Sepi Sekeping Hati
Kerjap bintang menjulur dalam kelam
Sunyi menyusuri malam
Denyut sepi merangkak enggan
Pengemis iman datang menyalam
Duka mengakar menjalar jiwa
Lemah, lelah menguasai raga
kehampaan mengganyang rasa
berpilin benang melilit resah
Menyesakkan
Terbelenggu ikatan kenestapaan
Terlempar dalam lumpur yang membenam
Tersadar, dosa memeluk badan menjemput keampunan
Keluh kesahku pada-Mu basah di lidah
Rintihan tangis memecah angkasa
Namun, lisanku kering memuja
Sembahku sujud semiskin tetesan gurun sahara
Robbi…
Tamparlah wajah mengadu ini
Jiwa rongsok datang tak berarti
Meminta tak bertepi
Di mana sembah selama ini
Harap diukur saat sakit menguliti
tiada malu pada-Mu ibakan diri
Sungguh hina jiwa busuk ini
Datang pergi sesuka hati
Meminta dan memohon, enggan mengabdi
Maafkan hamba yang tidak tahu diri
Pekanbaru, 17 April 2022
Separuh Wajah Bulan
Separuh wajah bulan mulai hilang
Melengkung bersembunyi di tirai langit
Tertutup kerlap kerlip gemintang
Cakrawala mengunyahnya dan menggigit
Separuh wajah bulan telah ditukar
Setara amalan puluhan tahun digelar
Menjelma dalam Lailatul Qadar
Masih tidak kau kejar
Hingga wajah bulan benar-benar tenggelam
Memuncrat langit kelam
Malam-malam dilewatkan
Juadah lebaran, baju-baju digunungkan
Tiada menyesal dan risau
Gaung ramadan tak berdesau
Tertimpa keriangan raya menderau
Tak bergegas amalan berlipat
Lebih nikmat mata terlelap
Kesempatan umat Muhammad
Karena umurnya tersingkat
Tak merangkak untuk rukuk
Tak bersujud untuk larut
Kepada dunia badan membungkuk
Sia-sia makhluk terkutuk
Pekanbaru, 17 April 2022
Darah Kita Sewarna
Darah kita sewarna
Tetapi merah di sana kasturi surga
Meskipun di bumi yang sama
Di sana deru senjata merebut asa
Setetes darah yang tumpah
Seluruh samudera cinta kami kerahkan
Mereka menebas satu nyawa saja
Di sini berguncang tanah dipijakan
Bergemuruh semangat berjuang
Menggelegak menerjang penghalang.
Satu peluru mereka lesatkan
Berdesir langit menghambur doa yang menjulang
Kami siap membuat musuh melepuh
Tunduk menyesal bersimpuh
Namun…
Maafkan, masih ada cinta yang tersuruk
Tak peduli saudara seiman sedang kikuk
Di sini masih berpeluk lutut
Deritamu belum mengetuk
Sekali lagi maafkan…
Jika senapan kami tersimpan dikotak kekikiran
Masih enggan mengulur harta yang bergelimpangan
Kebiadan mereka belum merengkuh iman
Sungguh…
Kecintaan kami pada negeri para nabi
Lebih luas dari bumi pertiwi
Lebih menghujam menembus ketebalan bumi
Lebih membubung mempelangi
Doa kami terjulur ke langit tinggi
Pekanbaru, 17 April 2022
Biodata penulis:
Sri Wardani, IG @sausanalward. Karya 32 buku antologi fiksi dan nonfiksi. Juara I lomba cerpen nasional Penerbit Kertas Sentuh (2021). Juara II lomba cerpen nasional Penerbit Prospec (2021). Juara 3 Lomba Dongeng Sains nasional Tianisa Bookstore (2021). Juara Harapan I Lomba Cerpen nasional The Journalish Publishing (2021), Peringkat 5 Lomba Cerpen Tinta Misteri. Beberapa kali meraih kategori terbaik 10, 20, 30, 50 dan 100 besar pada lomba cerpen dan puisi lainnya.
Sajak dan Nada-Nada
Oleh: Dara Layl
(Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat)
Separuh wajah bulan telah ditukar
Puisi merupakan salah-satu media yang dapat membawa seorang pembaca pada banyak suasana. Waluyo (2005: 37) mengemukakan bahwa nada dalam puisi mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca sehingga dari sikap penyair tersebut terciptalah suasana puisi. Nada puisi terlihat dari sikap penyair yang tampak dari sajak ciptaanya. Ada puisi yang bernada sedih, sinis, protes, kritikan, penyesalan, dan sebagainya. Selanjutnya, Waluyo (2005: 39) juga mengungkan bahwa perasaan penyair adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang sedang terjadi.
