Senja di Mata Mona
Oleh : Muttaqin Kholis Ali
“Loh kalian kok balik lagi?” Bu Vina, guru yang baru saja diangkat PNS menunjuk tiga gadis yang baru saja memarkirkan motornya di depan lobi sekolahan tempatnya mengajar. Tiga gadis di depannya saling sikut. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Bu Vina, hingga ia harus bertanya ulang.
“Bukannya kalian pulang jam tiga hari ini?”
Dini, muridnya yang memakai celana jins dan jilbab abu-abu mengangguk. “Tadi … kakaknya Mona bilang kalau Mona belum pulang, Bu.” Dengan takut-takut ia menjawab pertanyaan Bu Vina. Bukan tanpa alasan mereka ketakutan, karena di sekolah Bu Vina dikenal sebagai guru yang killer dan suka menghukum siswa.
“Belum pulang? Lalu kenapa kalian balik ke sekolahan?” tanya Bu Vina lagi.
“Karena semua tempat sudah kami cari, dan siapa tahu Mona masih di sekolahan.”
Bu Vina melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Sudah hampir magrib. Ya udah, ayo kita cari. Dini ikut saya, kalian berdua menyisir gedung barat.”
Mereka berpencar. Dini terus memanggil Mona sepanjang mereka mencarinya. Lobi, lab fisika, lab komputer sudah terlewati, tapi tidak menemukan Mona di sana.
Hingga teriakan salah satu teman Dini membuat Bu Vina dan Dini berlari ke arah sumber suara.
“Astaga!” Dini lemas melihat Mona.
Bu Vina tak kalah kaget. Salah satu murid yang dikenalnya pintar di kelas itu tengah duduk di pagar pembatas di lantai dua. Kedua kakinya mengayun ke bawah.
“Mona, turun!” teriak tiga temannya bersamaan.
Mona tampak acuh tak acuh. Ia masih mengayunkan kaki dengan santai sambil melamun dan menangis. Di ufuk barat, sinar senja tampak perlahan menghilang.
Ia benci senja. Ia juga benci orang tuanya.
“Mona, turun dulu!” Bu Vina melambaikan tangan.
Mona masih bergeming.
“Apa kalian tahu masalah yang sedang dihadapi Mona? Atau ada orang yang bisa dipanggil ke sini. Ibunya atau ayahnya mungkin.”
Tiga gadis itu berpandangan. “Kami tidak berani menceritakannya, Bu.”
Bu Vina menarik napas panjang. “Oke. Kalau begitu kalian tetap panggil Mona dari sini, Ibu akan naik ke lantai dua.”
Bu Vina berputar arah. Ia tidak naik lewat tangga yang dekat dengan tempat Mona duduk, tapi memutar agar tidak terlihat olah gadis yang masih santai duduk di pagar pembatas tersebut.
Sesampainya di dekat Mona, Bu Vina menarik napas terlebih dahulu sebelum mendekati gadis itu.
“Mon, turun dulu, yuk!” Bu Vina mendekat.
Mona menoleh cepat. “Bu Vina ngapain ke sini?” tanyanya ketus.
Bu Vina berhenti satu meter dari tempat Mona duduk. “Mau nemenin kamu. Tapi lebih baik kita ngobrol di kursi aja, soalnya Ibu gak bisa naik ke situ.”
“Aku gak butuh Ibu.”
Kalau sedang tidak dalam kondisi seperti ini, Bu Vina pasti langsung memarahi Mona. Tapi sekarang kondisinya berbeda, Mona sedang tidak baik-baik saja.
“Dahlah, kalian ganggu aja.” Mona bersiap untuk lompat.
Bu Vina dan ketiga teman Mona di bawah berteriak serempak. “Jangaaan.”
Dini tidak kuat, ia memejamkan matanya agar tidak melihat Mona yang lompat. Begitu juga dengan Bu Vina yang reflek menutup wajahnya dengan tangan.
Satu menit berlalu. Tidak ada suara benda jatuh.
Bu Vina membuka tangannya yang menutupi wajah. Terlihat Mona tengah membersihkan debu di roknya dan berjalan santai menjauh dari Bu Vina.
Tiga teman Mona dan Bu Vina menghela napas lega. Mereka kira Mona hendak lompat.
Sejak hari itu, Bu Vina lebih memperhatikan Mona. Biasanya Mona lebih banyak berinteraksi dengan teman-temannya, tapi sekarang berbeda. Gadis itu lebih banyak menyendiri di kelas, bahkan ketika istirahat.
