Oleh: Ronidin
(Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Dia begitu cepat. Padahal, kami memulai di saat yang sama. Memang begitulah sunatullahnya. Di antara yang banyak, ada satu dua yang cepat. Melesat di antara yang lambat. Jika semua cepat tentu tidak ada yang tertinggal, itu tidak mungkin. Sebaliknya, jika semua lambat, ibarat dalam suatu perlombaan, akan membuat lomba itu menjadi tidak menarik. Akan tetapi, ini tegas bukan tentang lomba. Ini tentang studi. Lalu, kalau dia cepat dan saya lambat, apakah saya kalah. Tidak. Tidak kalah. Tidak ada menang-kalah. Hanya tertinggal. Masih terbuka lebar kesempatan menyusul. Lalu selesai. Dia cepat, saya lambat, tidak masalah. Akan jadi masalah bila dia lambat, saya lambat, lalu dua-duanya tidak selesai. Cepat dan lambat itu pilihan. Bisa jadi juga dia cepat sebagai buah dari kerja keras.
Apa ini, soal cepat-lambat pula cerita. Ndak apa-apa doh. Ini cerita tentang teman saya yang akan ujian. Bukan sembarang ujian, tetapi ujian disertasi untuk studi S3 (doktoral). Sekali lagi, dia begitu cepat. Melesat. Tiga tahun berjalan, sudah bisa ujian tertutup, ujian disertasi. Jarang ini terjadi. Ini membanggakan. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga bagi saya sebagai sejawatnya. Bagi teman-temannya pula. Juga bagi institusi di tempat dia belajar (FIB UGM) dan di tempat dia mengabdikan diri (FIB Unand). Ini prestasi yang perlu digaungkan. Ini motivasi dan pelecut bagi siapa saja yang sedang studi lanjut.
Teman yang saya ceritakan begitu cepat itu namanya Elly Delfia (ED). Dia dan saya sama-sama dari institusi asal yang sama, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Juga sama-sama menempuh studi S3 di Prodi Ilmu-Ilmu Humaniora, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Kami sama-sama angkatan Covid-19, masuk berbarengan pada pertengahan tahun 2020. Hanya saja ED melesat bak busur panah. Meninggalkan saya. Juga teman lainnya yang seangkatan.
Apa pula ini, kok rubrik “Destinasi” Scientia diisi dengan cerita seperti ini. Apa nyambung? Relasinya di mana? Nah, supaya Dunsanak pembaca tidak bingung dan penasaran, beginilah kira-kira relasinya.
Pertama, ED dan saya berbeda pilihan. ED memutuskan untuk stay di Yogyakarta. Dia meng-cut sementara hubungannya dengan Padang, kota asalnya. Dia boyong keluarganya ke Yogyakarta. Dia bawa kendaraannya ke Yogyakarta. Dia kontrak rumah di Yogyakarta. Dia siapkan data penelitian selengkap-lengkapnya sebelum ke Yogyakarta. Dia fokus dengan studinya di Yogyakarta. Sementara saya tidak seperti itu. Saya memang ke Yogyakarta, tetapi satu kaki masih tertinggal di Padang. Saya tidak memboyong keluarga ke Yogyakarta karena pertimbangan sekolah anak-anak. Saya ke Yogyakarta, suatu saat balik ke Padang. Tidak menetap seperti ED. Sebenarnya pilihan saya tidak ada masalah dalam keberlangsungan studi. Hanya saja antara tinggal menetap seperti ED dengan tinggal tidak menetap seperti saya memang ada pengaruhnya pada keberlangsungan studi dimaksud. Pengalaman saya mengatakan demikian. Pengalaman menetap di Yogyakarta saya rasakan ketika studi S2, di mana ketika itu saya menetap seperti ED sekarang. Dengan menetap, pikiran lebih fokus. Interaksi di- dan ke- kampus dekat. Akses ke sumber belajar juga dekat dan banyak.
Apa yang disebut dalam kalimat terakhir di atas adalah fakta yang tidak terbantahkan. Tidak ada yang bisa membantah bila dikatakan bahwa di Yogyakarta sumber belajar banyak. Di kota ini ada banyak perpustakaan. Selain perpustakaan kampus, juga ada perpustakaan negeri (daerah), perpustaakan swasta, dan perpustakaan individu yang dapat di akses. Selain perpustakaan, di Yogyakarta juga banyak toko buku. Toko buku kecil hingga toko buku besar. Toko buku mewah hingga toko buku pinggir jalan. Ada pula tempat belanja buku-buku murah dan penyewaan buku seperti yang ada di shoping center, tidak jauh dari Taman Pintar di sekitar kawasan Malioboro, pusat kota Yogyakarta. Selain perpustakaan dan toko buku, di Yogyakarta juga banyak penerbit buku. Jika membutuhkan buku, bisa langsung di-hunting ke penerbitnya.