Puisi pertama pada edisi Kreatika minggu ini yang berjudul “Sepi Sekeping Hati” mengarah kepada permohonan maaf yang berisi nada-nada penyesalan. Hal ini bia dilihat pada sajak /Menyesakkan/ Terbelenggu ikatan kenestapaan /Terlempar dalam lumpur yang membenam /Tersadar, dosa memeluk badan menjemput keampunan/ kata-kata yang dipilih seakan menguatkan suasana berat dalam puisi.
Puisi pertama ini berkisah tentang pengakuan diri kepada Tuhan yang diselimuti akan kesadaran diri yang seringkali lupa pada tanggung jawab sebagai hamba Tuhan dan hanya datang kepada Tuhan ketika ada sesuatu yang diminta, seperti di dalam sajak /Sungguh hina jiwa busuk ini/ Datang pergi sesuka hati/ Meminta dan memohon, enggan mengabdi/ Maafkan hamba yang tidak tahu diri/
Pusi kedua, “Separuh Wajah Bulan” puisi kedua ini terangkum ke dalam nada-nada yang bersikap menyindir. Kosasih (2012: 109) mengungkapkan bahwa nada adalah sikap seorang penyair terhadap pembaca seperti bersikap menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas serta menceritakan sesuatu kepada pembaca yang didukung oleh suasana. Suasana kemudian membentuk keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi yang berpengaruh terhadap jiwa pembaca.
Pada puisi kedua ini penyair seolah ingin menyampaiakan bagaimana kita sebagai manusia banyak menyia-nyiakan kesempatan salah-satunya kesempatan beribadah dengan lebih baik, yaitu pada saat bulan Ramadan terlebih pada saat malam-malam pertengahan sampai akhir yang mana itu adalah malam lailatul qadar. Bisa kita lihat pada sajak /Separuh wajah bulan telah ditukar/ Setara amalan puluhan tahun digelar/ Menjelma dalam Lailatul Qadar /Masih tidak kau kejar/ Tiada menyesal dan risau/ Gaung ramadan tak berdesau/ Tertimpa keriangan raya menderau/ kata-kata yang dipilih oleh penyair sarat sekali akan sindiran kepada kita yang tidak ada kerisauan dan penyesalan ketika akan berpisah dengan bulan Ramadhan.
Puisi terakhir, “Darah Kita Sewarna” sama seperti puisi pertama, merangkum nada harapan yang dibalut dengan penyesalan. Puisi pertama mengisahkan bagaimana kejamnya penjajahan yang ada di Gaza, namun kita sebagai saudara belum maksimal dalam membantu.terlihat pada sajak /Namun…/Maafkan, masih ada cinta yang tersuruk/ Tak peduli saudara seiman sedang kikuk/ Di sini masih berpeluk lutut/ Deritamu belum mengetuk/ Sekali lagi maafkan…/ Jika senapan kami tersimpan dikotak kekikiran/ Masih enggan mengulur harta yang bergelimpangan/ Kebiadan mereka belum merengkuh iman.
Secara kesluruhan ketiga puisi ini banyak menggunakan akhiran huruf konsonan seperti alhiran “–n” dan “–m” yang menyebabkan bunyi ketika puisi dibaca menimbulkan suasana yang lebih berat, sedih, menyesakkan, namun dalam satu waktu juga lugas dan syarat akan nilai-nilai kedidupan yang begitu dalam. Jika ditelisik lebih dalam, selain menggunakan nada-nada penyesalan namun di dalam penyesalan itu ada harapan, seperti penggambaran penyair di dalam puisi seolah kita bisa melihat seseorang dengan banyak penyesalan dan kembali ke hadapan Tuhannya untuk meminta ampun dan pertolongan. Seseorang ini diam-diam melakukan salat malam di dalam sunyi sepi.
Hal yang paling menarik dari Kreatika minggu ini adalah pada puisi kedua. Pada puisi kedua ini judul puisi “Separuh Wajah Bulan” seolah menjadi pintu rahasia besar yang membuat kita ingin segera masuk dan mengetahui apa yang ada di dalamnya. Judul yang diambil sangat bagus dan menarik sehingga membuat rasa penasaran dan keingintahuan pembaca karena kebanyakan puisi yang bagus tidak didukung oleh judul yang bagus pula. Namun, berbeda dengan puisi kedua ini, judul “Separuh Wajah Bulan” seperti menjadi sentral dan magnet dalam ketiga puisi ini.
Ketiga puisi pada Kreatika minggu ini sangat menarik untuk dibaca dan diresapi. Pemilihan diksinya bagus. Tetap semangat menulis, Kak Sri. Ditunggu puisi dengan nada-nada lainnya !!!
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post