Perlahan, semua nilai Mona turun dari sebelumnya. Ia yang merupakan siswa pintar di kelasnya berubah menjadi siswa yang sering ikut remidial, bahkan di semua mata pelajaran. Perubahan itu membuat semua guru bertanya-tanya.
Suatu sore, Bu Vina mendekati Mona yang sedang memakai sepatu setelah selesai salat di mushola.
“Belum pulang, Mon?” tanya Bu Vina berbasa-basi.
Mona menoleh. “Kalau masih di sini berarti belum pulang.”
Hanya Mona yang berani menjawab Bu Vina. Biasanya ketika Bu Vina sudah mendekat, semua murid langsung pergi karena takut kena omel.
Bu Vina menarik napas panjang. “Udah makan? Temani Ibu makan di warung depan, yuk!”
Mona menelan ludah kasar. Ia memang belum makan sejak kemarin. Terakhir perutnya bertemu nasi kemarin sore, ketika ia mampir di rumah Dini dan makan di sana.
Mona mengikuti langkah Bu Vina yang lebih dulu meninggalkannya. Lumayan, minimal ia bisa mengisi perutnya sore ini.
Sesampainya di warung depan sekolah, Bu Vina memesan nasi rames dua porsi dan es teh. “Kamu siapa yang jemput pulang sekolah?” tanya Bu Vina.
Mona menggelengkan kepala. “Jalan sampai rumah paling.”
“Ya udah, nanti bonceng Ibu saja.”
Mona menyeruput es teh yang baru datang. Rasanya ingin menangis, hanya untuk meminum es teh saja harus menahan berminggu-minggu.
“Kalau butuh teman ngobrol, kamu boleh cerita sama Ibu.” Bu Vina mencoba memancing.
Mona mengusap sudut matanya. Sekuat tenaga menahan agar tidak menangis, tapi pertahanannya gagal. “Aku benci kedua orang tuaku.”
Bu Vina menatap Mona. “Kenapa?” tanyanya lembut.
“Mereka sudah membuat masa depanku hancur. Egois! Hanya memikirkan diri sendiri.”
Itu cerita pertama yang Bu Vina dengar. Setelahnya, Mona sering bercerita kalau kedua orang tuanya sudah tahap perceraian. Ibunya digrebek tengah bermesraan dengan ayah dari sahabatnya sendiri. Mona merasa malu, kepada teman-temannya, kepada semua tetangga juga keluarga.
Di kala senja menjelang petang, Mona melihat dengan kedua matanya sang mama diarak keliling kampung karena kepergok berduaan di rumah sahabatnya. Begitu juga dengan ayah dari teman baik Mona yang menunduk berjalan di samping wanita yang melahirkannya tersebut.
Setelah hari itu, Mona membenci senja, juga kedua orang tuanya dan semua orang yang menghancurkan hidupnya.
“Kamu pasti bisa menghadapi semua ini. Tunjukkan kalau kamu wanita kuat!” Bu Vina menepuk pundak Mona.
Harapan Bu Vina, Mona bisa survive dan kembali semangat menjalani hidup meski tanpa orang tua. Mona memilih untuk hidup berdua dengan kakaknya di kosan, daripada ikut salah satu dari orang tuanya.
“Aku benci mama!” Mona berteriak di parkiran sekolah.
Bu Vina yang kebetulan lewat menghentikan langkah, ia menoleh dan melihat Mona yang memukuli kepalanya sendiri.
“Aku benci ayah!” Mona meninju tembok.
Bu Vina berlari dan langsung memeluk muridnya. “Hei, kamu gak boleh gitu. Tenangin diri dulu, baru setelah itu nanti cerita, ya.”
“Aku benci mereka!”
“Mona, hei gak boleh bilang gitu.” Bu Vina memeluk Mona erat.
“Kenapa gak boleh? Memang ibu tahu rasanya jadi aku? Yang gak dianggap sama sekali sama orang tua?”
“Gak mungkin mereka gak nganggap kamu, Mon. Kamu itu sudah dibesarkan sampai sekarang, pastilah mereka menyayangi kamu.”
“Bushit! Kalau memang sayang, kenapa mereka harus bercerai? Kenapa mereka membuatku malu?” Mona melepas pelukan Bu Vina dan berlari meninggalkan guru tersebut.
