa yang berkeinginan mengajar bahasa Indonesia di negara mereka dan juga ada yang berkeinginan bekerja di perusahaan negara asal mereka yang ada di Indonesia, seperti mahasiswa Korea yang ingin bekerja di perusahaan Samsung yang ada di Indonesia.
Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia, bahasa Indonesia saat ini sudah diajarkan di 54 negara dengan jumlah 229 lembaga mitra serta mencapai 154.000 peserta BIPA. Dalam Kongres Bahasa Indonesia XII, penginternasionalan bahasa Indonesia menjadi salah satu subtema yang dibahas, selain literasi bahasa Indonesia, serta revitalisasi bahasa dan sastra daerah.
Beajar dari pengalaman para pengajar BIPA ini, ada satu hal yang perlu dipahami oleh peserta didik Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi peluang bagi mereka untuk mengajar dan bekerja di luar negeri. Meskipun banyak mahasiswa asing yang sudah mahir berbahasa Indonesia, kesempatan untuk mengajar di luar negeri tetap sangat besar. Mahasiswa asing tentu sangat senang belajar langsung dari penutur asli bahasa Indonesia. Pengajar Indonesia tentu sangat baik dan mampu menjelaskan kaidah bahasa Indonesia saat mengajar.
Salah satu cara yang dapat dilakukan penutur Indonesia yang sedang belajar untuk mampu menjadi pengajar BIPA adalah memilih jurusan bahasa Indonesia sebagai pilihan kuliah dan meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris untuk komunikasi internasional. Tentu sangat tidak mungkin bertanya, “Di mana toilet?”, ketika tiba di negara asing. Bahasa Inggris berperan sebagai bahasa penghubung di negara tujuan.
Pengalaman pengajar BIPA diharapkan dapat membuka mata dan meningkatkan apresiasi peserta didik Idi ndonesia agar menjadikan program studi bahasa Indonesia sebagai pilihan pertama ketika memilih jurusan saat akan kuliah. Belajar bahasa Indonesia tidak hanya sekadar belajar imbuhan, kata baku, kalimat efektif, dan paragraf melainkan ada muatan lain yang dapat membantu dalam menjalin kerja sama antara negara Indonesia dengan negara asing, serta menjalin kajian bahasa dengan kajian lain. Misalnya, akhir-akhir ini semakin banyak peneliti Indonesia yang mengaitkan kajian bahasa dengan bidang kedokteran, kebencanaan, pangan, ekologi, dan iklim.
Bahasa Indonesia mampu menjadi pembuka untuk mengkaji lebih dalam bidang ilmu lain, serta menjadi pembuka kerja sama antara negara Indonesia dengan negara lain. Menuju 100 tahun Sumpah Pemuda yang bertepatan dengan tahun 2028, sangat penting bagi kita untuk memartabatkan bahasa Indonesia di dunia internasional.
Discussion about this post