Apa yang disediakan Yogyakarta sebagai sumber belajar ini jauh berbeda dengan di daerah-daerah lain. Di daerah saya atau mungkin juga di tempat Dunsanak, perpustakaan terbatas. Toko buku terbatas. Penerbit buku juga terbatas. Penerbit yang dulu sukses, baik di Padang maupun di Bukittinggi telah banyak yang gulung tikar. Akibatnya, buku-buku yang tersedia di pasar (dan di perpustakaan) juga terbatas. Sudah heboh orang di Yogyakarta tentang sebuah buku, di tempat kita baru sebulan dua bulan sesudahnya buku itu sampai. Di Yogyakarta cepat, di tempat kita lambat.
Relasi kedua mengapa studi ED bisa cepat ketika ia menetapkan pilihan untuk menetap di Yogyakarta ialah karena suasana/kondisi sosial di kota ini sangat mendukung. Kota Yogyakarta yang umumnya dipenuhi oleh pendatang, baik sebagai wisatawan maupun sebagai pelajar, mahasiswa, dan mahasiswa pascasarjana menjadi tempat yang nyaman untuk tinggal dan belajar. Suasana di Yogyakarta yang kemudian terbentuk mencirikan kota ini sebagai kota wisata dan kota pelajar. Warga Yogyakarta amat terbuka dengan para pendatang selagi mereka tidak melabrak norma-norma yang berlaku di sini. Bagi mereka, pendatang merupakan sumber rezeki. Pendatang yang tinggal di Yogyakarta, yang belajar di Yogyakarta, tentu memerlukan tempat tinggal, memerlukan makanan, memerlukan transportasi, memerlukan laundry pakaian, memerlukan hiburan, memerlukan jasa ini dan itu yang dapat menjadi sumber kehidupan bagi warga asli Yogyakarta.
Pengalaman saya membuktikan bahwa warga Yogyakarta begitu bersahabat dengan pendatang yang saulah, pendatang yang menghormati nilai-nilai masyarakat setempat. Suasana ini menciptakan kenyamanan dalam belajar. Bila kita berkunjung ke daerah-daerah pemukiman yang padat penduduk, baik penduduk asli maupun penduduk yang mengontrak/kos maka kita akan mendapati ketenangan di sana. Bila malam telah tiba, pemukiman terasa tenang dan nyaman tanpa banyak gebyar-gebyar. Orgen tunggal semalam suntuk nyaris tidak pernah terdengar. Bila ada anak kos atau penghuni yang membikin ribut, akan diingatkan oleh warga setempat. Bila melewati gang perumahan yang padat, pengendara motor diminta untuk mematikan mesin motornya atau masuk ke kawasan itu dengan suara motor yang tidak mengganggu. Dengan suasana seperti ini, mengerjakan disertasi yang menuntut konsentrasi menjadi lebih nyaman dan menyenangkan.
Selanjutnya, relasi berikutnya yang dapat membuat suasana belajar di Yogyakarta terasa nyaman dan tidak membuat kening berkerut adalah banyaknya tempat untuk relaksasi. Kok bisa? Ya bisa dong. Dengan relaksasi pikiran menjadi tenang kembali, segar kembali setelah menggarap disertasi yang membebani pikiran. Bagaimana pun juga seseorang perlu waktu dan tempat untuk relaksasi untuk menenangkan pikiran serta mengembalikan mood yang hilang. Di Yogyakarta tersedia banyak tempat untuk relaksasi, baik yang modern maupun yang tradisional, yang menjadi ikon maupun yang tersuruk. Tempat relaksasi itu adakalanya berupa bentangan alam, tempat-tempat bersejarah, pusat keramaian, tempat hiburan, rumah ibadah, atau tempat makan-minum yang menyenangkan.
Begitulah, ED bisa menyelesaikan beban studinya dengan melesat cepat. Pilihannya untuk menetap di Yogyakarta merupakan pilihan yang tepat. Akan tetapi, apa yang diceritakan di atas pada dasarnya hanyalah faktor eksternal saja. Adapun faktor internal yang membuat ED melesat cepat ialah kemampuan intelektualnya. Juga karena ED memang mengerjakan disertasinya dengan serius, mengintegrasikan ilmu dan pengetahuannya di sana. Mengimplementasikan apa yang dipelajarinya dengan apa yang ditelitinya. Selamat untuk ED yang melesat cepat. Anda hebat. Kami bangga. Wallahulam bissawab.
Yoyakarta-Padang 15 September 2023
Discussion about this post