Mona menoleh dan mendongak, sinar senja sudah mulai menghiasi langit. Itu tandanya, ia akan kembali kesepian dan sendiri.
Mona semakin tidak tersentuh. Ia menjadi pemarah dan sama sekali tidak mengindahkan nasihat serta pelajaran dari gurunya. Itu membuat Bu Vina merasa gagal karena ia yang selama ini mendampingi Mona.
“Anak itu tidak minta dilahirkan, jadi bukan salah anak kalau akhirnya benci dengan orang tuanya.” Mona menepis tangan Bu Vina saat ia dinasihati kembali agar memaafkan kedua orang tuanya.
Mona menghindari Bu Vina setiap di sekolahan. Bahkan ketika pelajaran Bu Vina, Mona sengaja tidak masuk kelas karena malas bertemu dengan wanita itu. Hidupnya tenang, tidak ada lagi yang menasihati dan mengultimatum dirinya agar memaafkan kedua orang tuanya.
Hingga pada kenaikan kelas, Mona yang awalnya seorang murid berprestasi menjadi murid yang tidak naik kelas. Guru-guru juga tidak bisa membantu Mona kali ini, karena selain nilai-nilanya yang di bawah KKM juga ia yang jarang masuk kelas.
Mona semakin depresi, saat kedua orang tuanya menyalahkan dirinya karena tidak naik kelas. Umpatan bodoh, anak tidak berguna, anak pembawa sial dilontarkan ayahnya. Hingga ia tak tahan lagi dan butuh orang untuk mendengarkan semua ceritanya.
Beberapa bulan yang lalu ada Bu Vina, yang meski menyebalkan selalu sabar mendengarkan ceritanya. Tapi sekarang tidak ada lagi, karena dua minggu terakhir Bu Vina absen tidak mengajar.
Berbekal alamat yang diberi oleh tukang kebun sekolah, Mona mencari rumah satu-satunya guru yang mau mendengarkan ceritanya dan tidak memandang rendah dirinya.
Ia tidak menemukan Bu Vina yang biasanya, yang ceria dan tegas. Di depannya, berbaring seorang wanita lemah dan kurus.
“Bu!” Mona menubruk Bu Vina dan menangis melihat wanita yang selalu menguatkannya tersebut.
“Mona.” Meski lemah, Bu Vina masih bisa diajak komunikasi dengan lancar. “Kamu kok bisa sampai di rumah Ibu?”
Mona mengusap air matanya. “Kapan Bu Vina balik ke sekolah?” Bukan menjawab pertanyaan Bu Vina, Mona malah bertanya balik.
Bu Vina tersernyum. “Doakan saja. Tapi sepertinya Ibu gak bisa lagi mengajar kalian.”
Mona tergugu. Tangisnya semakin kencang.
Dari cerita yang Mona dengar, Bu Vina sejak kecil tidak tahu siapa orang tuanya. Bahkan harus menghabiskan masa kecil dan remajanya di panti asuhan karena tidak punya tempat tinggal dan sanak saudara.
Lulus SMA, Bu Vina merantau untuk kerja sambil kuliah, hingga bisa wisuda dengan penuh perjuangan dan diterima di sekolah tempat Mona belajar.
“Aku gak tahu kalau Ibu sakit. Maafin Mona, Bu.” Mona kembali memeluk Bu Vina.
“Jangan nangis. Kamu harus kuat, ya. Pokoknya Mona harus jadi orang. Gak boleh nyerah.” Bu Vina memberi semangat seperti biasanya, seperti saat dirinya masih sehat.
“Tapi Ibu harus sembuh. Aku janji akan memaafkan Mama sama Ayah. Aku janji gak akan bolos lagi, dan akan belajar dengan rajin, tapi Bu Vina harus sembuh.”
Bu Vina mengelus kepala Mona. “Kematian dan hidup adalah rahasia Tuhan, tidak ada yang tahu. Kalau memang Bu Vina masih diberi umur, pasti akan selalu ada di samping Mona. Tapi kalau memang harus sampai di sini perjuangan Bu Vina, tolong maafkan segala kesalahan Bu Vina, ya.”
Mona berusaha sekuat tenaga untuk senyum dan mengangguk. “Aku doakan semoga Bu Vina segera kembali seperti dulu.”
Itu percakapan terakhir antara Mona dengan Bu Vina, karena setelahnya, Mona mendapat kabar kalau guru tersayangnya sudah berpulang kepada Tuhan.
“Pulang, yuk, Dek.” Seorang gadis memeluk adiknya yang masih duduk di samping sebuah makam.
“Bentar lagi, Kak.” Mona mengelus nisan bertuliskan Vina Setiani. “Bu, Mona sudah lulus sekarang, semua berkat Ibu. Terima kasih banyak, Bu.”
Mona berdiri. Ditolehnya lagi makam yang selalu didatangi setiap Kamis sore tersebut.
Senja kini tak lagi luka. Bagi Mona, senja kini harapan dan pencapaian. Harapan untuk hari esok, dan pencapaian untuk hari ini. Yang jelas baginya, senja itu Bu Vina. Indah dan menenangkan. (*)
Tentang Penulis:
Muttaqin Kholis Ali. Penulis merupakan Guru Mapel Informatika di SMA Negeri 1 Tambangan, Sumatera Utara (WA: 082285178213)
Tumpang Tindih Masalah dalam Konflik Cerpen
“Senja di Mata Mona”
Oleh: M. Adioska
(Anggota FLP Sumbar)
Dalam buku 101 Dosa Penulis Pemula karya Isa Alamsyah (2014), disebutkan bahwa salah satu kesalahan umum para penulis pemula terletak pada unsur konflik (hal 93-113). Dikutip secara bebas, disebutkan bahwa penulis pemula terkadang tidak menghadirkan konflik didalamnya atau ada konflik namun tidak menarik, terlalu banyak, tidak fokus, tidak memuaskan, tidak membangun rasa penasaran, tidak diselesaikan bahkan penulis seru sendiri tapi pembaca tidak merasakan apa-apa.
Mengenai konflik yang terlalu banyak dan tidak fokus, hal ini sesuai dengan pengertian cerpen yang sudah terlebih dahulu disampaikan oleh para ahli. Sebut saja Tarigan (1984:138), ia menyatakan bahwa cerpen adalah cerita rekaan yang masalahnya singkat, jelas dan padat dan terkonsentrasi pada suatu peristiwa/kejadian. Sumardjo (2007:202) juga menyebutkan bahwa cerita pendek merupakan fiksi yang selesai dibaca dalam sekali duduk. Oleh sebab itu, cerita yang disajikan dalam cerpen terbatas hanya memiliki satu kisah/peristiwa. JS Badudu (1926-2016) menyebutkan bahwa cerpen adalah kisah yang berfokus dan berkonsentrasi pada satu peristiwa atau kejadian. Pada peristiwa atau kejadian tersebut hanya mengisahkan satu tokoh cerita saja.
Dari pendapat beberapa ahli diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hampir semua ahli menyepakati jika sebuah cerpen hanya memiliki satu peristiwa/ kejadian/ kisah. Inilah nanti yang akan memicu munculnya konflik dalam sebuah cerita.
Sehubungan dengan pemaparan di atas, Kreatika edisi kali ini menyajikan sebuah cerpen karya Muttaqin Kholis Ali dengan judul Senja Di Mata Mona. Secara umum, diksi yang digunakan dalam cerpen ini tergolong ringan sehingga memungkinkan pembaca untuk dapat memahami ceritanya dengan mudah. Hampir tidak ada kata-kata sulit yang ditemukan dalam cerpen ini. Barangkali ini jualah salah satu faktor penguat dalam cerpen ini.
Dari segi alur penceritaan, cerpen Senja Di Mata Mona menggunakan alur maju. Dimana cerita disajikan secara runut mulai dari awal hingga akhir cerita. Meskipun pada bagian tengah cerita terdapat kilasan kejadian tentang orang tua Mona yang diarak keliling kampung, namun hal itu tidak sulit dipahami, dan bahkan menjadi titik tolak dari keseluruhan isi cerita. Dengan alur maju tersebut, pembaca juga tidak dipaksa untuk mengolah kembali rentetan cerita berdasarkan waktu kejadiannya. Pembaca tidak dituntut untuk “menyusun ulang” mana yang bagian awal cerita, tengah atau ending ceritanya.
Namun disisi lain, dengan alur majunya yang ringan dan mudah dipahami tersebut, penulis seakaan terjebak dengan beberapa hal. Pertama, perjalanan waktu yang berlalu begitu cepat. Diceritakan dari awal hingga akhir cerita memerlukan waktu cukup lama. Mulai dari kejadian Mona duduk di pagar pembatas lantai dua, berminggu-minggu kemudian, beberapa bulan setelah itu, kenaikan kelas bahkan sampai Mona lulus sekolah. Memang tidak ada pembahasan khusus mengenai rentang waktu dalam sebuah cerita pendek. Namun secara jamak, cerpen senantiasa terikat oleh waktu yang relatif singkat. Jikapun memerlukan dasar cerita masa lalu yang rentang waktunya jauh dan menjadi dasar cerita terhadap si tokoh, biasanya penulis akan menggunakan alur flaschback. Sehingga semua hal yang ingin disampaikan, bisa terangkum dengan alur tersebut.
Dengan panjangnya setting waktu yang digunakan penulis dalam cerpen ini, maka cerita yang dikembangkan terkesan mengandung banyak kejadian/peristiwa/ masalah. Jika dirunut dan disederhanakan lagi, maka peristiwa yang terdapat dalam cerpen ini dapat dijabarkan menjadi; tokoh Mona yang terganggu karena perceraian orang tuanya. Orangtuanya pernah diarak keliling kampung. Terjadi perubahan sikap Mona yang menyebabkan nilai-nilainya menurun, dan ujungnya Mona tidak naik kelas. Kemudian muncul Bu Vina yang mau mendengar cerita Mona. Sayangnya, Bu Vina ternyata mengalami sakit parah yang tidak mungkin disembuhkan.
Dari catatatan peristiwa diatas, maka dapat dilihat bahwa terdapat beberapa peristiwa yang saling tumpang tindih. Belum selesai satu masalah terurai, muncul lagi masalah lain yang turut dijabarkan pula secara ringkas dan terkesan dipaksa untuk dipaparkan. Sebagai cotoh dapat dilihat pada bagian awal saat cerita dibuka dengan penceritaan tokoh Bu Vina. Pada bagian tersebut diceritakan sosok Bu Vina yang baru diangkat jadi PNS, ditakuti murid-muridnya sehingga tidak ada yang berani menjawab perkataan Bu Vina dengan spontan. Lalu Bu Vina yang mulai perhatian dengan Mona, dan stop, masalah yang berhubungan dengan Bu Vina terhenti sampai disitu. Kemudian cerita berlanjut dengan memaparkan semua masalah Mona. Hingga pada bagian akhir cerpen, ceritanya kembali fokus kepada Bu Vina yang tidak pernah datang ke sekolah karena selama ini ia ternyata menderita sakit yang parah. Seandainya masing-masing masalah diuraikan dalam bentuk bab, maka tidak tertutup kemungkinan akan terciptalah sebuah novel yang menarik.
Atau, jika tetap dalam bentuk cerpen, paling tidak ada dua tema besar yang bisa diangkat menjadi dua buah cerpen pula. Pertama, kehidupan Mona remaja yang terganggu secara psikis karena keegoisan orang tuanya. Kehadiran tokoh Bu Vina bisa diselipkan sebagai tokoh pendukung. Tempat Mona mengeluarkan segala keluh kesahnya yang tanpa Mona ketahui ternyata sedang mengidap penyakit yang parah.
Tema kedua, kehidupan Bu Vina dengan segala tantangan dan seluk beluknya. Baru diangkat sebagai PNS. Semuda itu harus mampu menghadapi segala ragam ulah para remaja di sekolah. Disisi lain, ternyata ia juga sedang berusaha keras menyembunyikan kelamnya masa lalu dan sedang berjuang menyembuhkan penyakitnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, terlepas dari penulis pemula atau bukan, barangkali satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa cerpen senantiasa mengandung satu konflik utama. Jikapun ada masalah lain yang mendukung isi cerita, seharusnya itu tidak “mengganggu” konflik utama tersebut. Dengan demikian, konflik utama dan masalah pendukung itu akan mengerucut pada nilai-nilai yang ingin dituju penulis di akhir cerita. Jika konflik dan masalah terkesan banyak, maka para pembaca akan kesulitan menangkap apa yang ingin disampaikan penulis sehingga akan sulit pula menemukan pesan yang ada dalam cerita tersebut. Bukankah cerpen yang baik adalah cerpen yang bisa memberikan pesan moral kepada pembacanya?
Akhir kata, selamat kepada Muttaqin Kholis Ali karena telah melahirkan sebuah cerpen yang menarik dan menginspirasi. Teruslah berkarya, karena menulis tidak hanya butuh bakat tetapi juga memerlukan latihan. Ditunggu karya selanjutnya! (*)
CATATAN
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerjasama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com
Discussion about this post